tirto.id - Sebuah truk melintasi jalanan padat penduduk dekat gedung Kementerian Luar Negeri Somalia yang dijaga ketat oleh para personel keamanan di ibukota Mogadishu, Minggu (15/10/2017). Saat akan diperiksa, supir truk tiba-tiba melaju makin kencang, melibas pembatas, dan meledakkan bom yang diangkut secara rahasia. Sebuah truk tanker berisi bahan bakar minyak juga turut meledak, menciptakan bola api besar serta suara memekakkan telinga.
Guardian melaporkan setidaknya 500 orang meninggal dan luka-luka berat dalam salah satu aksi terorisme paling berdarah di abad 21 ini. Sementara kabar terbaru dari Associated Press menyatakan 276 orang meninggal dan 300 lainnya luka-luka. Angka ini diperkirakan akan naik karena masih banyak mayat tertimbun puing-puing bangunan yang hancur.
Area yang terdampak kurang lebih beberapa ratus meter dari titik ledakan. Petugas penyelamat di lapangan menyatakan efek ledakan amat lah besar, sampai-sampai banyak mayat yang terbakar habis atau tinggal potongan-potongan organ tubuh saja. Kondisi ini, lanjut mereka, akan menyulitkan petugas yang berwenang merilis jumlah pasti korban yang meninggal. Sepanjang aksi terorisme yang telah menyasar ibukota sejak satu dekade terakhir, publik belum pernah menyaksikan yang separah ini.
Baca juga: Darah Terus Mengalir di Afrika Tengah
Hingga Senin (16/10/2017) doktor dan perawat di rumah sakit utama Mogadishu masih kerepotan menangani pasien luka berat. Presiden Somalia Mohamed Abdullahi Modamed mendekarasikan tiga hari berkabung nasional. Orang-orang mendonorkan darahnya ke pusat-pusat kesehatan terdekat—sesuai seruan Mohamed, sedangkan ratusan lain berdemonstrasi mengutuk pelaku utama: kelompok ekstremis Al-Shabaab.
Al-Shabaab (namanya berarti 'Pemuda Arab') meneror Somalia, terutama bagian Selatan, sejak satu dekade terakhir. Banyak analis menganggap kelompok tersebut memiliki kaitan asal usul dengan milisi Salafis Al-Ittihad Al-Islami, yang muncul pada 1990-an setelah jatuhnya kediktatoran militer Somalia, demikian dalam catatan Washington Post.
Dulu di Somalia bagian Timur dan Selatan pernah muncul sebuah wilayah separatis berbasis syariah bernama Uni Pengadilan Islam (Islamic Court Union). Mereka hanya bertahan dari 6 Juni hingga 27 Desember 2006. Setelah digempur habis oleh Pemerintahan Transisi Federal Somalia bersama aliansi tentara Etiopia, muncullah banyak faksi-faksi militer kecil, salah satunya Al-Shabaab. Mereka segera melancarkan gerilya setelah mendapat dukungan dari Al-Qaeda.
Baca juga: Dunia yang Semakin Tak Aman
Al-Shabaab menjelma kelompok ekstremis yang menyerukan jihad kepada “musuh-musuh Islam” dan seringkali terlibat pertempuran dengan Pemerintah Federal Somalia dan Pasukan Misi Uni Afrika untuk Somalia. Aksi-aksi terornya merentang sepanjang Afrika Timur hingga ke Kenya, bahkan Yaman. Kelompok dengan pasukan berjumlah 7-9 ribu orang ini telah didaulat sebagai kelompok teroris oleh banyak negara. Musuhnya pun meliputi pemerintah Etiopia, Uganda, Kenya, Yaman, Australia, Amerika Serikat, dan Turki.
Pemboman truk, serangan bersenjata, atau bom bunuh diri yang didalangi oleh Al-Shabaab hampir jadi rutinitas berkala bagi warga Mogadishu dan kota-kota padat penduduk Somalia. Meski Al-Shabaab mendeklarasikan perang terhadap pemerintah negara, namun warga sipil juga ikut terseret sebagai korban. Dalam beberapa kasus, Al-Shabaab justru sengaja menargetkan warga sipil dari segala kalangan, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak.
Pada bulan Juni dan September 2017 Al-Shabaab melancarkan serangan di wilayah Puntland, termasuk pangkalan militer pasukan Somalia, dan merenggut nyawa 70 orang lebih. Mogadishu jadi wilayah yang paling sering kena teror, misalnya bom truk pada tahun 2011 yang menghilangkan nyawa 100 orang atau bom bunuh diri pada 2013 yang mengorbankan 29 nyawa. Teror di Kenya, tetangga Somalia di Barat, terjadi pada April 2015 saat milisi Al-Shabaab menyerbu Universitas Garrisa dan melenyapkan 147 nyawa, kebanyakan adalah mahasiswa dan pekerja kampus.
