Menuju konten utama

Bahaya dan Ancaman Pelibatan TNI dalam Penindakan Terorisme

Melibatkan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme rawan bias kepentingan politik dari rezim yang sedang berkuasa.

Bahaya dan Ancaman Pelibatan TNI dalam Penindakan Terorisme
Personel satuan tugas kesehatan (Satgaskes) berbaris saat apel pemberangkatan Satgas Kesehatan TNI, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (25/1/2018). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme (TPT) DPR dan Pemerintah telah menyepakati keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Kesepakatan itu masuk dalam revisi rancangan Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (RUU TPT) yang kini masih dalam pembahasan di DPR.

Pelibatan TNI dituangkan dalam Pasal 43 H RUU TPT menyatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme melalui peraturan presiden (Perpres) yang harus sudah diterbitkan maksimal satu tahun setelah UU ini disahkan.

Ketua Pansus RUU Terorisme, Ahmad Syafii menyatakan keputusan tersebut diambil sebagai pengejawantahan Pasal 7 Ayat 2 UU TNI tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam pasal itu disebutkan pelibatan TNI dalam operasi selain perang harus melalui keputusan politik presiden.

“Agar ini benar memenuhi klausul keputusan politik dan tidak lagi temporer, tapi permanen,” kata Syafii di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018).

Pasal ini, kata Syafii, juga mengatur BNPT sebagai badan utama dalam menangani tindak pidana terorisme. Lembaga tersebut menurutnya bertugas menetapkan skala keterancaman sebagai masukan bagi presiden dalam menetapkan keterlibatan TNI.

Rawan Kepentingan Rezim

Kesepakatan ini menuai kritik dari pegiat hak sipil dan hak asasi manusia. Yati Andriyani salah satunya. Koordinator Kontras ini menilai penerbitan perpres untuk melibatkan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme rawan bias kepentingan politik dari rezim yang sedang berkuasa.

Menurut Yati perpres bisa memberikan keleluasaan kepada rezim yang berkuasa untuk menentukan poin-poin ancaman. “Perpres sangat mungkin jadi satu sarana yang digunakan untuk tujuan kepentingan politik rezim. Maka kami pertanyakan, bagaimana batasan-batasan dari Perpres itu? Apa saja poin-poinnya?,” kata Yati kepada Tirto.

Yati berkata batasan ini menjadi penting dijelaskan lantaran Pasal 43 H RUU TPT tidak sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI Nomor 34 tahun 2004 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang bersifat ad hoc alias sementara.

Ia khawatir perpres menjadi landasan permanen untuk penggunaan tentara dalam menghadapi terorisme.

“[Terlebih] Tidak semua tindakan terorisme mempunyai eskalasi yang mengharuskan keterlibatan TNI,” kata Yati.

Pendapat senada dikemukakan Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri. Gufron mengatakan pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak perlu dimasukkan dalam RUU TPT. Ia bilang, pemerintah lebih baik merevisi pasal tentang OMSP dalam UU TNI atau membuat undang-undang baru tentang perbantuan TNI kepada Polri.

“Kalau di UU Terorisme akan ada Undang-undang yang tumpang tindih [tentang] kewenangan antara TNI dan Polri dan aturan mainnya akan kabur," kata Gufron.

Rentan Terjadi Penyimpangan

Tak hanya soal tumpang tindihnya aturan, Gufron mengatakan ada persoalan lain yang dikhawatirkan muncul dari pelibatan TNI. Ia menyebut rentan penyimpangan dalam prosedur hukum seperti deteksi dini, penyelidikan, penangkapan, dan peradilan.

“[Karena] Tentara tidak pernah dilatih untuk menegakkan hukum sesuai prosedur. Mereka dilatih untuk menghabisi musuh," kata Gufron.

Kondisi ini jelas berkebalikan dengan penindakan tindak pidana terorisme yang masuk bagian criminal justice system. Penindakan terhadap sistem kejahatan harus dilakukan sesuai prosedur hukum oleh polisi, dan bukan oleh TNI yang menurut Pasal 5 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 merupakan alat keamanan negara. Tak sampai di situ, Gufron menilai, TNI sangat berpeluang menggunakan paradigma perang dalam memberantas terorisme.

“[Pemberantasan oleh] Polisi saja, Densus 88 selama ini kan muncul banyak kritik karena eksesif, apalagi tentara masuk. Tentu saja potensi terjadinya penyimpangan akan semakin terbuka,” kata Gufron.

Kondisi ini akan membuat koreksi terhadap penindakan kasus terorisme sulit dilakukan lantaran TNI tidak memiliki ruang koreksi jika melakukan penyimpangan prosedur hukum karena tidak terikat dengan sistem peradilan sipil. Ini berbeda dengan kepolisian yang terikat dengan prosedur hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Kalau polisi sewenang-wenang, misalnya ada prosedur KUHAP yang tidak dijalankan kan kita ada ruang untuk mengoreksi. Kalau tentara kan enggak punya,” kata Gufron menegaskan.

Penerbitan Perpres Harus Dikonsultasikan ke DPR

Kekhawatiran Yati dan Gufron ditanggapi anggota Pansus RUU TPT dari Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi. Bobby mengatakan perpres tidak akan menjadi alat kepentingan politik rezim lantaran pemerintah telah sepakat untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPR sebelum menerbitkan perpres.

"Ini [justru] merupakan terobosan politik legislasi,” kata Bobby.

Senada dengan Bobby, Arsul Sani yang juga merupakan anggota Pansus RUU TPT dari Fraksi PPP menjamin DPR akan tetap melakukan pengawasan terhadap perpres keterlibatan TNI. Salah satu pengawasan yang dilakukan adalah menilai bertentangan tidaknya perpres dengan Undang-undang.

Menurut Arsul mekanisme perpres dalam pelibatan TNI memberantas terorisme merupakan pengejawatahan frasa 'keputusan politik presiden' dalam UU TNI Pasal 7 Ayat 2 tentang OMSP agar tidak menjadi permasalahan di kemudian hari.

“Kalau perlu ada perubahan skema perang, yang kemudian harus dipikirkan untuk direvisi adalah UU TNI-nya,” kata Arsul.

Pelibatan TNI Sempat Ditentang Menhan

Januari lalu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak sepakat dengan wacana pelibatan TNI dalam penanganan terorisme berdasarkan skala ancaman bahayanya. Wacana itu merupakan usulan dari Pansus RUU Terorisme DPR RI yang mengikuti konsep United Kingdom Treat Terrorism di Inggris.

“Itu kan Inggris. Kita kan lain. Enggak ada di Inggris itu TNI manunggal dengan rakyat,” kata Ryamizard, Senin 29 Januari 2018.

Ryamizard menjelaskan TNI bertugas untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dan menangani segala ancaman terhadap dua hal tersebut. Sementara polisi bertugas menangani ketertiban masyarakat dan tindakan kriminal.

Akan tetapi, Ryamizard menyebut ada ruang antara Polri dan TNI untuk bekerja sama dalam menangani kasus yang mengancam kedaulatan negara dan ketertiban masyarakat sekaligus. Ia mencontohkan kasus penangkapan Santoso di Poso yang melibatkan TNI dan Polri.

“Di Poso dulu kan antara masalah hukum dan keamanan negara berbaur,” kata Ryamizard.

Saat ini, RUU TPT sedang dalam tahap harmonisasi dan sinkronisasi di Tim Sinkronisasi antara pemerintah dan DPR. Rencananya undang-undang ini disahkan pada masa sidang DPR kali ini.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih