tirto.id - Djaja Surya Atmadja masih ingat ketika Zulfikar Kamarudin memintanya bergabung dalam tim forensik uji DNA untuk meneliti kerangka Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, sembilan tahun lalu. Sebagai dokter spesialis forensik yang kesohor di bidang patologi, ia menyanggupi permintaan Zulfikar. Apalagi Zulfikar ialah keponakan Tan Malaka dan ketua tim pembongkaran makam.
“Keluarganya minta kepada saya. Sebagai seorang ahli, ya, saya bantu,” ujar Djaja kepada reporter Tirto lewat telepon, akhir Januari lalu.
Atas permintaan Zulfikar, pada 12 September 2009, Djaja ikut dalam tim pembongkaran makam yang diyakini Tan Malaka. Ia memimpin tim dokter forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk melakukan uji sampel DNA bersama dua dokter lain, yakni ahli forensik gigi dan ahli forensik umum.
Saat penggalian makam, Djaja masih ingat, mereka menemukan serpihan tulang dalam kondisi hancur. Makam itu, kata Djaja, juga sudah bergeser akibat lokasinya di pinggir sungai.
“Ujung-ujung tulang paha sudah hancur dan ada akar pohon pula, jadi sudah banyak kontaminasi,” ujar Djaja. Kemungkinan akar pohon itu ialah pohon wungu, yang pernah tumbuh besar sebelum tumbang di dekat makam tersebut. Makam yang diyakini Tan ini bersebelahan dengan makam Mbah Selo, leluhur kampung.
Keberadaan jasad Tan Malaka memang jadi teka-teki sebelum riset selama 40 tahun sejarawan Belanda Harry Poeze menyebut Tan Malaka dibunuh di Desa Selopanggung, Kediri. Tan ditembak oleh Letnan Dua Sukotjo, anggota Brigade Sikatan pada 21 Februari 1949. Tan dibunuh atas surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade Letkol Soerahmat.
Dalam buku otobiografi Letkol Soerahmat, Komandan Brigade Sikatan bertempat tinggal di Kediri seperti ditulis oleh putranya bernama Suyudi.
“Akhirnya mereka mencari kuburan itu yang, katanya, salah satunya diduga Tan Malaka,” tutur Djaja.
Mengungkap DNA Tan Malaka
Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4 (2014) menulis, pada 8 Januari 2012, tim forensik uji DNA yang dipimpin dokter Djaja Surya Atmadja akhirnya melaporkan hasil temuan mereka kepada keluarga Tan di kediaman Zulfikar.
Dua hari setelahnya, hasil uji DNA itu diumumkan kepada media. Hasilnya tak sesuai harapan: pemeriksaan tulang dan gigi itu tidak bisa membuktikan seratus persen bahwa kerangka tersebut adalah Tan Malaka.
Pemeriksaan DNA dengan cara membandingkan sampel DNA Zulfikar, keponakan Tan Malaka dari pihak ayah. Metode ini berupa memintasi kromosom-Y dalam serpihan kerangka yang diyakini Tan Malaka dan sampel DNA milik Zulfikar. Bila cocok, demikian sejarawan Asvi Warman Adam sebagai penasihat tim penggalian makam Tan Malaka, maka profil Y-Short Tandem Repeat (Y-STR) dari kerangka itu sama persis dengan profil DNA Zulfikar.
“Pada pemeriksaan pertama kali telah dilakukan ekstraksi DNA dan pemeriksaan Y-STR terhadap sampel tulang atap tengkorak dan kerangka yang digali gagal mendapatkan adanya DNA,” tulis laporan tim identifikasi dalam halaman 406. “Pemeriksaan DNA itu juga telah dilakukan di dalam dan luar negeri.”
Tim forensik DNA dipimpin Djaja Surya Atmadja memang berencana membawa sampel tulang ke Korea Selatan atau Tiongkok. Beberapa kali tim melakukan konsultasi melalui surat elektronik dengan dr. Kim Soon Hee, pakar DNA dari National Institute of Scientific Investigation Korea Selatan.
Mengapa sulit mengungkap DNA dalam kasus kerangka yang diyakini Tan Malaka ini?
Djaja mengatakan, DNA dalam serpihan tulang itu telah lenyap karena jasad sudah terkubur selama 60 tahun. “Saya periksa sampai tiga laboratorium, enggak ada. Lab itu ada di Indonesia dan luar negeri. Kalau enggak ada, mau ngomong apa saya?”
Dari hasil penelitian tim forensik RSCM, sampel yang tersisa dari kerangka itu hanya 0,25 gram serpihan gigi dan 1,1 gram serpihan tulang. Ini bikin sulit mengungkap DNA, yang diakui sendiri oleh Djaja, pakar yang punya ketekunan prima dalam mengoleksi basis data DNA orang-orang Indonesia.
Bahkan dalam pengujian sampel yang dibawa ke Australia, demikian Djaja, lewat metode ekstraksi yang dikenal Low Number Copy, proses itu tetap membentur tembok. Uji sampel ini menghasilkan tak ada DNA, yang sesuai DNA Tan Malaka dari sampel darah Zulfikar.
“Kalau enggak ada, mau omong apa saya? Sekarang diminta kasih hasil, padahal sudah lama saya kasih laporannya ke keluarga,” tutur Djaja.
Kasus hilangnya DNA ini, terhadap kerangka yang diyakini pihak keluarga maupun sejarawan Poeze sebagai Tan Malaka, disebut "bog body". Ini terjadi lantaran pengaruh lingkungan di sekitar jenazah yang lembab, sudah bercampur dengan beragam zat lain di areal makam lantaran terkubur bertahun-tahun.
Harry Poeze sendiri, yang begitu obsesif meriset perjalanan hidup Tan Malaka, menilai sejauh ini pemerintah masih ragu dan menunggu hasil tes DNA tentang kebenaran makam Tan Malaka di Desa Selopanggung. Padahal tes sudah berjalan lebih dari lima tahun.
Meski begitu Poeze "cukup yakin" mengenai hasil pembongkaran makam itu mengarah kepada Tan Malaka. Dasarnya adalah riset antropologi forensik.
“Berdasarkan data sejarah, penelitian saya, dan pendapat ahli forensik antropologi, sudah jelas bahwa Desa Selopanggung merupakan tempat peristirahatan terakhir Ibrahim gelar Datoek Tan Malaka," ucap Poeze.
Poeze meyakini jika Tan Malaka "90 persen" dikuburkan di Desa Selopanggung berdasarkan riset wawancara saksi serta kajian literasi. “Adalah Ironis ... tes DNA identitas sudah diakui secara resmi. Dan sekarang kemajuan teknis menghindari pengakuan itu,” tulis Poeze.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam