Menuju konten utama

Hak Korban Terorisme yang Terabaikan

Revisi UU Terorisme yang sedang dibahas di DPR terkesan hanya menyoroti penindakan dan pencegahan, tetapi belum menyentuh hak-hak korban yang selama ini terabaikan. Mungkinkah revisi ini juga menjadi momentum pemenuhan hak korban dan optimalisasi peran korban terorisme?

Hak Korban Terorisme yang Terabaikan
Petugas memindahkan jenazah korban bom di kawasan MH Thamrin Jakarta dari kontainer pendingin ke ruang instalasi forensik untuk diidentifikasi di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, Jumat (15/1). Kepolisian masih terus melakukan identifikasi tujuh jenazah korban bom dan penembakan di kawasan MH Thamrin. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Mata Nagia (42) berkaca-kaca. Sesekali ia menghapus air matanya dengan tisu. Istri dari Harna, korban bom JW Marriott 1 tahun 2003 silam itu berusaha mengingat kembali peristiwa naas yang menewaskan suaminya.

Ledakan bom yang meluluhlantakkan hotel JW Mariott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 14 tahun silam itu memakan korban 12 orang meninggal dunia dan sekitar 150 orang luka-luka, termasuk Harna, suami Nagia yang berprofesi sebagai sopir taksi dan biasa ngetem di daerah tersebut.

Akibat musibah yang menimpa suaminya ini, Nagia yang sehari-hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga harus membesarkan tiga anaknya yang masih kecil seorang diri. Ia harus menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah dan membiayai anak-anaknya sekolah.

“Saat itu yang ada di benak saya cuma bilang kenapa suami saya yang menjadi korban,” ujarnya saat berbagi cerita, di Hotel Novotel, Solo, pertengahan September ini.

Beruntung ia masih bisa menyisihkan sebagian dari sumbangan yang ia terima untuk membuat usaha kecil-kecilan. Dari usaha inilah Nagia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga anak sulungnya lulus SMK.

Namun sebagai korban terorisme, Nagia tidak pernah mendapat hak kompensasi dari negara. Padahal Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tantang Pemberantasan Terorisme sudah mengaturnya. Pasal 36 ayat (1) berbunyi: “Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.”

Tak hanya Nagia, Kristian (40), korban bom terorisme Kedubes Australia 2004 juga tidak pernah mendapatkan kompensasi dari negara. Padahal korban yang tubuhnya mendapat 600an jahitan ini masih harus menjalani perawatan medis.

Kris, sapaan akrabnya, harus menjalani delapan kali operasi besar untuk memulihkan kaki dan rahang bawahnya yang patah. Belum lagi operasi-operasi kecil untuk mengambil proyektil yang masuk ke tubuhnya. Saat ini, di tubuhnya masih bersarang beberapa logam atau proyektil akibat ledakan bom tersebut.

“Tepatnya di belakang mata, di rahang bawah, dan paling besar ada di paha sebelah kanan. Menurut dokter, kalau diambil bisa membahayakan jaringan tubuh dan menimbulkan pendarahan,” cerita Kris.

Selama perawatan, Kris mengaku mendapat bantuan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan Ausaid. Namun, bantuan dari pemerintah hanya sebatas penanganan medis pada awal-awal kejadian, padahal ia harus tetap berobat sampai saat ini.

Mengubah Prosedur Kompensasi

Hasil kajian Aliansi Damai Indonesia (AIDA) bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan, tidak adanya kompensasi itu salah satunya karena keputusan mendapatkannya harus melewati prosedur dan amar putusan pengadilan. Maka, sejauh ini, korban terorisme belum ada yang mendapatkan kompensasi sejak UU No. 15/2003 diberlakukan.

Dalam konteks ini, baru satu amar putusan yang mengamanatkan kompensasi, yaitu dalam putusan bom JW Marriott 2003. Namun, lagi-lagi putusan tersebut tidak mencantumkan nama-nama korban yang berhak menerima.

Selain persoalan amar putusan pengadilan, waktu juga menjadi masalah. Misalnya, proses hukum (termasuk terbitnya amar putusan pengadilan) untuk sampai pada tahap berkekuatan hukum tetap membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan penanganan korban, termasuk pemenuhan kompensasi, butuh tempo yang secepat-cepatnya.

