tirto.id - “Tidak ada orang lain yang layak mendapatkan penghargaan ini selain Anda. Sebab Anda, 40 tahun lalu, memainkan peran sangat penting dalam pembentukan Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka. Tanpa Anda, Palang Merah—kerja kemanusiaan terbesar abad ke-19—mungkin tak akan pernah ada.”
Demikian kutipan telegram dari Presiden Masyarakat Jenewa untuk Kesejahteraan Umum kepada Jean Henry-Dunant seusai dirinya diumumkan memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian pertama pada 1901—berbagi dengan pengusung gagasan perdamaian total, Frederic Passy. Telegram itu membawa nostalgia Dunant tua ke kota kelahirannya, Jenewa. Kota itu telah ia tinggalkan selama lebih dari dua dasawarsa menyusul kebangkrutan bisnisnya sehingga ia harus menyendiri dalam kemelaratan di sebuah desa kecil Heiden di Swiss. (Durand, A. 1986. The development of the idea of peace in the thinking of Henry Dunant. International Review of the Red Cross).
Ketika Dunant dinyatakan bangkrut pada 1867, Palang Merah baru berdiri beberapa tahun sebelumnya yakni 1863. Konvensi Jenewa, yang menjadi acuan dasar pertolongan terhadap korban dan prajurit yang terluka serta hak-haknya di medan perang pun baru lahir pada 1864. Dunant, yang sebelumnya seorang bankir dan pebisnis sukses, lebih memusatkan waktu dan pikirannya demi mewujudkan Palang Merah yang sebelumnya tak pernah ada dalam benaknya sehingga bisnisnya terabaikan.
Namun, gagasan pembentukan sebuah komite atau organisasi untuk menolong para prajurit yang terluka tanpa melihat asal negara pun mulanya berawal dari perjalanan bisnis.
Setelah Dunant muda sukses magang sebagai seorang bankir, ia mendapatkan tugas bekerja di Aljazair, tanah jajahan Prancis sejak 1830. Ia mengambil kewarganegaraan Prancis dengan jalur keturunan nenek dari pihak ibu, seorang Huguenot yang mengungsi ke Jenewa setelah Pencabutan Dekrit Nantes. Menjadi seorang Prancis adalah strategi untuk menghindari wajib militer, menunjukkan keengganannya tergabung dalam perang yang membuatnya dituduh tidak patriotik.
“Patriotisme saya lebih tulus, bukan patriotisme semu dan sempit yang sebenarnya sama sekali bukan patriotisme, melainkan sisa-sisa barbarisme, sesuatu yang dikutuk baik oleh agama Kristen maupun oleh kesadaran seorang manusia modern.” (Durand, A. 1986. The development of the idea of peace in the thinking of Henry Dunant. International Review of the Red Cross).
Di Aljazair, Dunant mendirikan perusahaan perkebunan dan penggilingan. Namun pemerintah kolonial di Aljazair menghalang-halangi akses air. Setelah usahanya menghubungi otoritas tanah jajahan di Paris gagal, Dunant memutuskan untuk menemui langsung penguasa Prancis saat itu, Kaisar Napoleon III. Tetapi Sang Kaisar tidak sedang di Prancis, melainkan di Italia utara, membantu Italia berperang melawan Austria. Pada Jumat malam, 24 Juni 1859, Dunant tiba di Castiglione, tak jauh dari Solferino yang tengah diamuk perang.
Di Castiglione, prajurit-prajurit yang terluka dari berbagai bangsa digeletakkan begitu saja di lantai gereja. Rintihan, tangis, jerit putus asa, serta bau busuk menyeruak di udara. Beberapa prajurit mengalami kejang, bisa jadi terkena tetanus, momok dalam pertempuran darat. Sementara yang lain tak dapat lagi dikenali karena lalat mengerumuni tubuh-tubuh penuh luka. Seorang prajurit dengan kepala terbelah dan darah menggenang di lantai gereja adalah salah satu pemandangan mengerikan yang dilihat Dunant di hari pertama kedatangannya mencari Napoleon III.
“Saya menemani detik-detik terakhir hidupnya. Saya tutupi dengan sapu tangan kepalanya yang hancur dan masih bergerak pelan.” (Dunant, Henry, The Origin of the Red Cross, “Un Souvenir de Solferino.” 2020).
Pada Minggu pagi, Dunant mengumpulkan sejumlah perempuan di kota itu untuk membantunya merawat ratusan prajurit yang terluka. Sekelompok sukarelawan pun terbentuk. Dapur umum didirikan, air bersih didistribusikan, baik untuk merawat luka maupun mengobati dahaga para prajurit tak berdaya di tengah musim panas yang terik. Dunant memerintahkan kusir keretanya pergi ke Brescia membeli berbagai perlengkapan seperti linen, kain perban, tembakau, dan bahan makanan.
Perempuan-perempuan Castiglione yang melihat Dunant merawat siapa pun tanpa memandang asal bangsa mengikuti caranya. Sejak hari itu, kata-kata yang paling sering terdengar di antara suara rintihan para prajurit yang menciutkan hati adalah tutti fratelli, atau “semua saudara”.
Semua rumah pun berubah menjadi rumah sakit. Kereta-kereta yang mengangkut prajurit untuk dirawat di Brescia melewati desa-desa yang rumahnya dapat disinggahi, dengan sang pemilik rumah bersiaga di depan pintu menyiapkan linen, perban, lemon, dan air. Semangat tutti fratelli juga menular ke para dokter militer.
Catatan-catatan tersebut adalah sebagian kecil pemandangan yang direkam Dunant sekembalinya dari Italia utara dalam The Origin of the Red Cross, “Un Souvenir de Solferino”. Ia mengongkosi sendiri penerbitan buku yang dicetak sebanyak 1.600 eksemplar pada tahun 1862. Buku itu ia kirimkan kepada para pejabat penting di pemerintahan dan militer.
Selain mengisahkan apa yang ia lihat dan lakukan ketika Perang Solferino pecah, Dunant juga mengusulkan dua gagasan penting hasil pengalamannya membantu sebagian kecil dari sekitar 40.000 prajurit yang tewas di Solferino.
Pertama, di masa damai, masing-masing negara harus membentuk suatu komite pertolongan untuk para prajurit yang terluka guna membantu tim medis militer ketika terjadi perang. Kedua, harus dibuat suatu pakta internasional untuk menentukan peran komite pemulihan di masing-masing negara di masa perang. (Emanuelli, Claude. The Contribution of International Bodies to The Development and Implementation of International Humanitarian Law (IHL), hlm. 148).
Salah satu pejabat yang membaca buku tersebut adalah Gustave Moynier, Presiden Masyarakat Jenewa untuk Kesejahteraan Umum. Pada 1863, ia menghubungi Dunant untuk mewujudkan gagasan-gagasan yang tertuang dalam buku tersebut. Sebuah komite pun dibentuk. Pada Oktober 1863, para delegasi dari 16 negara menghadiri sebuah konferensi di Jenewa dan menghasilkan 10 resolusi, antara lain kesepakatan membentuk organisasi bantuan medis dan pemakaian simbol berupa gambar palang merah pada dasar berwarna putih—bendera Swiss dengan warna dibalik.
Salah satu prinsip penting dalam gagasan Dunant juga disepakati oleh para delegasi, yakni bahwa semua anggota tim medis di dalam perang dianggap netral. Di hari terakhir konferensi pada 29 Oktober 1863, Palang Merah lahir dengan nama resmi Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka—berubah menjadi Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada 1876. (Kosnar, Stephen, Humanitarian for All: the Life of Henry Dunant, Hektoen International. A Journal of Humanities).
Kesuksesan Dunant mewujudkan mimpi kemanusiaan tidak diikuti oleh kesuksesan bisnis dan kehidupan pribadinya. Jatuh miskin dan dikucilkan dari pergaulan kelas atas, Dunant pun menyepi dalam kemelaratan di desa Heiden. Koran-koran di Jenewa menganggapnya sudah meninggal karena keberadaan Dunant tidak diketahui selama belasan tahun.
Di desa Heiden, Dunant tua populer di kalangan anak-anak, yang kemudian menceritakan kepada gurunya, Wilhelm Sonderegger. Pada 1890, Sonderegger mengunjungi Dunant. Ia kemudian menulis surat kepada Konferensi Internasional Palang Merah yang sedang berlangsung di Roma untuk menyampaikan keberadaan Dunant. Entah mengapa surat itu dianggap angin lalu oleh panitia dan delegasi konferensi.
Baru tiga tahun kemudian, jurnalis Georg Baumberger mengunjungi Heiden dan mewawancarai Dunant, yang ketika itu sudah tinggal di sebuah rumah sakit kecil di desa karena sakit-sakitan. Artikel yang ditulis Baumberger akhirnya berhasil mengembalikan popularitasnya.
Dunant pun kembali muncul dalam pemberitaan serta mendapatkan berbagai penghargaan dan hadiah. Tetapi uang dari panitia Hadiah Nobel ia serahkan untuk organisasi-organisasi filantropi di Norwegia dan Swiss, serta kepada rumah sakit desa dan orang-orang miskin yang sakit di Heiden. Henry Dunant wafat pada 30 Oktober 1910, tepat hari ini 111 tahun lalu, meninggalkan sebuah warisan besar dunia bernama Palang Merah.
Editor: Irfan Teguh Pribadi