tirto.id - Kisah ini bermula dari upaya pemerintah Pakistan yang menekan parlemen agar mensahkan UU Pemilu 2017 yang melarang pejabat pemerintah mengepalai partai politik. UU baru tersebut juga mengatur perubahan sumpah pejabat. Dalam hukum Pakistan, seorang pejabat disumpah untuk percaya pada finalitas kenabian Muhammad, bahwa tak ada lagi nabi yang diturunkan untuk menggantikannya.
Namun, menurut laporan Dawn, dalam UU Pemilu 2017 kata-kata dalam sumpah jabatan dari "saya bersumpah" diganti jadi "saya percaya". Menteri Hukum Pakistan Zahid Hamid diyakini sebagai orang yang bertanggung jawab mengubah redaksional sumpah tersebut.
Respons keras datang dari kelompok-kelompok Islamis yang segera menggelar protes. Mereka beranggapan bahwa perubahan redaksional dalam sumpah jabatan Hamid sama saja dengan menghina Nabi Muhammad dan melunakkan posisi negara terhadap muslim Ahmadiyah yang dilarang mengaku sebagai bagian dari umat Islam.
Baca juga: Isu Penodaan Agama Membuat Menteri di Pakistan Mundur
Meski Hamid telah meminta maaf pada publik dan pemerintah menyatakan perubahan tersebut adalah kesalahan teknis, kericuhan tak bisa dihindarkan. Ribuan warga Pakistan turun ke jalan, mengepung ibukota selama berminggu-minggu dan meminta Hamid mundur dari jabatan. Dari ibu kota Islamabad, protes menyebar hingga Lahore, Peshawar, dan Karachi. Bentrokan dengan aparat dan korban jatuh tak terhindarkan. Sedikitnya enam orang meninggal dan 200 lainnya luka-luka.
Aksi-aksi tersebut dimotori oleh Partai Tehreek-e-Labbaik Pakistan (TLP). Partai yang didirikan untuk memerangi penistaan agama ini terbentuk sekitar masa persidangan terhadap Mumtaz Qadri, seorang yang divonis mati karena membunuh Gubernur Salman Taseer yang dalam berbagai pernyataan publiknya mengatakan ingin menghapus pasal-pasal penodaan agama.
Baca juga: Delik Penistaan Agama di Pakistan yang Memakan Korban
Eksekusi Qadri pada 2016, lima tahun setelah pembunuhan Taseer, memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok Islamis yang segera memanfaatkan momentum tersebut untuk menggelar protes besar di beberapa kota. Qadri pun diangkat jadi martir. Fasilitas umum banyak yang rusak, dan aksi massa hampir kali itu serupa dengan yang menyasar Hamid kemarin.
Koresponden The Diplomat yang tinggal di Lahore, Umair Jamal, menuliskan bahwa peristiwa tersebut memanaskan politik Pakistan yang tahun depan akan melaksanakan pemilihan umum. Insiden tersebut juga menyalakan alarm peringatan bahwa usaha kontraterorisme negara yang dimaksudkan untuk melawan narasi kelompok Islam garis keras telah gugur dan mesti dimulai lagi dari awal.
“Konsensus yang dibikin elit penguasa negara tersebut dengan menggabungkan diri untuk melawan kelompok Islam garis keras di Pakistan, terutama usai insiden tragis pembantaian di Sekolah Umum Angkatan Darat di Peshawar pada tahun 2014 (didalangi grup ekstremis Tehrik-i-Taliban, menewaskan 145 orang) hanya sia-sia belaka,” paparnya.
Dampak Impor Teroris dari Afghanistan
Terorisme adalah kerikil besar yang mengancam kehidupan warga sipil dan aparat keamanan baik polisi maupun tentara Pakistan sejak dua dekade terakhir, di mana mayoritas pelakunya adalah para anggota kelompok ekstremis Islam.
Menurut data South Asia Terorism Portal, total korban jiwa akibat aksi terorisme di Pakistan sepanjang tahun 2007-2017 mencapai hampir 60 ribu orang. Korban terbanyak berasal dari pihak aparat keamanan (tentara dan polisi) yang mencapai 33 ribu, diikuti dengan warga sipil 20 ribu dan anggota teroris/gerilyawan 6,2 ribu. 2009 jadi tahun paling berdarah dengan total korban jiwa mencapai 11 ribu orang. Lagi-lagi korban terbanyak berada di pihak keamanan Pakistan disusul warga sipil dan anggota teroris/gerilyawan.
Sejak musim panas 2007 sampai akhir 2009 lebih dari 1.500 orang tewas dalam serangan bom bunuh diri dan model serangan teroris lain yang khusus menyasar warga sipil. Faktor yang melahirkan serta mendorongnya macam-macam—dan menurut analisis pengamat sejarah dan politik bukan murni berasal dari dalam negeri.
Ideologi Islam garis keras dari negara tetangga-negara tetangga terutama Afghanistan. Mujahidin Afghanistan yang angkat senjata melawan ancaman Uni Soviet (dan mendapat bantuan dari Amerika Serikat) di tahun 1980-an kembali ke Pakistan. Mereka kemudian menyebarkan ideologi Islam garis keras ke masyarakat luas, hingga grup ekstremis seperti Taliban dan Lashkar-e-Taiba bisa tetap punya dukungan di akar rumput. Saat anggota kedua kelompok itu meninggal, banyak dari kalangan muslim konservatif yang justru mengangkatnya sebagai martir.
Baca juga: Gagal Basmi Taliban, AS Pangkas Bantuan Militer ke Pakistan
Meski demikian tak tidak ada faktor tunggal dalam proses radikalisasi. Di Pakistan, World Organization for Resource Development and Education menyebutkan faktornya antara lain kombinasi dari gangguan kesehatan mental—salah satunya hasrat menyimpang mencari kondisi yang berbahaya, pengangguran, kerawanan pangan, pendanaan dari kelompok teroris, norma sosial yang membenarkan aksi kekerasan, glorifikasi martir, budaya intoleransi agama, pembatasan hak-hak sipil, dan lemahnya supremasi hukum.
Laporan The Brookings Institute yang dipublikasikan dua tahun silam menyatakan bahwa individu-individu yang berbicara lantang untuk menentang dominasi kelompok ekstremis seperti Taliban di Pakistan akan jadi target persekusi. Bentuknya macam-macam, mulai dari ancaman penghilangan nyawa hingga praktiknya secara betulan.
Sebagian besar perekrutan calon teroris di Pakistan dilakukan secara langsung. Berlawanan dengan tren global yang lebih luas dalam perekrutan jihad di media sosial, sebuah laporan yang tahun lalu dirilis oleh International Center for Religion and Diplomacy (ICRD)mencatat bahwa mayoritas perekrutan untuk dibawa ke dalam pengaruh kelompok ekstremis di Pakistan, juga hingga akhirnya mau bergabung, dilakukan oleh pemuka agama setempat. Pemberitaan kasus ekstremisme di media juga berpengaruh karena framing-nya justru mengglorifikasi aksi teror sebagai jihad.
Infiltrasi Hingga ke Madrasah dan Kampus
Pendidikan di Pakistan juga jadi kanal kegagalan pemerintah Pakistan karena cenderung membiarkan penyebaran Islam garis keras di madrasah-madrasah. Pemerintah Pakistan berusaha menanggulanginya dengan mengawasi kurikulum madrasah atas interpretasi Islam yang ekstrem.
Infiltrasi ideologis di dunia pendidikan, menurut ICRD adalah faktor terkuat ketiga yang mendorong radikalisasi. Jumlah madrasah bikinan pemerintah pun ditingkatkan, yakni dari 6.000 di tahun 2008 menjadi 14.000 di tahun 2016, dan sisa 35.000 masih direncanakan atau sedang dibangun.
Pemerintah Pakistan juga merehabilitasi mantan eksrimis agar tak jatuh ke gerakan yang sama. Inisiatif lain yakni melawan propaganda Taliban melalui di daerah Lembah Swat dengan menggunakan siaran radio, pelatihan keterampilan resolusi konflik untuk perempuan, dan upaya-upaya terkait komunikasi lainnya.
Baca juga: Zionisme ala Muslim di Pakistan
Bantuan dari Pemerintah AS mengalir hingga $30 miliar sejak 11 September 2001 untuk kepentingan militer maupun sipil, termasuk pembangunan ekonomi di wilayah suku-suku penghasil ekstremis, karena tahu faktor finansial juga penting.
Sayangnya upaya-upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diharapkan, demikian dalam analisis Ryan B. Greer untuk Foreign Policy. Internet yang dimaksimalkan di berbagai wilayah di Pakistan justru dijadikan alat bagi kelompok seperti ISIS untuk menyebarkan propagandanya dengan lebih efektif dan membuat proses perekrutan lebih efisien. Tren baru lainnya pun bermunculan, salah satunya merekrut calon ekstremis di kampus-kampus yang dikenal sebagai basis mahasiswa gerakan Islam garis keras.
Blunder Militer Pakistan
Kritik pedas tak lupa menyasar lemahnya penegakan hukum yang ditangani militer Pakistan, yang ironisnya dianggap sebagai ujung tombak pemerintah dalam upaya menghantam balik serangan para ekstremis.
