Menuju konten utama

Tan Malaka dan PKI di Persimpangan Jalan

PKI dan Tan Malaka sama-sama berhaluan kiri. Namun, perbedaan itu meruncing dan memanas. Tan mendirikan partai anyar, PARI. PKI mencapnya pengkhianat.

Tan Malaka dan PKI di Persimpangan Jalan
header Mozaik Tan Malaka yang bersilang jalan dengan PKI. tirto.id/Fuad

tirto.id - Di mata sebagian orang, Tan Malaka adalah sosok legenda, penggagas awal konsep republik di Indonesia, meski riwayat hidupnya senantiasa terselubung kabut misteri. Namun, tidak demikian bagi Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia tak ubahnya seorang pengkhianat.

Padahal, pada 1921, Tan naik menjadi ketua PKI, meski baru beberapa bulan terdaftar sebagai anggota. Dia menggantikan Semaoen yang pada akhir Oktober 1921 hijrah ke Eropa.

Masa jabatan Tan menjadi ketua hanya berlangsung selama enam bulan. Itu karena pada 1922, dirinya tersangkut aksi pemogokan buruh pegadaian, lalu ditangkap pemerintah Belanda dan ditawan di Timor (Kupang). Atas permintaan pribadi, dia menanggalkan kepemimpinan dan memilih menepi ke luar Indonesia.

Mula-mula, visi dan misi PKI seia sekata dengan idealisme Tan. Golnya, menggantikan sistem kapitalisme dengan komunisme.

Terlebih, di masa itu, hampir semua kalangan bumiputra telah mencicipi asam-garam imperialisme Belanda yang menindas, tak terkecuali kalangan priayi macam Tan.

Namun, seiring waktu, harmonisasi Tan dan PKI justru merenggang setelah partai itu dianggapnya “kehilangan jati diri”. Ia menilai PKI seperti kehilangan arah, terutama sejak terjadi kekosongan kepemimpinan pada periode akhir 1923 hingga awal 1924.

Friksi sejak Konferensi

Sebagai partai pelopor, PKI tidak dapat membiarkan perlawanan dan pemberontakan rakyat terus berlangsung tanpa pemimpin. Karenanya, sidang istimewa diwacanakan untuk merundingkan nasib partai serta napas perlawanan.

Pada 25 Desember 1925, PKI menghelat sebuah konferensi di Candi Prambanan, dihadiri oleh para anggota Hoofdbestuur (pimpinan pusat) dan beberapa pucuk pimpinan daerah. Mereka adalah Sardjono, Budisutjitro, Sugono, Suprodjo, Kusnogunoko, Najoan, Herujuwono, Winanta, Gondojuwono, Said Ali, Abdul Muntalib, dan Marco.

Konferensi tersebut membahas rencana tindak lanjut kesiapan pemogokan dan pemberontakan bersenjata. Mereka bersiap mendongkel kolonial Belanda.

Hasil konferensi itu memaklumatkan agar beberapa kader dikirim ke lokasi daerah simpatisan PKI. Di antaranya Makassar, Palembang, Surakarta, Surabaya, Semarang, Cirebon, Tegal, Banten, dan sekitar Priangan.

Dibentuk pula struktur Komite Pemberontak yang bertugas mengomandoi pimpinan aksi. Dahlan dipilih sebagai ketua; Sukrawinata menjadi sekretaris; Herujuwono, Samudro, dan Baharuddin Saleh, merangkap sebagai anggota.

Sementara itu, dua pentolan partai, Alimin dan Musso, dikirim ke Timur Djauh guna berkonsultasi dengan Wakil Komite Eksekutif Komunis Internasional (KEKI).

Di sinilah titik pangkal konflik yang memicu hubungan Tan dan PKI memanas.

Kala itu, Tan adalah anggota sekretariat KEKI dan berada di Filipina. Kendati tak hadir langsung di konferensi, dia tetap punya hak berpendapat. Suaranya meruncing. Tan menuntut hasil putusan Konferensi Candi Prambanan dicabut.

"Putusan itu saya anggap salah, karena diambil tergesa-gesa, kurang pertimbangan, harinya akibat provokasi lawan dan tidak seimbang dengan kekuatan diri sendiri, tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tidak cocok dengan taktik strategi komunis, ialah massa aksi. Akibatnya akan sangat banyak merugikan pergerakan di Indonesia dan lain sebagainya," kata Tan Malaka dalam autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara (2014).

Penolakan Tan Malaka terhadap putusan Konferensi Candi Prambanan itu sempat dinukil oleh Tatiana Lukman, putri sulung M. H. Lukman, orang berpengaruh di Komite Sentral (CC) PKI bersama dengan Aidit dan Njoto.

Dalam Panta Rhei (2014: 38), Tatiana mengkritik Tan Malaka. “Tan Malaka punya hak untuk tidak menyetujui keputusan Prambanan. Namun, sebagai seorang anggota Partai Komunis yang memiliki disiplin, seharusnya ia juga tahu bahwa tidaklah tepat melakukan kegiatan memecah belah partai yang sedang menyiapkan sebuah pemberontakan yang dalam waktu beberapa bulan saja sudah akan digerakkan.”

Tan beralasan, persekusi yang melabeli komunis dan kaum revolusioner lain oleh kolonial Belanda, Inggris, dan Amerika—ketika itu menguasai Filipina—tidak memungkinkan menggalang skema ofensif tanpa persiapan matang.

Dia sempat mengimbau agar para kader, yang diarahkan untuk dikirim ke daerah-daerah, kembali fokus di markas pusat (ASLIA). Namun, ajakan Tan mungkin terlambat. Pemberontakan kadung meletus. Oleh Komite Pemberontak PKI, ajakan itu bahkan dianggap sebagai upaya sabotase dan tikaman dari belakang.

Tatiana berpendapat, bedegapnya pendapat Tan untuk melarang pemberontakan merupakan penyimpangan dari asas disiplin baja ala PKI. Padahal, Tan sendiri yang mengonsepnya dalam Naar de Republiek Indonesia.

“TM [Tan Malaka] tidak berhasil meyakinkan seluruh pimpinan untuk membatalkannya [putusan konferensi]. Konsekwensinya adalah TM seharusnya menjalankan keputusan itu. Bukannya menjegal!” tegas Tatiana Lukman (hlm. 40).

Gagalnya Pemberontakan 1926

Hasil keputusan Konferensi Candi Prambanan itu mengerek PKI menuju pemberontakan pertama mereka pada 13 November 1926.

Sementara itu, Tan Malaka mencap pemberontakan PKI melawan Belanda sebagai aksi prematur dan gagal. Dia menyebutnya sebagai avonturisme, petualangan ideologis yang tak berpijak pada realitas kekuatan rakyat.

Benar saja. Kekuatan PKI belum mumpuni beradu dengan angkatan bersenjata Belanda.

Sekurang-kurangnya, 13 ribu anggota ditangkap. Lebih dari 1.300 orang yang dijebloskan ke tanah pembuangan Digul. Kira-kira, 4.500 orang dipenjara, sementara sembilan orang dihukum digantung. Mereka yang dijatuhi hukuman gantung di antaranya adalah Egom, Dirdja, dan Hasan, di Jawa Barat; Manggulung, Sipatai, dan Siganjil, di Sumatra Barat.

Kendati gagal, setidak-tidaknya, Alimin berpendapat, "... Revolusi 1926 di Indonesia akan lebih hebat menghantam imperialisme, lebih hebat mengatjaukan kekuatan imperialisme Belanda, djika revolusi itu tidak dipotong-potong, tidak disabotir oleh pihak indisiplinarien [Tan Malaka]. Betapa tidak akan lebih hebat, betapa tidak akan lebih besar effect dan pengaruhnya djika diingat, bahwa Revolusi 1926 jang tidak sepenuhnya didjalankan itu sadja sudah mendapat sambutan begitu hangat di negeri-negeri tetangga. Di Indochina dengan massa-massa aksi kaum tani dan buruh, di Birma dan India dengan pemogokan-pemogokan kaum kerdjanja dan sebagainja.”

Mendirikan PARI, Memunggungi PKI

Kegagalan Pemberontakan 1926 membuat Tan Malaka makin meragukan tampuk kepemimpinan PKI. Ia lambat laun menjauh dari agenda-agenda partai yang pernah disanjungnya.

Tan Malaka memutuskan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada 2 Juni 1927. Ada empat alasan utama dia mendirikan PARI, disadur dari catatan Tatiana Lukman (hlm. 40—43).

Pertama, memaksa terus memakai nama PKI, yang tak mau mengakui kesalahan akibat gagalnya pemberontakan 1926, tak mengubah jalannya pergerakan revolusi di Indonesia. Apalagi, komunisme PKI berkiblat ke Partai Komunis Rusia, dan dicatut oleh Tan sebagai wujud disiplin baja. Sementara itu, PKI dinilai sudah menyingkir dari rel komitmen ideologis.

Kedua, dibasminya ribuan anggota PKI dan putusnya komunikasi mengindikasikan bakal ada oknum yang melanggengkan pemberontakan serupa—prematur dan gagal. Tan menganggap itu sebagai bahaya provokasi. PKI digembosi dengan niat tersembunyi dari hati yang curang.

Ketiga, popularitas komunisme dan PKI sudah menuju tahap fanatisme di antara rakyat, terutama yang buta huruf. Hal itu akan kian menjadi jika fanatisme komunis menggeser Islamisme dengan doktrin mazhab Barat macam komunisme, yang dianggapnya tak ideal diterapkan mutlak di Indonesia.

Keempat, kekuasaan yang diberikan Komintern kepada Tan di daerah—dia menyebut ASLIA—memberikan sugesti, bahwa semestinya semua negara di kawasan ini digabung menjadi satu.

Tan yakin bahwa “perantauannya” di ASLIA mampu menyukseskan kesatuan bumi-iklim, nasion, perekonomian, dan kejiwaan (psikologi). Karena itu, ASLIA harus bermarkas di Singapura, negara boneka imperialisme Inggris, agar dapat mengambil alih corong perdagangan strategis kapitalisme. Revolusi proletariat ASLIA harus segera dicanangkan untuk membendung imperialisme di tanah Singapura, termasuk dengan mengirim kader-kader PKI ke sana.

ASLIA, dalam teori kebangsaan Tan Malaka, adalah kesatuan wilayah Asia-Australia. Dalam bukunya, Thesis (1946: 62), Tan menekankan, “Australia menunjukkan kecerdasan dan SIKAP yang jujur-konsekwen. Baru ini, di London, Australia menolak sikap Inggris-Belanda menjajah Indonesia dan mempermaklumkan keinginannya sendiri membikin ALLIANCE (Persekutuan Perang) dengan POPULAR GOVERNMENT (Pemerintahan Rakyat) dalam Indonesia merdeka 100%.”

Buku Thesis itu juga membeberkan panjang lebar alasan Tan Malaka mendirikan PARI dan meninggalkan PKI.

PARI dibentuk dengan mengedepankan tiga aliran yang terbuka atau tertutup: Islamisme, nasionalisme, dan proletariat (sosialisme, komunisme maupun anarkisme-sindikalisme). Ketiga aliran tersebut menghimpun tiga golongan yang menjadi prioritas partai: proletariat perindustrian, proletariat tani, dan kaum Marhaen.

Untuk memajankan harapannya, Tan mengimbau, “PARI mesti mencocokkan organisasi, prinsip, paham, taktik-strategi, dan slogannya, dengan kekuatan-revolusioner dalam negeri dan teman penyambutnya di luar negeri, serta dengan keadaan dalam dan luar Indonesia buat melakukan program minimum dan maksimumnya.”

Dicap Trotskis dan Melikuidasi PKI

Ada beberapa alasan gagalnya pemberontakan 1926. Akan tetapi yang menebal dalam riwayat Lembaga Sedjarah PKI lewat buku Pemberontakan November 1926 (1961: 122) adalah, “Pengchianatan trotskis Tan Malaka, baik sebelum pemberontakan, selama pemberontakan dan sesudah pemberontakan merupakan faktor jang perlu diungkapkan, karena hingga kini banjak orang jang masih belum djelas akan keadaan sebenarnja.”

Bahkan, Lembaga Sedjarah PKI memuat lima halaman penuh (122—127), khusus untuk mengumpat pengkhianatan Tan Malaka. Mereka mencap Tan sebagai trotskis.

Itu bermula sejak penanggalan kepemimpinan Tan pada 1922, dan keputusannya menjadi anggota sekretariat KEKI. Di Biro Timur Djauh, Tan diangkat sebagai Wakil PKI yang berkedudukan di Shanghai.

“Dalam KEKI inilah ia berhubungan dengan orang-orang Trotskis dan kemudian dia sendiri menjadi seorang Trotskis. Hal ini dimungkinkan oleh karena Tan Malaka sendiri berasal dari keluarga bangsawan, intelektuil, jang belum merombak ideologinja, sedangkan tingkat pengenalannja terhadap teori Marxisme-Leninisme masih terlampau rendah,” (hlm. 123).

Aliran trotskis merupakan paham yang disandarkan pada pemikiran Leon Trotsky, komunis yang berseberangan paham dengan Joseph Stalin. Sementara itu, PKI menjunjung tinggi Stalin sebab, bagi mereka, dialah sosok ideal yang meneruskan pemikiran Marxisme-Leninisme.

Selain itu, sebagai usaha “mengejek” PARI, PKI mencap ulang bahwa organisasi itu akronim dari “Proletariat ASLIA Republik Internasional”. Ejekan itu dimaksudkan sebab Tan—bersama ASLIA—tidak hanya berupaya memecah belah PKI, tetapi juga gerakan revolusioner dan partai kelas buruh di negeri Asia lainnya.

Menurut pihak PKI, Tan mengundang Suprodjo dan Sugono ke Singapura, kemudian memerintahkannya agar menggagalkan pemberontakan dan membentuk PARI.

“Belanda bekerdjasama dengan pemerintah Inggris di Singapura untuk menangkap orang-orang PARI. Dengan ditangkapnja orang-orang PARI, pemerintah Belanda hendak menemukan orang-orang jang bisa digunakan untuk memetjah-belah PKI. Orang PARI membiarkan dirinja diperalat oleh pemerintah kolonial untuk lebih parah memukul PKI dan orang-orang revolusioner umumnja,” demikian tertulis dalam Pemberontakan November 1926 (1961: 125).

Pemusatan kader PKI di Singapura disebut oleh PKI sebagai pengkhianatan lewat jalan likuidasi. Melikuidasi PKI, terlebih ketika pemberontakan 1926 gagal, tak mencerminkan sikap Leninisme sejati, melainkan pengkhianat.

Likuidasi itu sempat hampir dicanangkan Semaoen ketika mengadakan “konvensi” bersama Moh. Hatta, wakil Perhimpunan Indonesia, pada 5 Desember 1926. Namun, hal itu gagal terwujud setelah pemimpin tertinggi KEKI, Stalin, melayangkan kritik pedas. Karenanya, pada 19 Desember 1927, Semaoen membatalkan “konvensi” itu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin