tirto.id - Situasi di Rumah Tahanan (Rutan) Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, masih menegangkan setelah Selasa malam (9/5) para narapidana terorisme mengamuk dan menyerang petugas. Lima orang polisi dan seorang napi meninggal dunia. Beberapa orang kini masih disandera.
Terlepas dari kericuhan itu sendiri, Rutan Mako Brimob sebetulnya tak layak jadi tempat mengurung teroris.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Andrea Hynan Poeloengan, menilai kualitas dan keamanan bangunan tidak maksimal dan sudah seharusnya ditingkatkan. Tolak ukurnya, para napi dapat dengan mudah merusak bangunan saat kericuhan serupa terjadi pada November tahun lalu.
"Rutan untuk tahanan teroris dan SOP (Standar Operasional Prosedur) pemeriksaan teroris harus luar biasa, artinya maximun security dan treatment, karena terorisme kejahatan luar biasa, dan teroris adalah penjahat luar biasa," katanya kepada Tirto.
Begitu pula dengan pendapat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Ricky Gunawan. Ia mengatakan kalau Rutan tersebut memang bukan tempat penahanan yang memadai untuk menahan teroris.
Biasanya Rutan itu hanya dijadikan titipan sementara dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) sebelum dipindah ke tempat lain.
"Terlihat bahwa dalam hal keamanan, Mako agak lemah dan nampak tidak siap menghadapi situasi ricuh seperti," katanya.
Mantan Narapidana Terorisme, Ali Fauzi, mengatakan kepada Tirto bahwa dirinya sering berkunjung ke Rutan Mako Brimob. Biasanya dia menjenguk Umar Patek dan rekan-rekannya yang lain. Dia menganggap pengawasan di Rutan itu ketat dan selektif pada siapa saja yang bisa membesuk.
Namun Fauzi menduga menyelundupkan ponsel dan barang lainnya masih bisa dilakukan. Hal ini terbukti dari tersebarnya foto dan video kericuhan bahkan hanya berselang beberapa jam setelah kejadian.
"Mungkin lewat pembesuk, istri-istri mereka, itu kemungkinan besar bisa," ungkap Fauzi.
Atas dasar itu Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meminta ada penyelidikan mendalam, tentu setelah penyanderaan mereda.
"Menurut saya itu harus dievaluasi," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Kepala Bagian Humas Ditjen Permasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto menjelaskan, Rutan itu kewenangan dan anggarannya merupakan otoritas Mabes Polri. Sedangkan instansinya hanya memberikan pelatihan pada petugas. Rutan itu terdiri dari tiga blok, dari A hingga C. Tiap blok terdiri dari 10 sel.
Ade menuturkan, saat ini tahanan dan narapidana--mereka yang sudah dibuktikan pengadilan melakukan tindakan teror--di sana berjumlah 165 orang.
Menurut Ade, ada beberapa indikasi mengapa ada narapidana dalam Rutan. Di antaranya karena masih dalam proses peradilan dalam perkara yang lain atau dalam proses pemindahan ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
"Biasanya kalau di situ masih dibutuhkan untuk pengembangan Mako Brimob," kata Ade, menjelaskan sebab lainnya.
Ade tidak secara langsung menyebut kalau Rutan Mako Brimob tak layak jadi tempat menahan teroris. Namun ia bilang kalau pengawasan memang harus berlapis. Mulai dari petugas, warga binaan, hingga sanak saudara yang berkunjung harus dipastikan "steril". Ini bisa dilakukan dengan razia. Katanya, gangguan bisa muncul dari manapun dan kapanpun.
Jika diperlukan, Ade menegaskan pihaknya siap menampung para narapidana terorisme tanpa proses penilaian. Mereka yang bikin ricuh Rutan Mako Brimob bisa ditampung di Lapas Nusakambangan.
"Nusakambangan grade-nya high risk. Mereka berbahaya semua paham radikal dan anti NKRI," tuturnya.
Bulan November akhir tahun lalu juga terjadi kericuhan di Rutan Mako Brimob di Blok B dan C. Bahkan jauh sebelumnya, pada tahun 2010, Kompol Iwan Siswanto terlibat korupsi saat menjabat Kepala Rutan Brimob Kelapa Dua. Siswanto memberikan perlakuan khusus pada Kombes Pol Wiliardi Wizard dan tahanan Komjen Pol Susno Duadji yang ditahan di sana.
Begitu juga Gayus Halomoan Tambunan bisa plesiran keluar dari Rutan Mako Brimob atas izin Siswanto. Kala itu Gayus membayar lebih dari Rp50 juta per bulan. Berdasarkan putusan 16/Pid.Sus/TPK/2011/PN.Bdg, Siswanto divonis empat tahun penjara atas perbuatannya itu.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Rio Apinino