Dalam kajian ini, AIDA bersama ICJR dan Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban memandang agar kompensasi tak perlu melalui amar putusan pengadilan.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi mengatakan, revisi UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang sedang dibahas antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjadi momentum yang tepat untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh, termasuk di antaranya pemenuhan hak korban dan optimalisasi peran korban terorisme. Revisi UU No.15/2003 seharusnya tak hanya mencakup penguatan penindakan dan pencegahan.

Mendorong Penguatan Korban

Menurut ICJR, RUU Terorisme versi 29 Januari 2016 memuat 10 hal yang direkomendasikan pemerintah untuk direvisi. Kesepuluh muatan itu terdiri dari perluasan tindak pidana terorisme, terorisme anak, penahanan, penangkapan, penelitian berkas perkara, alat bukti, pemeriksaan saksi, perlindungan aparat penegak hukum, penanggulangan dan deradikalisasi, dan ketentuan peralihan. Tak ada poin soal hak-hak korban terorisme.

Karena itu, AIDA bersama ICJR dan Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban melakukan kajian yang diterbitkan dalam buku Minimnya Hak Korban dalam RUU Pemberantasan Terorisme yangberisi usulan rekomendasi atas RUU Pemberantasan Terorisme di Indonesia. Setidaknya ada 10 Daftar Inventarisir Masalah (DIM) terkait hak korban terorisme yang diserahkan ke DPR. AIDA juga telah melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan DPR RI terkait revisi UU ini.

AIDA mengusulkan beberapa perubahan dalam revisi UU Terorisme, salah satunya agar revisi memuat ketentuan mengenai korban, kompensasi, dan rehabilitasi.

Selain itu, pada BAB VI UU No. 15/2003 yang mengatur tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi diubah menjadi Penanganan Korban, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Klausul “restitusi” diusulkan untuk dihapus karena dinilai tidak logis dan secara faktual restitusi ini tidak pernah terlaksana. Apalagi UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak mengatur hak restitusi bagi korban tindak pidana terorisme.

Dalam (DIM) yang diusulkan AIDA ke DPR, dimasukkan juga soal penanganan korban. Berdasarkan catatan AIDA, dalam banyak kasus, penanganan medis korban terorisme sempat banyak yang terabaikan akibat tidak ada jaminan pembiayaan dari pemerintah.

Salah satu korban bom di Kedutaan Besar Australia 2004, Sudarsono Hadisiswoyo, menilai penanganan korban ledakan bom terorisme Kedubes Australia 2004 silam lamban karena tidak ada yang menjamin soal pembiayaan. Saat itu, ledakan terjadi sekitar pukul 10.30 WIB, tetapi pemerintah baru mengeluarkan keputusan kalau biaya medis ditanggung pemerintah sekitar pukul 12 malam.

Karena itu, dalam revisi UU Terorisme ini, AIDA mengusulkan penambahan pasal, yaitu Pasal 36 A yang Ayat (1)nya berbunyi: "Pada masa kritis, negara mengumumkan jaminan pembiayaan medis yang dibutuhkan oleh korban tindak pidana terorisme.

Ayat (2) diusulkan berbunyi: “Masa kritis yang dimaksud dalam ayat (1) adalah sesaat setelah terjadinya tindak pidana terorisme yang menimbulkan jatuhnya korban meninggal dunia, cedera fisik, dan/atau trauma psikis. Sedangkan ayat (3): “Implementasi terhadap ayat (1) dan (2) dilaksanakan oleh dan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Tak hanya itu, DIM terkait hak korban terorisme yang dimuat dalam buku itu juga mengusulkan beberapa perubahan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar, yaitu pencantuman pengertian korban dan kompensasi, kompensasi tanpa syarat putusan pengadilan, dan pencantuman hak korban terorisme secara lebih spesifik.

Sudah saatnya pemerintah dan DPR memperhatikan hak-hak korban terorisme dalam revisi UU No. 15 tahun 2003 ini. Apa yang dialami Nagia, Kristian, dan Sudarsono di atas hanya sebagian kecil dari ketidakhadiran negara dalam kasus korban terorisme ini.

Baca juga artikel terkait KORBAN BOM atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti