Menuju konten utama
21 Februari 1949

Tan Malaka: Sejarah Petualangan dan Kosmopolitanisme Anak Suliki

Tan Malaka sedari awal telah jadi burung rantau, membujang sebagai pengelana dari satu kota ke kota lain tanpa mengenal batas negara.

Tan Malaka: Sejarah Petualangan dan Kosmopolitanisme Anak Suliki
Ilustrasi Mozaik Tan Malaka. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Rencananya dari Selopanggung, Kediri, jenazah Tan Malaka akan dipulangkan ke kampung halamannya di Nagari Pandam Gadang, Suliki. Sejak sekolah guru di Kweekschool Bukittinggi, ia tak pernah tinggal di kampung halamannya itu. Kampung halaman di Lima Puluh Kota itulah yang memberi gelar Datuk Tan Malaka pada pemuda bernama Sutan Ibrahim.

Orang lebih banyak tahu nama Tan Malaka. Selain nama itu, ia punya banyak nama samaran lain: Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong.

Tak banyak tokoh pergerakan nasional yang pandai menyamar dan berkali-kali lolos dari kejaran aparat kolonial. Jika banyak tokoh pergerakan Indonesia terkenal karena pembuangannya, seperti Sukarno di Bengkulu, Hatta dan Syahrir di Boven Digoel, maka Tan Malaka terkenal karena gerakan bawah tanah dan penyamarannya.

Waktu di Kweekschool ia siswa yang cerdas. Namun cerdas bukan segala-galanya bagi gadis impiannya di sekolahnya itu. Syarifah Nawawi, anak dari guru dan ahli bahasa terkenal Engku Nawawi, lebih memilih menolak cintanya. Kecerdasan Tan Malaka mengantarkannya sekolah di Belanda. Tentu saja dengan bantuan mantan gurunya dan orang-orang sekampungnya yang meminjami dana.

Belakangan, dana itu tak jelas pengembaliannya. Seperti Hatta yang dibiayai Mak Etek, Tan Malaka juga sibuk dengan pergerakan nasional. Tak ada waktu memapankan diri. Semula Tan Malaka ingin meraih akte untuk jadi kepala sekolah. Namun, karena sakit, ia terpaksa hanya mendapatkan akte guru biasa.

Sepulang dari Negeri Belanda, berbekal akte pengajar, Tan menerima tawaran Dr. CW Janssen untuk mengajar anak-anak kuli perkebunan teh Senembah Maatschappij, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara. Tan tiba di sana pada Desember 1919. Ia mengajar bahasa Melayu pada anak-anak kuli yang malang itu sejak awal 1920 hingga setahun berikutnya. Derita para kuli itu membuatnya tak mau lagi terima gaji dari korporasi di Tanjung Morawa. Ia pun berangkat ke Jawa. Setelah beberapa lama di Yogyakarta, ia pergi ke Semarang.

Di "Kota Merah" itu, Datuk Tan Malaka membangun sebuah sekolah untuk anak-anak anggota Sarekat Islam pada 1920-an. Ruang rapat SI disulap jadi sekolah alternatif oleh Tan Malaka.

“Dalam satu dua hari saja saya sudah bisa mulai dengan kurang lebih 50 orang murid,” tulis Tan dalam Dari Penjara Ke Penjara. Sekolah itu jadi model di cabang lain SI.

“Sedemikian suksesnya sekolah yang didirikan oleh Tan Malaka, sehingga sekalipun Tan Malaka meninggalkan Indonesia, sekolah itu terus berkembang. Dalam rapat sekolah-sekolah Tan Malaka, yang nama resminya Sekolah Ra'jat, di Semarang, 22-24 April, hadir 40 orang utusan dari 16 sekolah. Jumlah murid mencapai 2.500 orang,” tulis mantan guru sejarah P. Swantoro dalam Buku Ke Buku (2002).

Selain mengurus sekolah dan membangun kader di sekolah itu, Tan aktif di Partai Komunis Indonesia yang baru mulai hidup di Semarang. Pada Desember 1921, Tan menggantikan Semaun sebagai ketua. Setelah Maret 1922, pemerintah kolonial dengan beslit bernomor 22 tanggal 10 Maret 1922 membuang Tan Malaka.

Menyamar ke Sejumlah Negara

Tan Malaka berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Rusia yang menguat menjadi Uni Soviet pernah disinggahinya. Di sana Tan menjadi anggota dari Komunis Internasional (Komintern). Jika banyak kaum komunis tunduk pada Joseph Stalin sebagai penguasa Uni Soviet, Tan dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang berani berbeda dengan Stalin. Ia kemudian dikeluarkan dari Komintern dan dikenal sebagai pemikir yang dicap Trotskys.

Setelah ke Rusia, Tan hidup berkelana dengan identitas lain ke Tiongkok, Filipina, dan daerah lain, demi menghindari kejaran aparat kolonial. Tan baru kembali ke Indonesia pada 1942. Ketika itu Hindia Belanda sudah ditekuk kekuasaannya oleh balatentara Jepang. Tan tentu merasa aman dari kejaran aparat kolonial yang sudah tiarap sepanjang Perang Pasifik. Dari jazirah Malaya ia menyeberang ke Sumatra. Setelah tiba di Lampung, ia menuju Jawa.

Setelah menumpang perahu layar Sri Renjet dari Lampung, Tan tiba di Banten. Daerah itu pertama kali diinjaknya setelah 20 tahun dibuang dari impian "Republik Indonesia" yang diperjuangkannya. Dari Banten, Tan ke Jakarta, menginap di Rawa Jati, dekat Pabrik Sepatu di Kalibata. Tan berusaha menyelami kehidupan rakyat jelata yang jadi buruh atau pedagang buah di pinggiran Jakarta.

Atas saran Purbacaraka, Tan mendatangi Kantor urusan Sosial di Tanah Abang. Dari sana, ia dapat kerja di Bayah, Banten. Dengan nama samaran Ilyas Husein, ia bekerja di Bayah Kozan, salah satu bagian dari perusahaan Jepang Sumitomo. Ia sempat jadi juru tulis di pergudangan lalu pindah ke bagian yang mengurusi administrasi para romusa. Persembunyiannya di masa pendudukan balatentara Jepang ini tertuang dalam autobiografi Dari Penjara Ke Penjara (1947).

“Pada 6 Agustus 1945 Tan Malaka pergi ke Jakarta,” tulis Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid I (2008).

Tan hanya beberapa hari dan kembali lagi ke Bayah. Ia menemui pemuda macam Chaerul Saleh maupun B.M. Diah.

Pada 25 Agustus, Tan muncul di rumah Achmad Subardjo, yang semasa Jepang menjadi pengurus Asrama Indonesia Merdeka. Di tempat itu ia bertemu Wikana dan pemuda lain yang mengawal Proklamasi Indonesia, di daerah Cikini. Subardjo terkejut karena ia mengira Tan Malaka sudah mati. Tak hanya bertemu kawan berjuang, Tan berjumpa seorang perempuan muda bermental pejuang, Paramita Jo Abdurrahman, yang bikin mereka sempat dekat.

Infografik Mozaik Tan Malaka

Infografik Mozaik Tan Malaka

Tan Malaka muncul dalam Peristiwa Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Rapat raksasa tersebut diadakan pemuda-pemuda yang terpengaruh oleh Tan Malaka. Ribuan rakyat berkumpul di lapangan yang kini disebut Monumen Nasional (Monas). Setelah Banten dan Jakarta, Tan menetap di Cikampek, Bogor, di bawah kawalan Chaerudin.

Di Gedung Serba Guna, Purwokerto, 4 Januari 1946, sebuah sidang besar bertema Hasrat Perjuangan Rakyat Seluruh Indonesia digelar. Tiga ratus orang hadir dalam acara itu mewakili sekitar 141 organisasi maupun partai. Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang belum lama dilantik menjadi Panglima Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat, juga hadir di sana. Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia Adam Malik dalam Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45 menyebut Tan Malaka dan Soedirman sebagai ”dwitunggal”.

Persatuan Perjuangan belakangan menolak politik luar negeri kabinet Perdana Menteri Sutan Syahrir yang terlalu diplomatis. Bagi Tan Malaka dan Soedirman, yang menginginkan Merdeka 100%, Syahrir terlalu lembek pada Belanda.

Pada Februari, Tan Malaka berada di Solo. Dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia (2004), Rosihan Anwar mencatat Tan Malaka hadir dalam pertemuan wartawan-wartawan yang kemudian melahirkan Persatuan Wartawan Indonesia, 8 Februari 1946. Dengan memakai sepatu boot kaplaars, helm tropis hijau ala pejabat kolonial dan pakaian serba hitam, Tan datang ke acara itu, bersama Ida Sanawi, sekretaris redaksi Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.

Pada 1946, Tan cukup berpengaruh dan punya banyak pengikut, meski tak punya kekuasaan di pemerintahan. Setelah Peristiwa 3 Juli 1946, ia dipenjara lebih dari dua tahun. Tan sempat jadi orang yang begitu dilindungi oleh Mayor Sabarudin, tentara psikopat yang belakangan terbunuh di Jawa Timur. Tan tak lama bersama Sabarudin. Sekitar bulan Februari 1949, ia ditangkap pihak tentara, bersama pasukan Letnan Sukotjo dari Batalyon Sikatan.

Harry Albert Poeze sangat yakin jika Tan Malaka dibunuh oleh pasukan Sukotjo di Desa Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949, tepat hari ini 70 tahun lalu.

Riwayat Tan Malaka yang menembus batas wilayah negara mirip dengan José Rizal, tokoh nasionalis Filipina yang riwayatnya ditulis Ben Anderson dalam Di bawah Tiga Bendera (2015). Baik Tan maupun Rizal bukan orang Eropa tapi paham bahasa beberapa negara, pernah ke Eropa, dan tentu saja belajar banyak soal pemikiran dan ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa. Namun mereka tak lupa pada derita rakyat koloni. Semua tahu Tan termasuk yang melawan begitu keras kolonialiasme.

Tak banyak tokoh pergerakan nasional Asia selegendaris José Rizal. Indonesia tampaknya hanya punya Tan Malaka.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Februari dengan judul "Kosmopolitanisme Tan Malaka" dan merupakan bagian dari laporan mendalam tentang Tan Malaka. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam