Menuju konten utama

Tan Malaka dan Wasiat Politik Sukarno-Hatta

Sukarno pernah berpesan: bila Sukarno-Hatta dibunuh atau ditangkap Sekutu, Tan Malaka yang menjadi pengganti, meneruskan perjuangan.

Tan Malaka dan Wasiat Politik Sukarno-Hatta
Tan Malaka

tirto.id - Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka melewatkan momen sebesar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari tempat tinggalnya di Banten, aktivis dan pemikir politik ini mengendus bakal ada peristiwa penting menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik.

Sejak 15 Agustus 1945, Tan Malaka coba mengontak tokoh-tokoh pemuda di Jakarta. Hasilnya nihil. Ia akhirnya berpaling ke Achmad Soebardjo, tokoh senior yang punya kedudukan penting di masa pendudukan Jepang dan menjadi Menteri Luar Negeri pertama setelah Kemerdekaan.

Di rumah di Jl Cikini Raya, Jakarta, itulah Tan Malaka menampakkan diri pada 25 Agustus 1945. Subardjo telah dikenalnya di Belanda saat menjalani masa pembuangan.

“Wah, kau Tan Malaka. Saya kira kau sudah mati, sebab di surat kabar kau disebut menjadi korban dalam kerusuhan di Burma,” kata Soebardjo seperti diceritakan Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1.

Sang tamu menjawab dalam bahasa Belanda sambil tertawa, ”Onkruid vergaat toch niet.” Jika diterjemahkan, begini artinya: ilalang tak dapat musnah jika tak dicabut dengan akar-akarnya.

Soebardjo segera menawarkan paviliun rumahnya saat mendengar Tan Malaka tak punya tempat berteduh di Jakarta. Ia penasaran ingin mendengar kisah pelarian sang legenda.

Lahir pada 1884 di Suliki, Minangkabau, Tan Malaka terlibat politik sejak muda dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia memimpin aksi pemogokan buruh. Akibatnya, Tan Malaka mesti menjalani pembuangan di Belanda.

Ia pernah mencicipi sekolah guru saat menjalani pembuangan. Tapi di sana, ia lebih larut dalam aktivitas politik dan mencalonkan diri sebagai anggota Tweede Kamer, semacam parlemen, dari kalangan komunis. Namun, gagal.

Tan Malaka pergi ke Uni Soviet, lalu kemudian menjadi perwakilan Komintern untuk Asia Tenggara -- posisi yang sangat prestisius.

Pada 1927, pecah pemberontakan PKI di Hindia Belanda. Dari pengasingan, Tan Malaka menentang keras rencana tersebut. Tapi usai pemberontakan yang segera habis ditumpas itu, ia ikut menjadi buronan politik dan hidup berpindah-pindah di sejumlah negara Asia dengan menggunakan berbagai nama samaran.

Di Tanah Air, Tan Malaka menjadi mitos. Kaum yang lebih muda seperti Sukarno tak pernah bertemu. Apalagi golongan pemuda seperti Sukarni, Adam Malik, atau yang lain. Mereka hanya mendengar sepotong-sepotong kisah veteran politik tersebut.

Tan Malaka kembali ke Tanah Air setelah Belanda ditekuk Jepang. Di Jakarta, ia menulis karyanya yang terpenting, sebuah telaah teoritis berjudul Madilog. Lalu pergi ke Bayah, Banten, karena merasa tak lagi aman dan tabungan menipis. Tan Malaka bekerja di pertambangan batu bara di sana sampai giliran Jepang menyerah dan ia kembali ke Jakarta, mencari Soebardjo.

Bertemu Sukarno

Tak menunggu lama, Soebardjo mempertemukan Tan Malaka dengan tokoh-tokoh lain seperti Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, dan Boentaran Martoatmodjo.

Pada akhirnya, tibalah perjumpaan dengan Sukarno. Sang Proklamator sendiri telah mendengar desas-desus kehadiran Tan Malaka di Jakarta. Ia menugaskan sekretarisnya, Sajoeti Melik, untuk mencari tahu.

Pertemuan dengan Tan Malaka terjadi pada 9 September 1945, hanya satu hari setelah Idul Fitri, di rumah dokter pribadi Sukarno, R Soeharto. Beberapa hari sebelumnya, Sukarno minta Soeharto menyediakan satu kamar untuk tamunya.

“Bung Karno tidak menyebutkan nama tamunya. Dan yang tidak kurang pentingnya: selama berlangsung pembicaraan antara Bung Karno dan tamu itu, seluruh rumah saya di Jl Kramat Raya harus digelapkan. Pokoknya pertemuan itu harus dirahasiakan,” tutur Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah (1984).

Infografik Mozaik Tan Malaka

Infografik Mozaik Tan Malaka

Sang tamu datang menjelang waktu Isya dan mengaku bernama Abdulrajak dari Kalimantan. Soeharto lalu menuntunnya dalam kegelapan menuju kamar pertemuan.

Soeharto tak bisa mendengar obrolan selama dua jam jam itu. Tapi, Sajoeti Melik bisa. Dalam pembicaraan itu, kata Sajoeti, Tan Malaka yang lebih aktif bicara, sementara Sukarno lebih banyak menyimak.

Salah satu pernyataan Tan Malaka adalah desakan agar pemerintah republik dipindahkan ke pedalaman. Sebab, Belanda akan segera kembali ke Indonesia menyusul Sekutu dan Jakarta menjadi arena pertempuran.

Di antara cetusan Sukarno yang sedikit itu, ada satu yang bernilai sejarah tinggi: bila Sukarno-Hatta dibunuh atau ditangkap Sekutu, Tan Malaka yang menjadi pengganti, meneruskan perjuangan.

Dalam pikiran Sukarno memang terbersit kecemasan tentang tindakan Sekutu. Saat itu ada isu bahwa mereka yang membantu rezim militer Jepang akan ditangkap, bahkan dicap sebagai bagian dari “kejahatan perang.” Sukarno, juga Hatta, kerap disebut kolaborator.

Beberapa hari kemudian, pertemuan rahasia mereka kembali dilangsungkan. Kali ini pertemuan berlangsung di rumah Dr Moewardi, pemimpin kesatuan paramiliter Barisan Pelopor.

Sukarno mengulangi lagi pernyataannya: jika mereka Sukarno-Hatta dibunuh atau ditangkap Sekutu, Tan Malaka yang menjadi pengganti.

Soebardjo akhirnya mendengar kabar tersebut dari Tan Malaka. Ia lalu minta Sukarno menerbitkan wasiat tertulis. Pada 30 September 1945, di rumah Soebardjo, Sukarno berbicara kepada tuan rumah, Tan Malaka, Iwa Koesoema Soemantri, dan Gatot Taroenamihardjo. Ia bilang akan segera menulis wasiat.

Gagal Jadi Pewaris Tunggal

Sukarno dan Soebardjo menemui Hatta. Wakil Presiden tersebut bilang menolak. Ia hanya akan menanda tangani jika pengganti tidak hanya satu, melainkan kolektif untuk mewadahi aliran politik utama.

Hatta juga keberatan dengan sosok Tan Malaka. Hatta tahu persis bahwa Tan Malaka berselisih dengan kalangan PKI pada umumnya terkait Pemberontakan 1927.

“Itu tidak bisa, saya katakan. Saudara ingat, sejak masa Jepang unsur-unsur PKI (walaupun resminya tidak ada, tetapi terasa ada) menentang dia. Bagaimana dia akan menjadi pengganti kami berdua?” kata Hatta dalam wawancara dengan Z. Yasni dan dimuat dalam buku Bung Hatta Menjawab (1979).

Tercetus kemudian nama Tan Malaka dari aliran kiri “mentok,” Sutan Sjahrir dari kiri moderat, Wongsonegoro dari kaum feodal, dan Sukiman dari kalangan Islam. Belakangan Sukiman digantikan Iwa karena sudah telanjur berangkat ke Jawa Tengah.

Pada 1 Oktober, lahirlah wasiat atau testamen politik itu. Tan Malaka dan Iwa menerima salinan tersebut. Soebardjo menerima salinan untuk disampaikan ke Sjahrir dan Wongsonegoro.

Dalam temuan Harry Poeze, sejarawan yang puluhan tahun meneliti Tan Malaka, testamen itu tidak sampai ke tangan Sjahrir dan Wongsonegoro. Sjahrir hanya mengetahuinya secara lisan dari Hatta, sekitar sepuluh hari setelah wasiat ditulis. Pada Februari 1946, ketika ditanya Hatta, Wongsonegoro mengaku tidak pernah menerima salinan wasiat tersebut.

Dalam keyakinan Poeze, campur tangan Hatta yang membuat Tan Malaka tidak menjadi pewaris tunggal membuat Soebardjo kecewa.

“Tapi apakah yang hendak dilakukan Soebardjo dengan testamen itu? Apakah itu bagian dari permainan politik Soebardjo dan kawan-kawannya, yaitu memastikan agar posisi mereka tetap menonjol?...Dan dalam permainan itu Tan Malaka yang naif hanya menjadi pion mereka?” tulis Poeze dalam “Testemen Politik Soekarno” di Jurnal Sejarah No 7 (1999).

Pada kenyataannya, Sekutu tidak mencokok Sukarno-Hatta ketika tiba. Testamen itu tidak pernah terpakai. Tan Malaka tidak pernah masuk ke jantung kekuasaan sampai ajal tiba, 21 Februari 1949, ketika peluru militer Indonesia menembus tubuhnya.

Baca juga artikel terkait TAN MALAKA atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Politik
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono