Menuju konten utama

Di Balik Kharismatiknya Teroris Santoso di Poso

Gembong teroris Santoso alias Abu Wardah Asy Ayarqi telah tewas dalam baku tembak dengan Satgas Tinombala pertengahan Juli lalu. Negara menganggapnya sebagai salah satu teroris paling berbahaya. Namun, tidak bagi sebagian orang yang justru menganggap Santoso sebagai pahlawan. Padahal, catatan kejahatan Santoso terhadap aksi terorisme begitu mengerikan.

Di Balik Kharismatiknya Teroris Santoso di Poso
Petugas mengangkat kantong jenazah DPO teroris Poso sesaat setelah tiba di Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah. [ANTARA FOTO/Basri Marzuki]

tirto.id - “Dia (Santoso) memang mendapat dukungan dari warga Poso pesisir, karena pernah berjasa dan dianggap sebagai Robin Hood,” ujar mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai saat berbincang dengan tirto.id beberapa waktu lalu.

“Jadi Santoso dianggap sebagai tokoh yang pernah menolong mereka setelah konflik Poso pada tahun 2000-an,” katanya.

Penguburan jasadnya pada 23 Juli lalu pun menjadi tanda tanya ketika ribuan warga menyemut menyambut kedatangan jasad Santoso. Sebuah spanduk penyambutan pun dibuat. “Selamat Datang, Syuhada Poso, Santoso alias Abu Wardah”. Ribuan warga memadati areal pemakaman umum di Dusun Langangan, Kecamatan Poso Pesisir, Sulawesi Tengah.

Simpatiknya warga Poso pesisir dengan gembong teroris Mujahidin Indonesia Timur memang bukan tanpa alasan. Menurut Ansyaad, simpatiknya warga terhadap gembong teroris paling diburu itu karena Santoso dianggap sebagai pahlawan bagi warga Poso Pesisir. Ansyaad pun mengurai jalan cerita kenapa kemudian warga bersimpati terhadap Santoso. Menurut dia, sejak konflik Poso yang berlangsung pada 1998, Santoso dianggap sebagai sosok seperti Robin Hood. Sebab, aksi pencurian dilakukan oleh Santoso bersama kawan-kawannya, hasilnya tak dinikmati sendiri. Ia selalu membagi hasil curiannya kepada warga Poso Pesisir.

Selain dianggap sebagai Robin Hood, Santoso juga disebut Ansyaad Mbai sebagai gembong preman. Mbai pun kembali menjelaskan, setiap panen atau tangkapan ikan diperoleh nelayan, Santoso mendapat bagian jatah preman. Oleh sebab itu juga, ketika perburuan terhadap kelompoknya dilakukan dalam Operasi Camar Maleo dan Operasi Tinombala, warga juga yang membantu pasokan logistik mereka.

“Dia itu ibarat kepala preman di sana,” ujar Ansyaad. Berkat sokongan logistik dari warga itu, Kelompok Santoso masih tetap bertahan ketika diburu aparat.

“Tapi setelah itu kita putus jalur logistiknya,” tutur Ansyaad.

Dalam catatan Mbai ketika dia dulu masih menjabat sebagai Kepala BNPT, jabatan Santoso sebagai pemimpin jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur cukup mengejutkan. Sebab sebelum namanya menjadi sosok teroris paling diburu termasuk juga masuk dalam nama teroris global, Santoso pernah terlibat tindak kriminal. Santoso pernah terlibat pencurian sepeda motor ketika Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Rudy Sufahriady menjadi Kepala Polres di Poso.

“Rudy bilang ke saya, itu Santoso ditunjuk-tunjuk hidungnya agar tidak melakukan perbuatannya lagi,” kata Ansyaad.

Jejak Mengerikan Teror Santoso

Kejahatan yang dilakukan Santoso bersama kelompoknya sebetulnya bukan tanpa catatan. Pada 24 Agustus 2012, Santoso pernah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan misi pembunuhan sebagai mahar perkawinan. Mahar itu diminta Santoso ketika akan melakukan pernikahan untuk istri mudanya. Sebagai modal, Santoso memberikan modal senjara jenis FN 45.

Begini cerita yang terangkum dalam dokumen persidangan yang diperoleh tirto.id:

"Ato, kalau bisa kau main cari orang antara Sepe atau Silanca, terserah kamu, itung-itung untuk hadiah kepada saya karena saya mau kawin," ujar Santoso kepada anak buahnya, Riyanto alias Ato Margono seraya sambil leyeh leyeh di bale bambu kediaman anak buahnya. Diapun memastikan kesiapan Ato melakukan misi itu. Jika siap, Santoso akan memberikan sebuah senjata api untuk melakukan misi pembunuhan itu.

Dengan menggunakan bahasa Jawa Ato pun menyanggupi permintaan Santoso. “Iyo Kang,” jawab Ato. Tempat ditentukan Santoso untuk menjalankan misi pembunuhan itu merujuk pada desa pengungsian kerusuhan Poso. Desa Sepe dan Silanca berada Kematan Lage, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Desa itu dihuni ribuan pengungsi kerusuhan Poso sejak 2002.

Misi itu pun dijalankan oleh dua anak buah Santoso yaitu Ato dan Mut. Setelah mondar mandir mencari target dengan mengelilingi empat desa, pencarian pun terhenti ketika singgah di Desa Silanca. Mereka kemudian menyasar Noldi Ambolando, seorang pemuda dianggap sedang mabuk berada di lapak dagang tukang durian. Senjata FN 45 pun diarahkan ke kepala Noldi dari belakang. Korban seketika tersungkur hingga menghembuskan nafas terakhir.

Usai menghabisi Noldi, Mut dan Ato kemudian melapor ke Santoso sambil menyerahkan senjata api. Misi mencari mahar pun selesai. Dalam dokumen persidangan itu, Ato dan Mut berhasil ditangkap pada 2013. Keduanya pun telah menjalani persidangan dan di vonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Menurut Ansyaad, pengaruh Santoso memang tidak hanya kepada warga pesisir Poso, dia juga memiliki wibawa di mata para anak buahnya. Jabatannya sebagai kombatan perang dalam pelatihan militer di Poso membuat anak buahnya selalu menuruti perintahnya. Dalam catatan lain, Santoso pernah memerintahkan melakukan bom bunuh diri di Mapolres Poso pada Mei 2013. Perintah amaliah itu dijalankan oleh anak buahnya hanya dengan melalui surat ditulis Santoso.

Ato kemudian menjalankan misi diminta Santoso untuk membantu aksi amaliah dilakukan pengantin bom bunuh diri, Zaenul Arifin alias Arif Petak. Arif merupakan warga Lamongan, Jawa Timur dan satu jaringan dengan Kelompok Mujahidin Indonesia Timur.

Misi itupun berhasil, tetapi bom itu tak mengakibatkan kerusakan parah. Tidak ada korban jiwa dari pihak Kepolisian. Justru, tubuh Zainul hancur karena bom itu melilit di tubuhnya. “Santoso memang memiliki wibawa di mata anak buahnya,” kata Mbai.

Dukungan Lewat Media Sosial

Sejatinya dukungan terhadap teroris Santoso bersama kelompoknya memang telah marak sebelum dia berhasil dilumpuhkan. Di lini masa Twitter, dukungan terhadap gerakan radikal ini semakin menjadi ketika teror Thamrin terjadi. Menurut Ansyaad Mbai, maraknya gerakan radikal melalui media sosial memang sudah dipantau lama. Dari sana juga setiap gerakan dilakukan jejaring teroris seolah mendapat dukungan.

“Mereka mau menjadikan Indonesia seperti di Timur Tengah,” ujar Mbai.

Kementerian Tekekomunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pun telah mengindikasi 27 situs terindikasi berisi konten radikal. Dari laporan 27 situs berbau radikal, 24 situs telah diproses untuk dilakukan pemblokiran. Sedangkan di jejaring Twitter, Kementerian yang dikomandani Rudiantara itu telah melakukan pemblokiran 4.062 akun yang berisi konten negatif.

Menurut Mbai, bentuk radikalisme di media sosial yang sekarang belakang marak adalah gerakan saling mengkafir-kafirkan orang. Gerakan seperti itu juga yang kemudian menjadi wabah berkembangnya radikalisme di media sosial. Apalagi kebanyakan pengikutnya justru mengamini apa yang dituliskan di media sosial. Mbai menyoroti fenomena di media sosial terkait jenazah Santoso berbau harum yang marak pada Juli lalu.

Menurut dia, kepercayaan masyarakat dari hal-hal di luar logika itu kemudian menjadikan gerakan radikalisme di media sosial tumbuh subur.

“Namanya mayat habis dikasih pewangi ya jadinya wangi ketika dia sampai, kan sebelum dibawa dikasih wewangian dulu. Coba suruh didiamkan tiga hari, kalau tidak bau bangkai,” ujar Mbai sambil terkekeh.

Baca juga artikel terkait HUKUM atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti