tirto.id - Kota Raqqa dan Mosul, dua basis penting milisi ISIS di Timur Tengah, hanya menunggu waktu pembebasan. Posisi ISIS kini semakin terpojok. Para simpatisan ISIS dari luar negeri yang semula berbondong-bondong datang ke Irak dan Suriah mulai tunggang-langgang meninggalkan pertempuran. Banyak dari mereka yang pengin pulang ke kampung halaman. Termasuk para simpatisan ISIS asal Indonesia.
Pada pertengahan Juni lalu, Syirian Defense Forces (SDF) menemukan 12 WNI, terdiri 9 perempuan dan 3 anak-anak di utara kota Raqqa. Mereka kini ditampung di Ain Issa, sebuah kota yang menjadi kamp pengungsi Suriah.
Kepada BBC Indonesia, Dilfansyah Rahmani, seorang di antara 9 perempuan WNI, mengatakan lima laki-laki yang pergi bersama mereka saat ini berada di penjara Kobane, Suriah.
"Laki-laki (yang bersama kami) tak ada yang pernah berperang bersama Daesh (Daulah Islamiyah/ISIS). Tak ada sama sekali. Kami semua benci sama mereka dan kami tertipu oleh mereka. Kami ingin ke luar dari Daesh lebih dari setahun lalu, tetapi baru bisa menemukan jalan ke luar sekarang," ucapnya.
"Kami di sini sudah tiga minggu dan ingin sesegera mungkin kembali ke Indonesia," kata Dilfansyah, yang mengharapkan bantuan dari pemerintah Indonesia. "Kondisi kami di sini juga banyak yang sakit-sakitan, uang semakin menipis," ucapnya dalam berita yang dirilisBBC Indonesia pada Senin kemarin (3/7).
Pada pertengahan Juni, kepada kantor berita AFP, Dilfansyah mengakui bahwa apa yang dijanjikan oleh ISIS selama ini omong kosong belaka. "Semua bohong... ketika kami memasuki wilayah ISIS, masuk ke negara mereka, yang kami lihat sangat berbeda dari apa yang mereka katakan di internet."
Pro-Kontra Pemulangan Simpatisan ISIS ke Indonesia
Pada 26 Juni, Jenan Moussa, reporter TV Arabic Al Aan, mencuit di akun Twitternya saat ia mendatangi kamp Ain Nissa. Ia bertemu dengan para pengungsi Suriah dari Raqqa termasuk para perempuan asal Indonesia.
"Saya juga melihat keluarga dari Indonesia yang datang ke Raqqa bergabung ISIS. Mereka menolak berbicara kepada saya dan mengklaim sebagai korban dari ISIS," katanya.
"Ketika perempuan pengungsi Suriah mendengar jawaban mereka, 'Kami adalah korban dari ISIS," ia hampir saja memukuli para perempuan dari Indonesia ini," cuitnya lagi.
"Perempuan Indonesia mengatakan kepada saya, 'ISIS menipu kami dengan propaganda,' dan saya katakan, "Anda melihat video pemenggalan dan memutuskan bergabung dengan ISIS? Tak ada jawaban," tulis Moussa.
Alto Lugger, seorang analis konflik dan penggagas perdamaian yang selama ini tinggal di Mosul, kepada Tirto mengakui bahwa kemunculan para WNI akan membuat pemerintah Indonesia dalam posisi dilematik: Apakah memulangkannya atau membiarkannya terkatung-katung di Suriah. Jika dipulangkan, Lugger berharap ada proses penyeleksian yang ketat, agar setelah pulang para ISIS-ers ini tak lagi berbuat onar.
"Menyeberangkan pendukung/simpatisan ISIS ke luar dari Suriah harus dijelaskan secara transparan, dari proses screening yang tepat, jelas, dan mendalam, agar Indonesia tidak dituduh memberi toleransi kepada para simpatisan/pendukung ISIS ini, apalagi kalau mereka ternyata adalah kombatan yang ikut membunuh rakyat tak berdosa di Suriah," ucapnya.
Namun, ia mewanti-wanti, mereka yang sudah berhasil kembali ke teritori ISIS dan tinggal selama berbulan-bulan bukanlah para WNI sembarangan. Klaim "korban" yang sering dilontarkan, kata Lugger, menjadi tidak relevan.
"Bisa dilihat bahwa proses seseorang maupun keluarga yang berangkat dan kemudian bergabung dengan ISIS adalah proses yang panjang, berliku-liku, dan memakan waktu yang sangat panjang. Bukan mingguan tapi bulanan. Ini adalah proses yang diambil lewat perenungan dan perencanaan matang," tambahnya.
"Bahwa mereka mengatakan sebagai korban adalah bagian dari jawaban yang sudah dipersiapkan di fase 'travel arrangement'. Ini adalah mekanisme defensif yang sudah dipersiapkan oleh keluarga-keluarga simpatisan ISIS asal Indonesia ini," katanya, lagi.
Ali Fauzi Manzi, mantan kombatan Filipina Selatan, Afganistan, dan Ambon, berpendapat berbeda. Ali adalah Ketua Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah organisasi yang menaungi eks-narapidana kasus terorisme. Yayasan ini kerap dijadikan sebagai percontohan program deradikalisasi yang efektif. Ali memahami secara mendalam psikologi para simpatisan ISIS yang rindu pulang kampung halaman.
Menurutnya, lebih baik pemerintah merangkul ketimbang mengabaikan ke-15 WNI yang terjebak di Raqqa. "Anggaplah dalam koridor rumah tangga mereka ini anak nakal, sebagai orang tua, tentu tidak harus mengusir, tetapi harus merangkul kembali dan diarahkan ke jalan lebih baik," ucapnya kepada Tirto, Rabu lalu (5/7).
Namun, sebelum dikembalikan ke tengah masyarakat, kata Ali, tentu "mereka harus dibina terlebih dahulu." Tugas ini, menurutnya, ada di tangan Kementerian Agama, bukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau polisi.
"Orang datang ke Suriah itu dengan motivasi berbeda. Penanganan deradikalisasinya tidak tunggal, harus banyak dan berbagai aspek. Dalam hal ideologi, itu wewenang Kemenag. Yang punya sumber daya, kan, Kemenag," Ali berpendapat.
Ali menyarankan agar pemerintah menjadikan para WNI sebagai corong propaganda untuk menyerang balik narasi kampanye para simpatisan ISIS di Indonesia. "Mereka ini, kan, pernah gabung. Mereka tahu betul penyakit ISIS selama ini. Setelah mereka sembuh, kita harus jadikan mereka sebagai dokter bagi yang belum sembuh. Ini akan lebih efektif."
Jadi, apakah mereka mau dijadikan kontra-narasi pemerintah?
Dete Aliah,direktur pelaksana Yayasan Prasasti Perdamaian, punya banyak pengalaman berinteraksi dengan para deportan simpatisan ISIS dari Turki. Tak ada yang tahu bahwa sejak awal tahun terdapat 152 simpatisan ISIS yang sudah dipulangkan dari Indonesia.
"Itu yang terdata, yang pulang diam-diam mungkin lebih banyak," katanya saat ditemui Tirto di kantornya, Rabu lalu (5/7).
Ke-152 deportan ini belum sempat masuk wilayah ISIS. Mereka keburu ditangkap di perbatasan oleh pemerintah Turki sebelum akhirnya dideportasi dan ditampung buat dibina sementara guna menjalani program deradikalisasi di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur.
"Yang di Kemensos ini sudah lewati tahap screening oleh Densus 88, mereka angkat senjata untuk ISIS. Kalau yang sudah (berdiam di basis ISIS), ya ditempatkannya tidak di Bambu Apus, tapi di Mako Brimob," ucapnya.
Setelah berinteraksi intens dengan para deportan ini, Aliah menyadari bahwa dalam konteks memakai ISIS-ers sebagai kontra-narasi propaganda ini akan sulit dilakukan.
"Sejauh ini belum ada yang mau. Orang-orang ini masih pengin balik ke Suriah. Mereka anggap Indonesia thaghut dan Suriah negara yang dijanjikan. Merangkul mereka jadi counter terhadap ISIS, belum ada," kata Aliah.
"Saya rasa mereka takut. ISIS ini ancamannya luar biasa. Para deportan ini sadar mereka bisa jadi target," katanya lagi.
Menurut Aliah, bakal jadi "keuntungan besar" bagi pemerintah Indonesia jika ke-15 WNI yang terjebak di Raqqa mau dilibatkan dalam program deradikalisasi.
"Selama ini campaigner anti-ISIS itu orang-orang JI yang berseberangan Ideologi. Kalau orang-orang ini mau jadi saksi, tentu akan sangat menarik, karena mereka sempat tinggal di wilayah ISIS," imbuh Aliah.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam