Menuju konten utama

Menjaga Kegiatan Rohis Sekolah dari Radikalisme

Ideologi anti-kebhinekaan telah masuk ke berbagai aspek kehidupan di dalam masyarakat Indonesia termasuk dalam aspek pendidikan.

Menjaga Kegiatan Rohis Sekolah dari Radikalisme
Pelajar membentang spanduk tolak radikalisme dan terorisme saat deklarasi dan komitmen bersama menolak radikalisme dan terorisme, di Semarang, Jateng, Selasa (26/7). Antara foto/r rekotomo/kye/16.

tirto.id - Pendidikan tingkat menengah ditengarai jadi salah satu inkubator penyemai suburnya ideologi anti-Pancasila. Hal ini diungkap, Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Purwadi Sutanto. Salah satu poin yang disorotinya adalah kegiatan keagamaan di masjid sekolah atau sering dikenal dengan tajuk rohani islam (rohis)

“Rohis sebetulnya memfasilitasi sekolah untuk pembinaan agama, ada yang memang terkendali dengan baik, ada juga yang menyangkut yang agak ekstrem," kata Purwadi dalam seminar 'Penguatan Sekolah Melalui Kebijakan Internal Sekolah yang Menyemai Kebhinnekaan' di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (23/5/2017).

Ia menyebut, pembinaan terhadap Rohis pernah dilakukan oleh Kementerian Agama dengan melakukan kegiatan Jambore bersama di Cibubur, 2016 silam. Kala itu dikumpulkan seluruh guru-guru agama dari seluruh Indonesia untuk kemudian diberi arahan cara membentengi dari paham-paham radikalisme.

Selain itu, secara lebih struktural, ia mengatakan pembentengan dari radikalisme juga dilakukan melalui Permendikbud nomor 23 tahun 2015. Dia mengatakan dalam aturan itu, kegiatan Rohis diseleksi betul agar tak keluar jalur, setiap ada kegiatan, guru, kepala dan komite sekola harus dilibatkan. "Supaya tidak kecolongan,” tambah dia.

Dari ucapan Purwadi tersirat bahwa Kemendikbud enggan sepenuhnya disalahkan atas masalah ini. Ia mengatakan kendati Kemendikbud memiliki otoritas tertinggi, namun kebijakan dan kewenangannya diberikan kepada otoritas di bawahnya, yakni pemerintah daerah. “Sekolah kan milik Pemda, jadi yang pertama harus turun Pemda mereka yang punya sekolah," ucapnya.

Ditemui di tempat sama, Direktur Eksekutif Ma'arif Institute, Muhammad Abdullah Darraz menyatakan penetrasi kelompok radikal saat ini sangat masif di berbagai lini kehidupan. Penetrasi di dalam dunia pendidikan dianggapnya paling berhasil. Menurut dia, hal ini terjadi lantaran adanya kekosongan ideologi kebangsaan di dalam lingkungan sekolah dan tidak efektifnya pendidikan kewarganegaraan.

Riset Ma'arif Institute terkait institusi sekolah menemukan belum adanya kebijakan internal sekolah yang secara spesifik menguatkan kebhinekaan.

Ia mencontohkan, dalam setiap kegiatan rohis mestinya perlu dilibatkan kelompok yang propancasila seperti Ikatan Pemuda Muhammadiyah (IPM) atau Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) atau kelompok lainnya. "Ini perlu sebagai upaya memberikan alternatif bagi sekolah," katanya.

Usulan ini bisa diaplikasikan dalam bentuk kebijakan. “Bisa disiasati dengan kebijakan yang di atasnya, Peraturan Menteri misalnya. Setelah kami diskusikan dengan Pak Muhajir (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) sudah sangat memungkinkan. Ada Permen Pembinaan Kesiswaan yakni Permendikbud nomor 39 tahun 2008,” katanya.

Dia menyarankan Permen ini direvisi dengan memasukkan aturan yang benar-benar mampu mengakomodasi program memperkuat kebhinekaan. Terkait dengan kontrol di daerah, Darraz menjelaskan saat ini pemantauan itu tidak berjalan efekti.

“Kemendikbud ada sistem pengawasan dan fungsi lainnya, tetapi saya ragu fungsi –fungsi itu berjalan. Mereka memang mengawasi namun hanya bersifat formalistik. Ada gak aturan kalau misalnya, ada anak sekolah yang terbukti ikut organisasi anti pancasila, ada gak mekanisme pengaduan misalnya?” ujar dia.

Soal pemahaman radikal di kegiatan Rohis ini dibenarkan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Data riset FSGI dari kurun waktu 2010-2013 menemukan dari 300 orang kelompok ekstrem kanan yang tertangkap, 150 di antaranya berusia dibawah 30 tahun. Beberapa di antaranya bahkan masih duduk di bangku sekolah seperti dalam kasus di Klaten pada 2011 silam. Kala itu 4 siswa SMK 2 Klaten ditangkap oleh Densus 88. Keempat anak ini adalah anak-anak yang aktif di Rohis.

"Anak-anak tersebut bahkan dikenal sebagai anak yang baik, tidak pernah membuat onar di sekolah, memiliki nilai yang bagus dan aktif di berbagai kegiatan sekolah," ucap Sekjen FSGI, Retno Listyarti.

Kata dia, penyebaran paham radikalisme di lingkup sekolah bisa melalui berbagai cara seperti media sosial dan media massa serta kegiatan keagamaan di sekolah seperti mentoring, majelis taklim, hingga tabligh akbar.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan