tirto.id - Belum genap sepekan kericuhan di Mako Brimob yang berujung tewasnya lima anggota Polri, hari ini (13/5) serangan bom bunuh diri terjadi di tiga gereja. Aksi yang diduga dilakukan oleh jaringan pendukung ISIS telah menewaskan 13 orang dan 43 luka-luka (Pukul 20.00, Minggu 13/5)
Menurut klaim Polri, kelompok jaringan ini sudah terdeteksi bergerak setelah kericuhan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Korps Brigade Mobil itu terjadi Selasa (8/5). Namun, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto membantah Polri kebobolan. Alasannya, Polri terkendala dengan ketentuan soal Undang-Undang terorisme saat akan mengambil langkah tegas.
“UU (Undang -Undang) kita sifatnya responsif,” ujar Setyo dalam jumpa pers di Markas Besar Polri hari ini, Minggu (13/5).
Ia berharap, rancangan revisi UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa memberikan keleluasaan bagi Polri untuk melakukan tindakan preventif, salah satunya ialah menangkap langsung orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok teroris.
“Segera diberikan payung hukum kepada Polri untuk dilakukan upaya preventif. Kita bisa menangkap orang yang sudah ada barang buktinya,” ujar Setyo.
Wawan Purwanto, Juru Bicara Badan Intelijen Negera (BIN) mengatakan, setelah insiden kericuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob, beberapa informasi terkait adanya pergerakan jaringan teroris di berbagai wilayah Indonesia telah disampaikan kepada Polri.
Informasi itu antara lain soal pergerakan jaringan teroris yang berafiliasi dengan Kelompok ISIS di Indonesia bakal melakukan serangan sejak 11 Mei 2018. Namun lagi-lagi, Polri termasuk BIN mengaku kesulitan mendeteksi langkah yang dilakukan jaringan teroris ini.
“Kan Polisi enggak bisa menangkap karena harus ada bukti permulaan yang cukup ya," ujar Wawan.
Setelah Kericuhan di Mako Brimob
Ketika kericuhan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob terjadi pada Selasa lalu, Polri buru-buru memberikan klarifikasi terkait jaringan para pelaku. Namun, saat ditanya wartawan, Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigadir Jenderal M Iqbal membantah para tahanan yang membuat kericuhan di dalam rutan merupakan jaringan terafiliasi dengan ISIS.
“Sampai saat ini, kami membantah itu (ISIS)," kata Iqbal, Kamis lalu (10/5). Iqbal pun menguatkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat terkait dengan ISIS.
“Kejadian itu dipicu oleh permasalahan makanan tahanan,” kata Iqbal.
Setelah kericuhan di Mako Brimob, ISIS mengklaim bertanggung jawab atas kejadian menewaskan lima orang polisi di Rutan Mako Brimob. Klaim ini lah berseberangan dengan keterangan Polri. Apalagi dengan merujuk rentetan peristiwa setelah kericuhan di Rutan Mako Brimob, pola-pola ini menguatkan para pelaku berafiliasi dengan jaringan ISIS di Indonesia.
Muhammad Jibriel Abdul Rahman, pemerhati terorisme telah menganalis pelaku kericuhan di Rutan Mako Brimob adalah orang-orang yang terafiliasi dengan ISIS. Namun, ia meyakini serangan teror tidak direncanakan. Pasca kejadian di Mako Brimob, telah berdampak terhadap mereka yang berideologi dengan ISIS di Indonesia. Mereka tergugah untuk melakukan tindakan serupa, karena kejadian di Mako Brimob adalah kesuksesan dengan korban jiwa polisi sampai lima orang.
Analisa Jibriel ini berdasarkan insiden penusukan anggota Polisi, sehari setelah drama penyanderaan berlangsung di Rutan Mako Brimob. Setelah itu, dilanjutkan dengan serangan bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja di Surabaya.
“Saya bisa pastikan itu ISIS,” kata Jibriel kepada Tirto. Ia pun menegaskan, jaringan ini memang mengincar aparat kepolisian karena dianggap sebagai musuh.
Apa yang dikatakan Jibriel dibenarkan oleh Wawan Purwanto, Juru Bicara BIN. Wawan mengatakan para pelaku merupakan jaringan ISIS yang berafiliasi dan eksis di Indonesia melalui organisasi Jamaah Ashar Daulah (JAD).
"Memang indikasinya ke JAD," ujar Wawan. Ia pun mengatakan, jaringan ini merupakan kelompok lama yang bersalin rupa dengan berganti beberapa nama.
Polri akhirnya telah membenarkan usai kejadian ricuh di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob, terkait jejaring kelompok teroris berafiliasi dengan Jamaah Ashar Daulah, satu dari tujuh kelompok jejaring ISIS di Indonesia yang dipimpin oleh Aman Abdurrahman. Sebelum mengalami perubahan nama, JAD dulunya bernama Tauhid Wal Jihad yang langsung dikomandoi oleh Aman.
“Mereka ini kelompok JAD Jabodetabek termasuk Bandung sekarang mereka bergerak bersama-sama,” kata Setyo menanggapi pertanyaan terkait sejumlah penangkapan teroris yang berbarengan di hari yang sama saat ada serangan bom meledak di Surabaya.
Pada Minggu (13/5) sebanyak empat orang terduga teroris ditembak mati Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Terminal Pasirhayam, Desa Sirnagalih Kecamatan Cilaku, Cianjur, Jawa Barat pada Minggu (13/5/2018).
Di hari yang sama, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian juga memberi pernyataan bahwa pelaku bom di tiga gereja di Surabaya, diduga dilakukan oleh satu keluarga pendukung ISIS
"Kelompok tak lepas dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang merupakan pendukung utama ISIS di Indonesia yang dipimpin oleh Aman Abdurahman," kata Tito.
Dianggap Kebobolan
Beberapa kejadian seperti ricuh di Mako Brimob, penusukan aparat polisi, dan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, telah memunculkan pertanyaan bagaimana kepolisian memproteksi keamanan warga dari tindakan terorisme?
Insiden di Mako Brimob memberi pesan bahwa "kandang" pasukan elite Polri saja bisa dikuasai para narapidana teroris selama 38 jam, dan tentu saja menjadi tamparan keras bagi kepolisian.
Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) mengatakan serangan teror ini merupakan bukti ada permasalahan di internal Polri sehingga membuat Polri kebobolan. Ia menyebut, serangan teror bom bunuh di Surabaya dan rangkaian kejadian sebelumnya akibat tak solidnya Polri dan ditambah fungsi intelijen tidak berjalan.
Ia berpendapat kejadian ini mirip seperti serangan bom bunuh diri yang terjadi di terminal Kampung Melayu pada 2017 lalu. “Sejak awal kepemimpinan Pak Tito tidak solid di internal dan ini menyebabkan informasi intelijen kebobolan dan pola ini terjadi di Kampung Melayu,” kata Bambang, Minggu (13/5)
Polri yang mengklaim sudah mendeteksi adanya pergerakan jaringan teroris pasca kericuhan di Rutan Mako Brimob, namun kata Bambang, faktor adanya ketidaksolidan bisa nampak dari rentetan serangan teror melanda belum genap sepekan ini.
Ia mempertanyakan bagaimana sistem deteksi dini intelijen dan Polri bekerja, saat rangkaian kejadian serangan selama sepekan berlangsung.
"Kalau fungsi intelijen ini berjalan dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bisa menjalankan sesuai tugasnya, ini bisa diantisipasi,” ujar Bambang.
Editor: Arbi Sumandoyo