Menuju konten utama

Harapan dan Cerita Korban Bom Saat Bertemu Mantan Napi Terorisme

Para penyintas ingin pemerintah memenuhi hak para korban aksi teror, terutama soal pemenuhan hak kesehatan dan pekerjaan.

Harapan dan Cerita Korban Bom Saat Bertemu Mantan Napi Terorisme
Para penyintas aksi terorisme mengikuti acara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (28/2/2018). tirto.id/Lalu Rahadian.

tirto.id - “2017 mencoba untuk memaafkan [pelaku terorisme], tapi ingin tahu dari mereka sendiri bagaimana. Sejauh ini, ya baru dipertemukan, interaksi lebih belum ada.”

Kalimat tersebut keluar dari mulut Dwieky Rhomdoni (35), salah satu korban aksi bom Thamrin, Januari 2016. Ia mengaku butuh waktu untuk menghilangkan rasa curiga terhadap mantan narapidana kasus terorisme.

Dwieky menuturkan, dirinya masih was-was untuk berinteraksi secara langsung dengan mantan narapidana kasus terorisme. Rasa ragu itu tetap berkecamuk meski ia sudah tiga hari berada dalam satu forum dengan para bekas pelaku terorisme.

Sejak Senin (26/2/2018), Dwieky dan para korban bom lainnya sedang mengikuti acara bertajuk “Silaturahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia” dengan ratusan mantan napi terorisme.

Para korban bom dan pelaku terorisme itu sengaja dikumpulkan untuk saling memaafkan dan menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah. Kegiatan ini bagian dari terobosan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam penanggulangan terorisme di masa mendatang.

Menurut Dwieky, keinginan memaafkan pelaku teror Thamrin sebenarnya sudah muncul sejak 2017. Meski demikian, Dwieky tetap merasa khawatir jika berpapasan dengan mereka. Alasannya, Dwieky menganggap para bekas napi terorisme masih memiliki pemahaman radikal.

“Ideologi itu kan perlu proses untuk mengikisnya. Mungkin satu saat dengan beberapa kali kegiatan kita bisa [tidak khawatir]. Ini kan baru pertama kali ya, jadi wajar saja,” kata dia di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (28/2/2018).

Dwieky menuturkan, awalnya ia sangat kecewa dan marah terhadap para pelaku terorisme ini. Akan tetapi, rasa tersebut hilang sejak dirinya kerap melakukan konseling.

Harapan Penyintas

Kegiatan yang difasilitasi BNPT ini dimanfaatkan oleh Dwieky dan para penyintas lainnya untuk mengutarakan harapannya. Ia ingin pemerintah memenuhi hak para korban aksi teror, terutama soal pemenuhan hak kesehatan dan pekerjaan.

Wanita yang mengalami patah leher akibat bom Thamrin itu berkata, bantuan pemerintah dalam menanggung biaya pengobatan korban teror DKI Jakarta 2016 sudah ia rasakan. Selama berobat hingga kini, Dwieky tak pernah mengeluarkan uang pribadi karena dibantu LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

“Kami yang 2016 sudah ditangani sebagian oleh pemerintah. Sebelumnya bagaimana?” kata Dwieky.

Karena bom Thamrin, Dwieky sempat harus beristirahat 10 bulan dari pekerjaannya. Selama itu, ia tak menerima gaji meski tetap dipertahankan perusahaan tempatnya bekerja. Akibatnya, wanita yang bekerja di sebuah perusahaan swasta itu sulit memenuhi kebutuhan hidup selama diliburkan. Ia pun berutang kepada keluarga dan temannya sebagai solusi.

Setelah bisa bekerja kembali, Dwieky mengaku mengalami kendala lain. Ia harus sering beristirahat karena tak lagi memiliki kondisi fisik seperti dulu.

“Sekarang mulai saraf sensorik, motorik, terganggu. Kemudian gerak sering kaku, bahkan pernah tidak bisa napas. Sekarang seminggu tiga kali harus berobat,” kata Dwieky.

Bantuan di bidang kesehatan juga diakui Chusnul Hatimah, seorang penyintas teror Bom Bali I. Ia berharap Kementerian Kesehatan memberi Kartu Indonesia Sehat (KIS) tak hanya untuknya, akan tetapi juga anak-anak mereka.

Chusnul mengaku, sudah 15 tahun dirinya berobat dengan biaya sendiri guna menyembuhkan keloid akibat bom. Ia sebenarnya telah mendapat KIS pada Juli 2017, tetapi tak bisa digunakan karena rumah sakit tak menanggung biaya pengobatan keloid.

“Sedangkan saya punya tiga anak, perlu pengobatan siapa tahu sakit atau gimana. Karena sejak bom, ekonomi saya sangat terpuruk,” kata Chusnul sambil menangis.

Selain Dwieky dan Chusnul, harapan juga disampaikan korban Bom JW Marriot bernama Fifi. Menurut dia, ada tiga kebutuhan utama para korban aksi teror, yakni di bidang kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan.

Fifi berharap, pemerintah bisa memberi bantuan usaha kepada korban aksi teror yang mengalami cacat permanen. Pelatihan bisnis juga diharapkan mampu difasilitasi Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah.

“Mohon juga Menteri Tenaga Kerja dapat memberi bantuan kepada korban yang berusia produktif bisa diberikan pekerjaan. Untuk Menteri Pendidikan tolong beasiswa untuk korban khususnya anak agar bisa mendapat tunjangan pendidikan,” kata Fifi.

Keinginan Mantan Napi Terorisme

Harapan lain disampaikan para bekas tahanan kasus terorisme. Ali Fauzi, adik kandung terpidana bom Bali Amrozi dan Ali Imron, meminta pemerintah memberi grasi atau remisi terhadap napi terorisme yang sudah tak radikal.

Menurut dia, napi kasus terorisme yang sudah tobat harus dimanfaatkan. Contohnya, mereka bisa dijadikan duta perdamaian bagi Indonesia.

"Saya dulu dianggap sampah, tak berguna... Dulu ada malaikat yang membantu saya menawarkan beasiswa untuk kuliah. Alhamdulillah di perkuliahan itu saya mampu afirmasi, ada proses metamorfosis,” ujar Ali.

Bekas terpidana kasus terorisme lain, Sofyan Tsauri, ingin pemerintah sering menggelar acara seperti yang diadakan BNPT. Menurut dia, mempertemukan korban dengan mantan napi terorisme adalah jalan paling efektif menangkal radikalisme.

"Ketika korban datang membesuk pelaku, yang dikatakan pelaku 'inilah yang ditunggu selama ini.' Kita tak perlu menangkal mereka dengan banyak ayat, tapi dengan sisi-sisi kemanusiaan," kata Sofyan.

Baca juga artikel terkait KORBAN BOM atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz