tirto.id - Ada momen bersejarah di penghujung tahun 2024 ini, terutama dalam upaya melawan radikalisme-terorisme. Tepat pada 21 Desember 2024, Jamaah Islamiyah (JI) sebagai kelompok radikal-teroris yang selama ini dianggap paling berbahaya di Asia Tenggara melaksanakan deklarasi puncak pembubaran diri dan ikrar kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Acara yang diselenggarakan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 ini berlangsung di Solo dan dihadiri langsung oleh Kapolri, Kepala BNPT, Menteri Sosial, serta puluhan pemangku kepentingan lainnya. Bubarnya JI adalah pencapaian strategis yang menandai berakhirnya ancaman besar bagi keamanan nasional dan regional.
Keputusan JI untuk membubarkan diri secara sukarela, tanpa tekanan eksternal, membuktikan terjadinya transformasi yang luar biasa di kelompok ini. Proses ini terjadi berkat refleksi mendalam dan kesadaran kolektif dalam tubuh JI, yang akhirnya menyadari bahwa kekerasan tak pernah menjadi jawab untuk semua persoalan.
Dengan langkah ini, JI memilih jalan damai untuk kembali jadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keberhasilan ini bukan hanya kemenangan bagi aparat keamanan, tetapi juga membuka harapan baru untuk perdamaian dan stabilitas jangka panjang di Indonesia.
JI Benar-benar Bubar
Kelompok JI memilih untuk membubarkan diri secara sukarela setelah melalui kajian dan refleksi yang panjang. Mereka menyadari bahwa kekerasan, yang selama ini menjadi ciri khas perjuangan mereka, tidak hanya melelahkan secara fisik, mental, dan spiritual, tetapi juga tidak memberikan solusi yang benar-benar efektif. Dengan refleksi ini, JI menemukan “imune” mereka sendiri, yakni pemahaman bahwa melanjutkan jalan kekerasan tidak sejalan dengan tujuan kehidupan yang lebih damai.
Keseriusan JI untuk meninggalkan masa lalu dapat dilihat setidaknya dari tiga langkah nyata yang mereka lakukan. Pertama, penyerahan para buron (DPO) yang selama ini menjadi target pencarian pihak keamanan, serta alat-barang-senjata (albas) milik organisasi. Hingga saat ini, albas yang sudah diserahkan meliputi 6 pucuk senjata api, 2 buah magazen, 1 granat, 40 kg bahan peledak, 952 butir peluru, 11 buah senjata tajam, 7 buah crossbow, 8 pucuk airgun/airsoftgun, 12 buah detonator, dan berbagai aset lainnya.
Kedua, JI serius mencabut akar-akar radikalisme dengan melakukan evaluasi terhadap kurikulum di puluhan pesantren afiliasi mereka yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Langkah ini memastikan bahwa ajaran-ajaran yang mempromosikan kekerasan atau paham radikal tidak lagi mendapat tempat di lembaga pendidikan mereka. Mereka menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk membangun generasi yang lebih toleran dan sesuai dengan semangat Islam.
Langkah ketiga, setelah membubarkan diri pada 30 Juni 2024, JI langsung bergerak dengan tak henti berkeliling ke puluhan wilayah di Indonesia untuk melakukan sosialisasi pembubaran organisasi ke anggota-anggota mereka. Dalam sesi-sesi ini, pimpinan JI menyerukan kepada seluruh anggota untuk sami’na wa atho’na (mendengar dan patuh) pada keputusan organisasi untuk bubar, tidak boleh ada sempalan.
Di acara-acara sosialisasi ini, JI juga menggelar diskusi mendalam, membahas alasan-alasan syar’i yang mendasari keputusan kembali ke NKRI. Semua proses ini terbukti efektif dalam membantu para anggota untuk memahami bahwa pembubaran ini adalah keputusan yang benar, baik dari sisi agama maupun kemanusiaan.
Ketiga langkah ini memperlihatkan bahwa JI tidak hanya mengambil keputusan yang monumental, tetapi juga melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan transparansi. Pembubaran ini bukan sekadar pernyataan simbolis, tetapi bukti nyata transformasi sebuah organisasi radikal menuju arah yang lebih damai dan sejalan dengan prinsip-prinsip kebangsaan. Keputusan ini pun membuka peluang besar bagi masa depan yang lebih harmonis bagi Indonesia.
Pendekatan Humanis
Keberhasilan pembubaran Jemaah Islamiyah (JI) secara sukarela menegaskan posisi Indonesia sebagai pelopor global dalam penanganan terorisme melalui pendekatan humanis. Strategi yang diterapkan oleh Densus 88 Anti Teror Polri mengedepankan dialog, edukasi, dan transformasi ideologis tanpa menggunakan kekerasan.
Proses yang dimulai pada 2019 dengan komunikasi intensif bersama Ustaz Para Wijayanto, Amir JI saat itu, membuktikan bahwa perubahan ideologi dapat dicapai melalui interaksi yang tulus dan penggunaan literasi relevan untuk menggeser paradigma kelompok secara bertahap. Sebagai negara pertama di dunia yang berhasil mendorong organisasi radikal besar untuk membubarkan diri secara sukarela, Indonesia menunjukkan bahwa pendekatan ini jauh lebih efektif dibanding metode represif.
Puncak keberhasilan ini terjadi pada 30 Juni 2024, ketika 16 tokoh senior JI secara resmi mendeklarasikan pembubaran organisasi mereka dalam sebuah pertemuan di Sentul, Bogor. Selain menyatakan kembali kesetiaan mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para tokoh tersebut berkomitmen mendukung upaya deradikalisasi, termasuk reformasi pendidikan di pesantren-pesantren afiliasi JI. Transformasi ini menjadi bukti konkret bahwa pendekatan dialogis yang persuasif dapat menghasilkan perubahan mendalam yang berkelanjutan.
Keberhasilan ini memberikan pelajaran penting tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia internasional. Pendekatan dialogis, seperti yang ditekankan oleh Schmid (2013) dalam Handbook of Terrorism Prevention and Preparedness, menjadi kunci untuk menghadapi radikalisme, karena narasi ekstremisme hanya dapat diatasi dengan persuasi, bukan paksaan. Strategi berbasis humanisme ini tidak hanya menghentikan kekerasan, tetapi juga mengikis akar ideologi radikalisme, menciptakan perubahan yang bertahan lama karena bersumber dari kesadaran penuh pihak yang bersangkutan.
Di tengah kecenderungan banyak negara yang masih mengandalkan pendekatan represif, pengalaman Indonesia menunjukkan alternatif yang lebih efektif dan berkelanjutan. Strategi ini sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin dalam upaya deradikalisasi global. Transformasi ideologis yang berhasil diwujudkan Densus 88 ini memberikan harapan baru bahwa kemanusiaan, kebijaksanaan, dan dialog dapat menjadi solusi utama dalam menghadapi tantangan ideologis.
Keberhasilan ini bukan hanya sebuah pencapaian nasional, tetapi juga inspirasi global. Pendekatan humanis yang diterapkan tidak hanya membuktikan efektivitasnya dalam mengubah JI, tetapi juga menawarkan model strategis yang relevan untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis. Dengan demikian, Indonesia telah membangun preseden penting bagi upaya bersama dalam mengatasi ekstremisme secara manusiawi dan bermartabat.
Sinergi untuk Reintegrasi
Keputusan JI untuk membubarkan diri membuka babak baru yang penuh harapan, tetapi sekaligus menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Reintegrasi mantan anggota JI ke dalam masyarakat harus dilakukan dengan strategi yang matang dan pendekatan yang inklusif. JI memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari kelompok serupa lainnya.
Hampir semua anggota JI adalah individu yang terdidik secara agama, pandai mengaji, bahkan banyak yang hafal Alquran. Selain itu, mereka dikenal memiliki keterampilan dan kreativitas tinggi di berbagai bidang. Potensi ini harus dimanfaatkan secara maksimal agar mereka tidak hanya diterima kembali, tetapi juga dapat berkontribusi positif dalam membangun bangsa.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan proses reintegrasi berjalan dengan pendekatan berbasis pengembangan kapasitas. Program pelatihan, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan peran sosial harus dirancang khusus untuk memanfaatkan potensi besar yang dimiliki mantan anggota JI.
Dengan keterampilan dan pendidikan agama yang mereka miliki, mereka dapat dilibatkan dalam program-program dakwah yang mengedepankan perdamaian, toleransi, dan harmoni. Hal ini tidak hanya membantu proses reintegrasi mereka secara pribadi, tetapi juga menciptakan agen perubahan yang dapat menjadi teladan bagi komunitasnya.
Bubarnya JI juga memberikan pesan kuat bagi kelompok serupa lainnya. Keputusan mereka untuk menghentikan aksi kekerasan dan kembali ke pangkuan NKRI menjadi bukti bahwa ideologi radikal tidak akan bertahan lama dalam menghadapi pendekatan yang humanis dan persuasif. Keberhasilan ini akan membuat kelompok lain berpikir ulang untuk melanjutkan aksi mereka. Hal ini tidak hanya menurunkan ancaman terorisme, tetapi juga membuka jalan bagi penyelesaian konflik ideologis dengan cara yang damai.
Inilah kado terindah akhir tahun dari Densus 88 untuk pemerintah. Bukan hanya sebuah kemenangan melawan terorisme, tetapi juga momentum untuk membangun masa depan yang lebih damai dan harmonis. Semoga reintegrasi ini menjadi awal dari perubahan besar yang menginspirasi dunia, dan membuktikan bahwa bangsa Indonesia mampu menyelesaikan tantangan besar dengan kebijaksanaan dan kemanusiaan.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.