Dendam pada Negara, Muak Dirundung Kemiskinan
Di permukaan, Al-Shabaab serupa kelompok jihadis lain. Mereka punya pemahaman agama yang para analis nilai “dangkal” dan terlalu “tekstual”, sehingga mudah diinterpretasikan dalam aksi kekerasan. Namun, penelitian mendalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dipublikasikan awal September kemarin maupun riset skala kecil Muhsin Hassan yang dirilis Combating Terrorism Center lima tahun silam menunjukkan akar yang lebih signifikan: kebijakan pemerintah negara yang bersangkutan.
Sebagaimana dilaporkan Guardian, aksi ekstremisme di Afrika telah menewaskan lebih dari 33.000 orang selama enam tahun terakhir. Dampaknya antara lain gelombang imigrasi yang besar, krisis kemanusiaan, dan prospek ekonomi yang suram di banyak negara. Menanggapi situasi tersebut, dalam tiga tahun terakhir Badan Program Pembangunan (UNDP) mewawancarai lebih dari 500 mantan anggota kelompok ekstremis seperti Boko Haram yang meneror Afrika Barat dan Al-Shabaab yang jadi jagoan di Afrika Timur.
Sebanyak 71 persen responden memberikan jawaban menarik: motivasi utama yang membuat mereka memutuskan bergabung dengan kelompok ekstremis adalah karena “aksi brutal pemerintah” di negara tempat ia tinggal. Pemerintah, memakai tangan militernya, “membunuh anggota atau keluarga atau teman” atau “menangkap anggota keluarga atau teman” yang bersangkutan, sehingga ia menggunakan organisasi ekstremis sebagai kanal balas dendam.
"Perilaku aktor keamanan negara terungkap sebagai akselerator rekrutmen yang menonjol, bukan sebaliknya," tulis laporan tersebut.
Baca juga: Togo: Mematikan Internet, Mematikan Demokrasi
Taktik penuh kekerasan yang sering dipraktikkan oleh penguasa seringkali mendapat kritik keras juga dari kelompok hak asasi manusia maupun para pakar keamanan. Otoritas berwenang Kenya dilaporkan bertanggung jawab atas sejumlah pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka atau bahkan tertuduh ekstremis. Sementara Amnesty International menuduh militer dan polisi Nigeria terlibat pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis atas nama pemberantasan terorisme.
Emosi yang paling umum saat bergabung adalah “harapan/kegembiraan” kemudian diikuti dengan “kemarahan”, “balas dendam”, dan “ketakutan”. Para mantan milisi ini juga mengungkapkan keluhan yang akut terhadap pemerintah; 83 persen percaya bahwa pemerintah tak memperhatikan kondisi kehidupan mereka, dan lebih dari 75 persen tak menaruh kepercayaan pada politisi maupun otoritas penanggung jawab keamanan negara.
Ada kesamaan temuan antara riset UNDP dan penelitian Muhsin Hassan untuk Combating Terrorism Center. Anggota Al-Shabaab dan kelompok teroris lain rata-rata direkrut dari daerah kantong kemiskinan di Somalia maupun negara Afrika lain. Sebagian besar merasa frustrasi karena menganggur, sementara senior kelompok ekstremis bisa menggaji mereka jika mau berjuang. Nominalnya bahkan lebih tinggi daripada gaji rata-rata pekerjaan formal di tempatnya tinggal.
Baca juga: Afrika Perlu Belajar dari Efek Industri Sawit di Indonesia
Lima dari 15 anak muda yang diwawancarai Muhsin Hassan mengatakan Al-Shabaab membayar gaji antara $50-150, tergantung kerjanya, yang rata-rata dirasa gampang untuk dilaksanakan. “Aku cuma diminta untuk membawa senjata dan berpatroli keliling jalan. Kerja ini lebih mudah dibanding kerja lain seperti tukang bangunan,” kata seorang responden, yang mengaku bisa menghidupi keluarganya karena bergabung dengan Al-Shabab.
Menurut Hassan, kemiskinan pribadi memang tak berkaitan langsung dalam menyebabkan seseorang bergabung ke organisasi ekstremis. Namun kemiskinan berdampak besar pada rendahnya harga diri (self- esteem) anak muda Somalia karena hidup mereka amat bergantung pada sanak keluarganya. Hal ini mendorong mereka untuk bisa sejahtera, bagaimana pun caranya, meskipun dengan menjadi seorang kriminal dan pembunuh.
Dengan demikian pekerjaan rumah terberat bagi pemerintah Somalia untuk memberantas terorisme adalah dengan mewujudkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Sebagaimana laporan UNDP, daerah yang dikenal sebagai pemasok ekstremis Afrika adalah wilayah yang selama ini termarjinalisasi secara ekonomi. Jika hanya fokus membalas kekerasan dengan kekerasan, terorisme di Somalia dan negara-negara Afrika lain akan terus subur. Kemiskinan selalu jadi prasyarat utama bagi regenerasi teroris-teroris muda di masa depan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf