tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan Indonesia mengalami gejala radikalisme global menyusul terungkapnya teror bom di beberapa daerah.
"Tapi sekali lagi saya ingin sampaikan, kalau bicara radikalisme, jangan hanya bicara bom, (bom) ada di mana-mana, sekian korbannya. Justru kita juga harus mengkaji kenapa itu terjadi," ujarnya di Kantor Wapres di kompleks Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, (23/12/2016).
Seperti dikutip Antara, tak hanya Kalla, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menggelisahkan hal serupa. Ia menilai kebebasan berekspresi di Indonesia di era reformasi justru memberi panggung kepada kelompok radikal unjuk gigi.
"PB NU melihat pemerintah gagap membangun kontra-narasi sehingga radikalisme dapat tumbuh subur di dunia maya. Sikap moderat dan toleransi digempur setiap hari oleh tayangan dan konten radikal yang begitu mudah disebar dan viral di media sosial," kata Ketua Umum PB NU, KH Said A Siradj, di Jakarta, Jumat, (30/12/2016).
Pesan-pesan Bertebaran
Untuk mengetahui sejauh apa tayangan dan konten radikal serta ekstremisme yang disebar melalui media masa mempengaruhi para remaja dan anak muda, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerjasama jaringan GUSDURian melakukan penelitian berjudul “Persepsi dan Sikap Generasi Muda terhadap Radikalisasi dan Ekstremisme Kekerasan Berbasis Agama.”
Hasil penelitian itu diobrolkan dalam acara Sosialisasi Hasil Survei Persepsi Orang Muda dan Pemetaan Internet Social Media tentang Radikalisme dan Ekstremisme Indonesia, di Gedung University Club, Universitas Gadjah Mada, Desember 2016 lalu. Penelitian itu dilakukan dengan metode proportionate stratified random sampling terhadap 1.200 responden di enam kota besar: Bandung, Makassar, Pontianak, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta, selama Agustus-Oktober 2016. Kedua lembaga itu mengamati melalui media sosial yang populer di kalangan pemuda, antara lain Twitter, Facebook, Instagram, aplikasi pesan (WhatsApp dan Telegram), dan YouTube.
Responden diambil dari rentang usia 15-30 tahun dengan nisbah 50:50 gender laki-laki dan perempuan, sampling error 2,98 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Pemetaan memakai dua cara: pertama, pengamatan terhadap situs-situs online (yang dianggap) radikal; dan kedua, pengamatan terhadap percakapan di media sosial. Proses pencarian data berdasar kata kunci yang dirumuskan lewat indikator untuk mengawasi ekstremisme oleh The International Centre for Counter-Terrorism (ICCT), yang berbasis di Den Haag.
ICCT memiliki ribuan kata yang masuk kategori radikal dan ekstremis. “Total kurang lebih ada 25 kata kunci, saya sampai lupa,” Heru Prasetia, manajer GUSDURian, via telepon kepada Tirto (5/1/2017).
Dalam laporan itu disebutkan beberapa kata kunci pemetaan untuk survei seperti “kafir”, “sesat”, “syariat Islam”, “tolak demokrasi”, “jihad”, “antek asing”, “komunis”, “liberal”, “pengkhianat agama”, dan “musuh Islam”.
Dengan bantuan mesin, ditemukan kurang lebih 90 ribu akun yang memuat pesan radikal dan ekstremisme dalam waktu sebulan. Dari temuan itu, peneliti memisahkan akun berdasarkan jenis media sosial.
Berdasarkan laporan, ada 20 akun Twitter paling sering mencuit dan mengicau-balik (retweet) pesan-pesan radikal atau ekstremis. Ada dua kata yang sering jadi konten kicauan. Kata kunci terbanyak pertama ialah “kafir” dengan 5.173 kicauan, dan terbanyak kedua “komunis” sebanyak 995 kicauan dalam sebulan.
Sementara pada platform pesan Telegram, riset itu menemukan channel @hizbuttahiririd (jumlah anggota 4.300), @salamdakwah (13.600), @salafyways (4.200), @jalananlurus (586), dan @forumkajianislamcikampek (115) yang kerap menyampaikan pesan-pesan radikal atau ekstremis.
Pada Facebook, riset itu menjumpai 884 unggahan memuat kata kunci yang tergolong radikal dan ekstremis. Dari 884 itu, terdapat 171 unggahan yang memuat kata kunci ekstremis sesuai indikator ICCT.
Dari unggahan tersebut, dapat diidentifikasi sejumlah pesan berdasarkan pembingkaian. Bingkaian ini, antara lain, pertama: yang menyodorkan masalah yang dihadapi masyarakat (bahwa ideologi kapitalisme sekuler telah menghancurkan peran agama dalam konteks pemerintahan; atau demokrasi adalah sistem yang buruk). Pesan lain seperti umat Islam telah jauh dari ajaran agama; kerusakan alam dan kehancuran tata masyarakat adalah akibat dari sistem kapitalisme; serta pesan propaganda bahwa gempuran pemikiran Barat dan kebodohan umat berada di titik terendah.
Bingkaian kedua misalnya: pesan-pesan yang memberi kerangka aksi atau tawaran solusi atas masalah-masalah yang dianggap tengah dihadapi oleh masyarakat. Misalnya, solusi mendirikan khilafah untuk memimpin umat Islam sedunia; gerakan politik Islam pragmatis harus beralih pada perjuangan gerakan politik ideologis dan hanya ideologi Islam yang layak dijadikan asas bagi pergerakan; ada pula pesan yang mengiginkan umat Islam harus waspada dengan program-program Amerika Serikat yang berusaha menghancurkan umat Islam; dan umat Islam dianjurkan untuk menolak pemimpin kafir.
Sementara itu, narasi ekstremis di Instagram juga memiliki nada-nada serupa. Pesan-pesan pembingakaian tertentu, antara lain, berbunyi: menempatkan kafir sebagai musuh; di dunia ada kelompok kafir dan kaum beriman (muslim); orang Islam di Indonesia ada dua golongan (pembela Alquran dan pembela orang yang melecehkan Alquran); dan perempuan adalah pengundang syahwat laki-laki.
Di samping itu, di Instagram ada pembingkaian yang memberikan arahan solusi seperti: menolak pemimpin kafir; memerangi kaum kafir; penista agama harus dihukum; perintah mengenakan jilbab syari (jilbab yang menutup seluruh tubuh).
Pada rentang pesan dalam unggahan itu, INFID mengamati imbauan atau seruan konkret seperti pemahaman membela Islam yang dihina adalah kewajiban dalam beragama; pemimpin kafir itu haram menurut ajaran agama; penista agama harus dihukum; orang yang memilih pemimpin kafir adalah munafik, kafir, fasik, dan zalim; mengenakan jilbab adalah kewajiban agama dan hukumannya adalah neraka bagi yang tidak memakai.
Berdasarkan analisis dari tim penelitian INFID dan jaringan GUSDURian, pesan-pesan yang memuat penolakan terhadap pemimpin kafir tersebar beruntun selama September-Oktober. Kurun ini bersamaan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta dan kemudian dianggap telah menistakan agama Islam pada November 2016 (belakangan diproses sidang pada awal Desember 2016).
“Karena penelitian bertepatan dengan ramai-ramai soal Ahok, maka itu jadi bagian dari analisis,” kata Heru.
INFID menemukan, channel paling gencar mengirim pesan-pesan yang menebar kebencian ialah @hizzbuttahririd. Sementara channel @jalananlurus kebanyakan memuat petuah-petuah dan kisah-kisah Islami dari para ulama dan habib.
Di YouTube, ada yang berbeda. Berdasarkan temuan INFID, pembingkaian pesan pada periode penelitian Agusus-Oktober ditemukan lebih banyak membicarakan LGBT. Video-video yang diamati itu mengandung pesan bahwa LGBT ialah “penyakit masyarakat”, “perilaku menyimpang”, “buah demokrasi liberal”, “penyakit yang dapat menular”, dan “lahir dari rezim yang tidak mementingkan rakyat”.
Ada pula video-video yang mengandung pesan seperti “demokrasi adalah sumber kekacauan” dan seruan “umat Islam terancam oleh adanya aliran sesat”, “dipimpin kafir adalah kezaliman”, dan “komunisme adalah paham berbahaya”.
Sikap Pemuda
Jika wacana-wacana itu terus dibiarkan, toleransi yang saat ini menurut hasil survei INFID masih tergolong tinggi bisa berubah. Data hasil survei memperlihatkan pemuda bisa terdorong menjadi teroris karena frustrasi dengan kehidupan sosial (sebanyak 12,5 persen). Ada pula yang menyetujui pernyataan memakai kekerasan ialah salah satu cara tepat melawan kaum kafir (22,2 persen).
Generasi yang terpapar penyebaran wacana intoleransi yang terus-menerus, dikhawatirkan bakal menyebabkan kesehatan jiwa seperti split personality, menurut riset.
“Wacana yang mengesankan agama Islam terzalimi, hingga seolah-olah Islam sedang dijajah, terus-menerus disebarkan. Itu bisa mempengaruhi persepsi di kalangan itu (pemuda),” Beka Ulung Hapsara, manajer Advokasi INFID, kepada Tirto, Desember lalu.
Untuk menangkal wacana intoleransi ini, INFID dan jaringan GUSDURian akan melakukan kontra-wacana berupa “kontra-narasi intoleransi” melalui media sosial mulai 2017. Harapannya, biar para pemuda yang tidak setuju radikalisme dapat bergabung dalam gerakan tersebut.
Melalui hasil survei ini terungkap gambaran mayoritas generasi muda menolak adanya bentuk radikalisasi ataupun tindak kekerasan berbasis agama. Ini menunjukkan bahwa pemuda Indonesia masih pantas jadi penjaga dan penggerak perdamaian dan keberagaman.
“Melihat hasil survei itu kami masih optimis, karena mereka masih melihat Pancasila sebagai sesuatu yang masih menyatukan perbedaan,” ujar Beka Hapsara.
Hasil survei menunjukkan 88,2 persen responden mengatakan sangat tidak setuju dengan kelompok agama yang menggunakan kekerasan. Pernyataan ini didukung alasan bahwa tindakan kekerasan tak sejalan nilai-nilai agama, tidak berperikemanusiaan, dan membuat agama ternodai.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Fahri Salam