tirto.id - Saat saya masih kecil, nama Romo Mangun sudah akrab di telinga. Saat itu, saya tidak tahu siapa dirinya. Saya hanya tahu dari bapak dan ibu bahwa rumah yang kami tinggali di pinggir kali Code adalah bikinan Romo Mangun.
Rumah kami dulu berada persis di pinggir kali Code, Terban, Yogyakarta. Saya tinggal di sana antara 1988 sampai 1993. Dahulu, kampung pinggir kali Code adalah kawasan kumuh, tidak diakui sebagai pemukiman oleh pemerintah Yogyakarta. Pada 1981, Romo Mangun masuk ke Code dan menggagas pembangunan rumah di bantaran yang layak huni.
Hasilnya memesona. Berkat sentuhan Romo Mangun, pemukiman kumuh itu menjadi ceria dan penuh warna-warni. Rumah-rumah dibangun bertingkat dengan fondasi kokoh di lahan miring pinggir sungai. Di tengah pemukiman dibangun balai warga sekaligus tempat anak-anak bermain dan belajar. Jalan berundak dan berkelok terhubung dengan gang sempit di sebelah jembatan Gondolayu. Tiap kali saya melihatnya dari atas jembatan itu, dalam pandangan mata seorang bocah, deretan rumah di sana tampak indah.
Rumah yang saya tempati adalah rumah gedek biasa. Tapi lantaran dicat dengan aneka warna dan dihiasi gambar-gambar, ia enak dipandang mata. Rumah itu dibangun dua lantai untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu terjadi banjir.
Kondisi pemukiman di kali Code kini tidak banyak berubah namun makin padat. Model bangunan bersusun dan terbuat dari bangunan semi permanen tetap dipertahankan. Terakhir kali saya berkunjung ke Code pada 2014, bertepatan dengan peringatan Haul Romo Mangun ke-15. Rumah yang dulu saya tempati kini sudah menjadi Museum Romo Mangun.
Kampung Code kini dikenang sebagai karya gemilang Romo Mangun sebagai seorang arsitek. Banyak pemukiman yang menjadikan Code sebagai contoh pembangunan kampung di pinggir kali. Karena karyanya di Code itu, pada 1992 ia dianugerahi Aga Khan Award, sebuah penghargaan bagi konsep arsitektur yang ramah lingkungan dan mewadahi aspirasi masyarakat. Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada 1995 karena dedikasinya untuk kaum marginal di Code.
Dari Tentara, Pastor, Sampai Pengarang
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, begitu nama lengkapnya, lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 6 Mei 1929. Ia memulai pendidikan di HIS Fransiscus Xaverius Muntilan, Magelang, pada usia tujuh tahun. Ia lantas melanjutkan pendidikan di STM Jetis Yogyakarta.
Sebelum lulus dari STM, Mangun bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai prajurit dan ikut pertempuran di Ambarawa dan Magelang. Dalam Romo Mangun: Sahabat Kaum Duafa (2005), Iip D. Yahya menceritakan, saat Mangun bergabung dengan TKR ia terlibat dalam pencurian mobil-mobil milik Jepang.