Menuju konten utama
Mozaik

Paramita 'Jo' Abdurachman: Tan Malaka, Organisasi & Penelitian

Situasi tak menentu di awal kemerdekaan membuat Paramita 'Jo' Abdurachman dan Tan Malaka berpisah jalan. Hingga ajal menjemput, keduanya hidup melajang. 

Paramita 'Jo' Abdurachman: Tan Malaka, Organisasi & Penelitian
Header Mozaik Paramita Jo Abdurachman. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada Januari 2005, di Bukittinggi, Sumatra Barat, diadakan seminar tentang Tan Malaka. Dalam acara tersebut, sejarawan Asvi Warman Adam mengajukan sebuah pertanyaan mengenai orientasi seksual pejuang bernama lengkap Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka.

"Apakah Tan Malaka itu seorang gay karena ia tidak menikah sampai akhir hayatnya dan tidak terkesan tertarik terhadap perempuan," tanyanya yang kemudian dihimpun dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010).

Sontak, ruang seminar bergemuruh. Orang-orang menggerutu, beberapa di antaranya memprotes pertanyaan tersebut. Namun, tidak lama kemudian berangsur tenang, setelah sejarawan asal Belanda, Harry A. Poeze, menanggapinya.

"Tan Malaka adalah manusia normal-normal saja. Sewaktu remaja ia jatuh hati kepada Syarifah Nawawi, kembang di kampungnya, namun cinta ini bertepuk sebelah tangan," terang Poeze.

Sepanjang hidupnya, Tan juga memiliki pertautan dengan perempuan lainnya, salah satunya Paramita Rahayu Abdurachman alias Jo, keponakan Achmad Soebardjo.

Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Jilid I Agustus 1945-Maret 1946 (2008), Poeze mencatat bahwa pertemuan keduanya bermula ketika Tan bersembunyi di rumah Soebardjo yang berlokasi di Cikini Raya 82.

Dalam situasi revolusioner dan menegangkan, Jo, yang saat itu masih berusia 25 tahun, memperkenalkan diri kepada Tan sebagai tetangganya. Di hari-hari berikutnya dalam bulan Agustus-September 1945, keduanya berkenalan lebih dalam. Bahkan, setelah Tan pergi dari persembunyiannya, Jo beberapa kali menemuinya.

Dalam Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), saat ditemui Poeze pada tahun 1980, Jo mengaku mencintai Tan. Bahkan, teman-teman terdekatnya menganggap keduanya telah bertunangan.

Kabar mengenai pertunangan keduanya juga dilontarkan oleh Maroeto Nitimihardjo--seorang Murbais--bahwa Soebardjo hendak menjodohkan keponakannya itu dengan Tan Malaka.

Bagi Jo, Tan merupakan sosok yang tajam, brilian, jujur, terbuka, dan naif dalam beberapa hal. Di sisi lain, Tan sangat menyukai permainan piano Jo, terutama saat membawakan karya Schubert.

Namun, saat Jo menunjukkan hasratnya untuk berkarier di bidang musik, Tan menentangnya. Sebab menurutnya, musik akan mengorbankan cita-cita revolusioner. Sebaliknya, Tan meminta Jo untuk "berteladan kepada Rosa Luxemburg atau Henriette Roland Holst," tulis Poeze (2008).

Situasi politik yang tidak stabil di awal masa kemerdekaan pada akhirnya memisahkan keduanya. Tan sibuk bergerilya mencapai cita-cita mencapai Merdeka 100% tanpa kompromi dengan musuh. Sedangkan Jo sibuk dengan aktivitasnya di lingkungan pemerintah. Meski begitu, terdapat kesamaan di antara keduanya: melajang seumur hidup.

Dari Keluarga Bangsawan

Dalam buku Yo Paramita Abdurachman: Perempuan Mendahului Zaman, In Search of Living Traditions and Arts yang disunting Thung Ju Lan, dkk (2010), tercatat bahwa Jo--sumber lain menulisnya Yo--dikenal juga dengan nama Zus Yo.

Ia lahir di Buitenzorg (Bogor) pada 29 Februari 1920, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Raden Aria Adipati Abdurachman adalah Bupati pertama di Meester Cornelis (Jatinegara).

Ibunya, Siti Katidjah, adalah kakak tertua Achmad Soebardjo. Keduanya anak dari Teuku Muhammad Yusuf, yang memiliki garis keturunan bangsawan di Pidie, Aceh. Tumbuh dengan kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan pendidikan, Katidjah turut merintis organisasi Perkumpulan Istri Sedar dan membidani berdirinya sekolah Mayumi.

Dalam memoarnya Kenangan Masa Lampau (1994), Mien Soedarpo menyebut Siti Katidjah dengan nama Nyonya Abdurachman dan merupakan teman karib ibunya, Syarifah Nawawi. Keduanya pernah bekerja sama menjalankan sekolah Kemajuan Istri di Jalan Baluel, Jatinegara. Syarifah adalah pujaan Tan Malaka sewaktu muda.

Kesadaran yang tumbuh dalam diri Katidjah setidaknya membentuk Jo menjadi pribadi yang terbuka dan mudah bergaul. Beberapa peneliti asing mengenalnya. Ia pernah menerima Ruth McVey untuk menginap di rumahnya dan membantu Helen Ibbitson Jessup ketika melakukan penelitian di Indonesia.

Dalam jenjang pendidikan, Jo memiliki kesempatan menimba ilmu di sekolah modern. Pada 1940, saat masih berusia 20 tahun, dirinya memutuskan untuk kuliah di Faculteit de Lettere en Wijsbegeerte (sekarang UI) Jurusan Sejarah dan Antropologi. Bersamaan dengan itu, ia juga tercatat sebagai tenaga pengajar di HIS Pasundan, Jatinegara.

Namun, kuliahnya berhenti di tengah jalan. Jepang menutup tempatnya menuntut ilmu. Ia kemudian bekerja sebagai Asisten Direktur Departemen Kehakiman untuk riset sosial dan Badan Pembantu Pradjurit Pekerja, yang masing-masing dikepalai oleh Soepomo dan Moh. Hatta.

Dari PMI hingga KOWAD

Pada awal masa kemerdekaan, ia termasuk salah satu penggerak pembentukan PMI (Palang Merah Indonesia) dan menduduki jabatan Kepala Bidang Luar Negeri. Kala itu, PMI menonjol dalam memberi pertolongan pertama, dapur umum, hingga bekerjasama dengan ICRC (International Committee of the Red Cross) dan Palang Merah Belanda untuk membantu korban perang dan proses pengembalian tawanan Sekutu dan Jepang.

Di samping itu, ia bersama sepupunya, Herawati Diah, bekerja selama enam bulan membantu pekerjaan pamannya, Achmad Soebardjo, yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri di Kabinet Pertama RI. Salah satu tugas keduanya adalah menerjemahkan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam bahasa Inggris.

Memasuki tahun 1946, ia turut hijrah ke Yogyakarta dan memutuskan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Jurusan Sejarah. Pasca Agresi Militer Belanda I, ia menduduki jabatan Kepala Bidang Penerangan PMI.

Ketika muncul upaya pembentukan Negara Pasundan, ia melakukan pekerjaan sebagai penghubung komunikasi antara Pemerintah di Yogyakarta dengan para Republiken di daerah pendudukan Belanda.

"Pekerjaan itu diterimanya karena dia sadar bahwa bila diberikan kepada orang lain akan sangat berbahaya. Sedang kalau dia yang menanganinya, banyak hal-hal yang memudahkannya atau bisa meloloskannya dari kecurigaan Belanda. [...] Polisi melihat Paramita sebagai anak Regent yang tidak membahayakan," tulis Thung Ju Lan, dkk (2010).

Seturut Ruth McVey dalam "In Memoriam: Paramita Rahayu Abdurachman, 1920-1928" yang dimuat jurnal Indonesia (No. 46, Oktober 1988), namun pada akhirnya aktivitasnya mengundang kecurigaan dan berujung pada penahanan terhadap dirinya. Jo dan aktivis nasional lainnya ditahan, tidak lama setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada Desember 1948.

Atas jaminan keluarganya, ia kemudian dibebaskan dan harus kembali ke Jakarta. Sejalan dengan itu, studinya di UGM gagal. Pada 1949, ia kemudian bekerja sebagai Deputi Misi UNICEF di Indonesia.

Mengutip kembali Asvi Warman Adam (2010), pada tahun 1950, ia bersama Siti Dasimah membidani kelahiran Palang Merah Remaja. Ia juga menjadi utusan Indonesia dalam pertemuan Palang Merah Internasional.

Dalam pertemuan itu, ia menyaksikan penolakan dari beberapa negara mayoritas muslim, terhadap penggunaan kata dan simbol "Palang" (Cross) yang identik dengan simbol agama Kristen dan memilih untuk menggunakan nama Bulan Sabit Merah.

Jo tak ambil pusing akan polemik tersebut, dan tetap memilih untuk menggunakan nama Palang Merah Indonesia. Sebab menurutnya, kata dan simbol "Palang" bukan representasi agama Kristen.

Beberapa waktu kemudian, saat meletus pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), ia bersama rombongan PMI terjun langsung ke Maluku. Kala itu, di bawah pimpinan dr. Bahder Djohan, PMI bekerja sama dengan ICRC (International Committee of the Red Cross) memberi pelayanan kesehatan dan mengadakan rumah sakit terapung untuk para korban.

"Karena dedikasinya terhadap kemanusiaan, maka Raja Soya di Maluku tertarik untuk mengangkat Ibu Jo sebagai anak dan memberinya nama fam Rechata," terang Dr. AB Lapian dalam Bunga Angin Portugis: Jejak-jejak Portugis di Indonesia (2008).

Setahun kemudian, ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar sosiologi di New York University dan mendaftar menjadi relawan Palang Merah. Namun, kuliahnya tidak tuntas. Sebab, ia merasa kuliahnya terlalu abstrak dan terlalu sedikit kaitannya dengan masalah dunia yang diketahuinya.

Dari Amerika Serikat, ia melawat ke Swiss, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Denmark untuk mengikuti studi social welfare policies. Kegiatan ini diikutinya guna menunjang pekerjaannya di pemerintahan. Ketika kembali di Indonesia, ia bekerja di bagian hubungan luar negeri Kementerian Kesejahteraan Sosial dan memimpin Ikatan Pekerja Kemasyarakatan.

Diterimanya Jo bekerja di lingkungan pemerintah tidak lepas dari hubungannya dengan orang-orang berpengaruh di Indonesia. Sebab, jika dilihat dari riwayat akademiknya, akan terasa sulit dapat diterima kerja di lingkungan Pemerintahan.

Sejalan dengan itu, kariernya di PMI terus menanjak. Pada 1954, ia ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal organisasi tersebut. Beberapa tahun kemudian, ia terjun ke Sulawesi Utara untuk menolong korban dari peristiwa Permesta.

"Masa itu masih terjadi pergolakan Permesta. Tiba-tiba dia menarik tangan saya, dia bilang, hati-hati kita ini sudah ditembak. Jadi Zus Yo pernah menyelamatkan saya," kenang Aristides Katoppo dalam Chrismanto Pangihutan Purba dalam Gender, Seksualitas, dan HAM Perempuan (2022).

Mengutip kembali Thung Ju Lan, dkk (2010), memasuki tahun 1960, Jo terlibat dalam pembentukan Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) dan menduduki jabatan sebagai Ketua Panitia Penasihat. Namun, jabatan itu ia tinggalkan pada tahun 1964, bersamaan dengan pengunduran dirinya dari PMI.

Infografik Mozaik Paramita Jo Abdurachman

Infografik Mozaik Paramita Jo Abdurachman. tirto.id/Tino

Menjadi Peneliti

Pada 1965, ia bekerja sebagai peneliti di Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI)--kemudian berganti menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)--khususnya di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN).

Tanpa mengecilkan pengetahuan dan kemampuan bahasa asingnya, besar kemungkinan dirinya diterima kerja di lembaga penelitian tersebut, tidak terlepas dari kedekatannya dengan Menteri Urusan Research Nasional ketika itu, Prof. Dr. Soedjono Djuned Pusponegoro, dan jasa-jasanya terdahulu.

"Orang berjasa membutuhkan penampungan daripada dia telantar atau tersia-sia di tempat lain," tulis Thung Ju Lan, dkk.

Selama bekerja sebagai peneliti, ia banyak menghasilkan karya-karya tentang sejarah Maluku dan jejak-jejak peninggalan Portugis di Indonesia, yang dimuat dalam jurnal ilmiah dan beberapa majalah, salah satunya Garuda Magazine.

Kemudian pada tahun 2008 dan 2010, karya-karyanya diterbitkan sebagai buku posthume. Masing-masing berjudul Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Portugis di Indonesia dan Yo Paramita Abdurachman:Perempuan Mendahului Zaman, In Search of Living Traditions and Arts.

Ketertarikannya terhadap Maluku dan jejak-jejak Portugis berjejak dari pengalamannya sewaktu bertugas ke Maluku bersama PMI dan dorongan dari sepupunya, Satyawati Suleiman, yang mendukung dirinya untuk belajar bahasa Portugis guna memahami sumber-sumber sejarah Maluku.

Dalam penelitian, ia juga pernah bekerja bersama dengan Dr. AB Lapian dalam menulis tentang Timor Timur. Hasil karya keduanya kemudian dijadikan rujukan pemerintah Indonesia dalam membangun persepsi nasional terhadap wilayah tersebut.

Jo juga menaruh minat terhadap sejarah dan seni keraton Cirebon, serta seni batik tradisional. Hal ini, mendorong dirinya menyunting buku Cerbon yang diterbitkan oleh Sinar Harapan tahun 1982. Penerbitan itu ia niatkan sebagai upaya untuk menjaga kehidupan masyarakat Indonesia dari ancaman gaya hidup materialis Barat.

"Ia khawatir akan hilangnya akar budaya bangsa dan khawatir akan ketidakmampuan generasi baru elite perkotaan untuk memahami warisan budaya leluhurnya," pungkas Ruth McVey (1988).

Asvi Warman Adam (2010), menyebut bahwa Jo dan Dr. AB Lapian menjadi APU (Ahli Peneliti Utama) yang membimbingnya saat pertama kali bekerja di lembaga penelitian tersebut pada tahun 1983.

Warsa 1985, Jo pensiun dari lembaga penelitian tersebut. Ia kemudian bekerja sebagai pensihat majalah Travel Indonesia dari tahun 1987-1988 dan menghasilkan dua karangan yang berjudul "Postuguese Influence on Flores and the Solor Island" dan "Legacies of a ‘Portuguese’ Past".

Pada 23 Maret 1988, Jo mengembuskan napas terakhirnya di usia 68 tahun. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Baca juga artikel terkait PEJUANG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - News
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi