Menuju konten utama
25 Desember 1948

Merayakan Natal di Tengah Agresi Militer Belanda II

Lonceng berbunyi.
Hening berkait dalam
getar dan gema.

Ilustrasi Natal di zaman perang. tirto.id/Gery

tirto.id - Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor (1904-1949) tak beri libur natalan bagi serdadu-serdadunya di tahun 1948. Seminggu sebelumnya, Spoor baru saja mengerahkan tentara untuk menduduki Ibukota RI Yogyakarta dalam hitungan jam.

Setelah ibukota diduduki dan para pejabatnya ditahan, Spoor dan tentaranya tak mau berleha-leha. Mereka mengejar gerilyawan-gerilyawan Republiken di pedalaman. Para serdadu dikerahkan sekuat tenaga untuk menangkap Panglima Besar Jenderal Soedirman (1916-1950). Spoor tampak seperti dikejar deadline.

Baca juga: Mengapa Ibukota Republik Bisa Diduduki dalam Hitungan Jam

Sementara itu, sehari sebelum Natal 1948, Soedirman sedang berada di Kediri. “Jum'at 24 Desember 1948. Pagi hari Panglima Besar mengadakan perundingan dengan Kolonel Sungkono,” tulis Nazaruddin dalam Kemanunggalan ABRI Dengan Rakyat: Sekelumit Catatan Sejarah (1984: 119-120).

Hanya sampai sore Soedirman dan rombongan pengawalnya berada di sana. Menjelang malam, seperti diusulkan Kapten Soepardjo, Panglima Besar itu dikawal menyingkir dari Kediri. Bakda Magrib mereka menuju sebelah barat sungai Brantas, ke desa Sukarame. Di sana Soedirman beristirahat.

Esok harinya, tepat di hari Natal, pada pukul 08.00, Kediri pun diserang militer Belanda. Rupanya, menurut Soejoedi Soerachmad dalam Satu Abad Memorabilia Soerachmad, Pejuang Kemerdekaan, Pendiri Divisi Brawijaya (2004), sepasukan Baret Merah Belanda yang menyaru seragam ala TNI berhasil menyusup masuk lebih dulu ke kota Kediri pada Sabtu tanggal 25 Desember 1948 dini hari (hlm. 124).

Pagi harinya, datang pula panser-panser dan kavaleri Belanda. Selain itu, menurut Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer (2009), serangan udara juga dilancarkan. Di tempat yang dicurigai intel Belanda sebagai tempat persembunyiannya. “Soedirman lolos, oleh karena pada saat itu dia sudah sampai di lereng Gunung Wilis,” tulis Julius Pour (hlm. 311).

Pada front pertempuran lain nun jauh di barat, di hari Natal 25 Desember 1948 itu, Romo Soegijapranata (1896-1963) tetap menjalankan tugasnya sebagai pemimpin umat Katolik. Menurut catatan hariannya yang dibukukan dengan judul Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang: Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J., 13 Februari 1947-17 Agustus 1949 (2003), ia memimpin tiga misa setelah pukul 06.30 pagi. Selanjutnya, ia menerima beberapa tamu (hlm. 153).

Di masa perang itu, yang saban hari siapa saja bisa mati, Romo Soegija selalu diliputi perasaan harap-harap cemas. Dia menerima beberapa kabar buruk soal orang yang terbunuh dan terjarahnya seminari. Menurut catatan Anhar Gonggong dalam Mgr. Albertus Soegijapranata SJ: Antara Gereja dan Negara (2012), setelah Yogyakarta diduduki Belanda dan karena sulitnya perekonomian, Romo menganjurkan untuk tidak bermewah-mewahan dalam merayakan Natal (hlm. 88-89).

Bergeser sedikit lagi ke barat, seorang Kristen harus menjalani Natal di medan gerilya. Sebagai seorang Batak Nasrani, Tahi Bonar Simatupang (1920-1990) tak mudik natalan ke kampung halamannya di Sumatera Utara. Itu tidak mungkin. Sebab sebagai perwira TNI, yang baru saja diporak-porandakan armada Jenderal Spoor, sulit baginya untuk menjauhi medan gerilya. Kolonel Simatupang—belakangan dikenal sebagai jenderal pemikir—hanya bisa menghabiskan hari-hari Natal di Kaliburu, bersama rombongan gerilyawan.

Baca juga: Simatupang Mematahkan Mitos

“Kami tinggal di Kaliburu selama hari-hari Natal, yakni tanggal 24, 25 dan 26 Desember 1948. Kami tidak merayakan hari-hari Natal itu. Cuma tentulah menjadi pokok pembicaraan diantara kami, kenapa Belanda-Belanda ini memberikan Kerst-Cadeau (kado natal) berupa serangan militer kepada bangsa kita,” tulis Simatupang dalam buku legendarisnya, Laporan Dari Banaran (1980: 30). Setelah Natal berlalu, Simatupang dan rombongannya bergerak menuju Ropoh.

Di hari Natal 1948 itu pula, cerita sedih harus dialami Abikusno Tjokrosujoso (1897-1968), Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum pertama Indonesia yang juga adik H.O.S. Tjokroaminoto. Buku Mohamad Roem 70 Tahun: Pejuang Perunding (1978) mencatat, "dua orang putra dari Abikusno Tjokrosujoso diambil dari rumah pada tanggal 25 Desember 1948 malam, dan kedapatan mati tertembak esok paginya di luar" (hlm. 141).

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/23/infografik_mozaik_25_desember_2017_natal_-_quita_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1523" alt="Infografik Mozaik merayakan natal di masa revolusi 1948" /

Sementara itu, jelang Natal 1948, Donald Izacus Pandjaitan (1925-1965) sedang berada di pedalaman Sumatera. Bersama bawahan-bawahannya, ia bertolak ke daerah Riau. Mereka menyusuri rimba raya Bukit Barisan untuk bisa sampai. Kisah ini diceritakan Marieke Pandjaitan Boru Tambunan dalam DI Pandjaitan: Gugur Dalam Seragam Kebesaran (1997: 75-76).

Malam Natal 25 Desember 1948, mereka sudah berada di sebuah desa kecil di dalam hutan. Mereka jauh dari rumah dan keluarga. Di desa itu mereka menginap pada sebuah warung. Malam itu seharusnya mereka sudah terlelap karena esok paginya tentu harus misa ke gereja.

Sebagai seorang Kristen taat, Pandjaitan berserah diri sekaligus membangun semangat pasukannya. “Semua bisa terjadi menurut kehendak Tuhan,” ujar Pandjaitan kepada Letnan Suhimbar Siagian, Letnan Pieter Simorangkir, dan Sersan Mayor G.G. Simamora.

“Tidak seorang pun diantara kita yang menduga akan sampai ke tempat ini,” lanjut Pandjaitan. Itu semua, katanya pula, adalah panggilan tugas sekaligus kemauan Tuhan.

Meski tak bisa ke gereja, Pandjaitan bersama para bawahannya tetap berusaha memuliakan Yesus Kristus. Ia pun mengajak tiga bawahan sekaligus kawan seperjuangannya, “Bersyukurlah dalam hati dan mari kita bernyanyi.”

“Malam Kudus, sunyi senyap/BintangMu gemerlap/Juru selamat manusia/Ada datang di dunia/Kristus anak Daud, Kristus anak Daud...” Mereka bernyanyi dengan khidmat dan gembira.

Sementara Bustami, rekan seperjalanan mereka yang beragama Islam, turut merasakan kesyahduan Natal kawan-kawan Kristianinya. Malam itu, Natal menyatukan mereka semua dalam kebersamaan.

Esok paginya, pemilik warung membangunkan mereka. Setelah sarapan, sekitar pukul 06.20, mereka meneruskan perjalanan ke Riau. Di hari ketika Pandjaitan dan kawan-kawan seharusnya merayakan Natal bersama keluarga, mereka tetap melanjutkan gerilya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->