Jejaknya bisa ditelusuri pada hari kelabu, yakni tanggal 16 Desember 2014, ketika enam pria bersenjata dari grup teroris Tehrik-i-Taliban Pakistan menyerang gedung Army Public School di kota Peshawar, Pakistan, dan menyandera staf sekolah beserta murid-muridnya. Lebih dari 145 orang, kebanyakan anak-anak berusia antara 10 sampai 18 tahun, direnggut nyawanya, sementara 114 lainnya luka-luka.
Merujuk laporan BBC dua tahun lalu, beberapa hari kemudian pemerintah merumuskan 20 poin Rencana Aksi Nasional untuk menghadapi kelompok militan, mengekang pidato kebencian mereka, mengendalikan pengajian-pengajian agama mereka, dan memotong anggarannya. Sadar bahwa pengadilan sipil cenderung enggan menghukum para jihadis, parlemen Pakistan kemudian meloloskan amandemen konstitusi untuk menyeret para tersangka ke pengadilan militer.
Baca juga: Cermin Penodaan Agama di Pakistan Hantui Indonesia
Sebanyak 50.000 tersangka dari grup militan kemudian menyusul ditahan, dan represi dalam beragam bentuk kepada kelompok-kelompok konservatif kian dikencangkan. Namun kemudian warga Pakistan bertanya-tanya: apakah Rencana Aksi Nasional benar-benar akan membawa perubahan yang awet di negara yang berdiri atas dasar cita-cita dan filosofi Islam tersebut?
Tindakan teror memang menurun setelahnya, dan Jenderal Raheel Sharif menikmati dukungan publik. Namun publik juga sudah hafal apa yang akan terjadi selanjutnya, berkaca dari kejadian yang sama di tahun 2007. Saat itu puluhan ribu militan ditahan oleh rezim Jenderal Musharraf, tapi beberapa bulan kemudian mereka dibebaskan. Publik menilai kesalahannya justru ada di sistem penyelidikan Pakistan yang belum bisa mencegah hal yang sama terulang kembali.
Kekhawatiran ini benar-benar terjadi pada pekan lalu saat dalang dari teror bom Mumbai, India, pada tahun 2008 yakni Hafiz Mohammed Saeed dibebaskan oleh keputusan Pengadilan Tinggi Lahore. Ia langsung memimpin salat Jum'at di masjid Al-Qudsia, demikian laporan CNN. Di masjid, ia disambut oleh para pendukungnya.
Baca juga: Tudingan Antek Barat ke Malala dan Para Perempuan Terpelajar
India dan Amerika Serikat telah mendakwa Hafiz sebagai perancang serangan teroris di sekitar Kota Mumbai, ibukota keuangan terbesar di India, pada 26-29 November 2008. Sekurang-kurangnya 188 orang tewas, 22 di antaranya adalah warga asing, sementara 370 orang lainnya menderita luka-luka. Hafiz selalu mengelak tuduhan tersebut, meski jelas-jelas ia adalah salah satu pendiri Lashkar-e-Taiba, organisasi Islam militan yang didakwa menjadi pelaku serangan teror di Mumbai—juga di tempat-tempat lain.
Publik Pakistan juga punya sikap yang sama untuk kasus Omar Sheikh yang terbukti terlibat dalam pembunuhan jurnalis Wall Street Journal Daniel Pearl pada tahun 2002, yang bandingnya telah ditolak sejak tahun yang sama. Atau kasus Mumtaz Qadri yang pada 2011 membunuh Gubernur Punjab, Salman Taseer. Qadri, yang selama hidupnya menolak keras inisiatif Taseer yang ingin mereformasi undang-undang penodaan agama, justru dianggap pahlawan oleh sebagian publik Pakistan.
Baca juga: Dirty Wars: Nubuat Kegagalan AS Memerangi Terorisme
Malik Ishaq, pemimpin kelompok ekstremis-sektarian Lashkar-e-Jhangvi, dulu dibunuh secara ekstra-yudusial oleh polisi usai pengesahan Rencana Aksi Nasional. Tak berapa lama kemudian Lashkar-e-Jhangvi membalas dengan serangan bom bunuh diri yang menewaskan Menteri Dalam Negeri Punjab, Shuja Khanzada. Pesan yang muncul ke permukaan jelas dan tegas: jangan main-main dengan kami.
Kejadian tersebut menimbulkan desa-desus di kalangan masyarakat Pakistan. Jangan-jangan otoritas keamanan dan pemegang kebijakan di negara mereka bersikap lembek kepada kelompok-kelompok ekstremis karena memang takut konsekuensinya: persekusi hingga hilangnya nyawa.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf