tirto.id - Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga non pemerintah yang fokus pada advokasi korban terorisme meminta agar revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengakomodir korban. Pasalnya, UU yang ada saat ini belum memberikan perhatian kepada korban dan hak-haknya.
Usulan tersebut diungkapkan Deputi Direktur AIDA Laode Arham, di Jakarta, Rabu (25/5/2016). “Dalam Undang-Undang yang ada saat ini, tidak ada ketentuan atau penjelasan tentang definisi korban, kompensasi dan rehabilitasi yang diberikan kepada korban,” kata Laode.
Karena itu, lanjut Laode, AIDA mengusulkan beberapa definisi tentang korban, kompensasi dan rehabilitasi dalam revisi Undang-Undang Terorisme.
Usulan AIDA, kata Laode, korban adalah seseorang atau ahli warisnya yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana terorisme. Sedangkan kompensasi adalah ganti rugi bersifat materiil atas penderitaan dan atau hal-hal yang hilang atau rusak dari seseorang akibat tindak pidana terorisme.
“Korban juga harus mendapatkan rehabilitasi, yaitu pemulihan pada kedudukan semula seperti kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik dan psikis,” kata dia.
Menurut Laode, korban tindak pidana terorisme berhak mendapatkan bantuan medis, psikologis, rehabilitasi psikososial dan kompensasi. Namun, realitas saat ini pemenuhan hak-hak korban masih sangat lemah.
“Pada saat kejadian, tidak sedikit korban yang harus menunggu berjam-jam untuk mendapat layanan medis karena menunggu jaminan pembiayaan dari pemerintah,” kata Laode menambahkan. (ANT)
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz