Menuju konten utama

Menhan Tolak Skema Pelibatan TNI di Penanganan Terorisme Usulan DPR

Ryamizard Ryacudu mendukung usulan Marsekal Hadi Tjahjanto soal pelibatan TNI secara lebih luas dalam penanganan terorisme.

Menhan Tolak Skema Pelibatan TNI di Penanganan Terorisme Usulan DPR
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berbincang bersama Wakil Menhan Thailand Jenderal Chaichan Changmonkol, Wakil Menhan Malaysia YB Dato' Sri Mohd Johari bin Baharum, seusai peluncuran kerja sama 6 negara dalam pemberantasan terorisme melalui program "Our Eyes" di Nusa Dua, Bali, Kamis (25/1/2018). ANTARA FOTO/Satya Bati.

tirto.id - Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu tidak sepakat dengan wacana pelibatan TNI dalam penanganan terorisme berdasarkan skala ancaman bahayanya. Wacana itu merupakan usulan dari Pansus RUU Terorisme DPR RI yang mengikuti konsep United Kingdom Treat Terrorism di Inggris.

"Itu kan Inggris. Kita kan lain. Enggak ada di Inggris TNI manunggal dengan rakyat," kata Ryamizard, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (29/1/2018).

Ryamizard lantas menunjukkan sebuah gambar skema kerja sama antara TNI dan Polri dalam penanganan terorisme kepada wartawan. Ia menjelaskan, sesuai dengan skema tersebut, TNI bertugas untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dan menangani segala ancaman terhadap dua hal tersebut. Sementara polisi bertugas menangani ketertiban masyarakat dan tindakan kriminal.

Namun, menurut Ryamizard, dalam skema tersebut, terdapat ruang antara Polri dan TNI bekerja sama, yakni untuk kasus yang mengancam kedaulatan negara dan ketertiban masyarakat sekaligus. Ia mencontohkan kasus penangkapan Santoso di Poso yang melibatkan TNI dan Polri.

"Ini ada abu-abu. Seperti di Poso dulu kan antara masalah hukum dan keamanan negara berbaur," kata Ryamizard.

Sebaliknya, Ryamizard justru setuju dengan usulan Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto yang mendefinisikan terorisme bukan sekadar tindak kriminal.

Hadi berpendapat terorisme harus didefinisikan sebagai, "Kejahatan terhadap negara yang mengancam ideologi negara, kedaulatan negara, keutuhan negara, dan keselamatan segenap bangsa yang memiliki tujuan politik dan atau motif lainnya, yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok terorganisir, bersifat nasional dan atau internasional." Definisi ini membuka peluang bagi TNI untuk terlibat secara lebih luas dalam penanganan kejahatan terorisme di Indonesia.

"Bagaimana kriminal? Teroris itu akan mengubah ideologi Pancasila. Sedangkan tentara ini, kami pendukung ideologi negara dan tidak pernah menyerah," kara Ryamizard.

Sementara itu, Panglima TNI Hadi Tjahjanto menyatakan tetap berpegang pada usulan yang telah dia sampaikan melalui surat ke Pansus RUU Terorisme pada 8 Januari 2018 lalu.

Dalam surat tersebut terdapat tiga poin yang disampaikan oleh Hadi. Pertama, TNI ingin judul RUU 'Pemberantasan Aksi Terorisme' diganti menjadi 'Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme'. Alasan Hadi, makna 'pemberantasan' bersifat reaktif saja. Padahal, yang paling penting adalah proaktif untuk menjerat pelaku aksi terorisme pada tahap perencanaan dan tidak perlu menunggu terjadinya kejahatan beserta akibatnya.

Kedua, TNI mengusulkan agar definisi terorisme mengandung pengertian kejahatan yang mengancam negara. Ketiga, TNI mengusulkan perumusan tugas TNI dalam pemberantasan terorisme. Tugas TNI itu masuk batang tubuh RUU Terorisme Pasal 43 huruf H. Di situ dituliskan bahwa tugas TNI mengatasi aksi terorisme adalah bagian dari operasi militer selain perang. TNI mengatasi aksi terorisme lewat langkah pencegahan, penindakan, dan pemulihan, berkoordinasi dengan BNPT dan/atau kementerian/lembaga terkait.

Menurut Hadi, permohonan tersebut sesuai dengan tupoksi TNI untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia dengan fungsi penindak, penangkal dan pemulih keamanan.

"Sehingga saya berkirim surat untuk memohon bahwa TNI juga dilibatkan ya [dalam penanganan terorisme]. Karena kemampuan tadi," kata Hadi, di Kompleks DPR pada hari ini.

Namun, bila pemerintah akhirnya benar-benar menyepakati hal lain, Hadi pun akan tetap menerimanya. "Apa pun yang disepakati pemerintah dan DPR, saya, TNI, harus ikut," kata Hadi.

Alasan DPR Soal Pelibatan TNI Berdasar Skala Ancaman Terorisme

Sebelumnya, dalam rapat konsinyering Pansus RUU Terorisme, pada 25-27 Januari 2018 lalu, pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme diusulkan berdasarkan skala ancaman. "Jadi nanti mereka (TNI) bisa terlibat kalau ancamannya berskala besar, seperti penyerangan ke kedubes dan Istana Presiden," kata Anggota Pansus RUU Terorisme, Akbar Faizal usai konsinyering.

Selain itu, menurut Akbar, rapat konsinyering itu menyepakati Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai leading sector dalam penanggulangan terorisme. BNPT bertugas menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, eskalasi ancaman, termasuk sumber daya dalam menangani terorisme. Posisi BNPT pun menurutnya akan membawahkan 36 kementerian dan lembaga dan langsung berada di bawah koordinasi presiden.

"BNPT akan jadi pembantu langsung presiden soal terorisme," kata Akbar.

Dengan begitu, BNPT juga berwenang dalam menentukan skala ancaman teroris yang nantinya akan menjadi syarat pelibatan TNI. Selanjutnya, presiden akan mengeluarkan keputusan politik untuk memerintahkan TNI terlibat dalam menangani terorisme. Skema ini sesuai dengan UU 34 tahun 2004 tentang TNI bahwa presiden merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata.

Dia menambahkan DPR belum menyepakati mekanisme pemilihan kepala BNPT, yakni menyerahkan sepenuhnya kepada presiden atau tidak. Namun, DPR mempersilakan kepala BNPT dari sipil maupun militer. "Terserah presiden mau sipil atau militer. Bisa diatur lewat perpres," kata Akbar.

Baca juga artikel terkait RUU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Addi M Idhom