tirto.id - Sudah lebih dari 70 tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) eksis dalam sejarah Indonesia. PWI adalah organisasi jurnalis atau wartawan tertua di Indonesia. PWI lahir di masa-masa yang tidak mudah di masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
"Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berdiri di Solo pada bulan Februari 1946 saat Republik menentang kembalinya kolonialisme Belanda, PWI lahir sebagai upaya memobilisasi para jurnalis profesional pada masa tersebut,” tulis David T. Hill dalam Pers di Masa Orde Baru (2011). Banyak jurnalis dari pelbagai surat kabar ikut serta dalam PWI dan berdiri di belakang Republik Indonesia.
Setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia pada 1950, PWI pun berkembang dan punya banyak cabang di daerah. Ketika ada banyak ideologi dan beragam kepentingan politik berkembang menguat di akhir kekuasaan Orde Lama, PWI sempat menjadi ajang pertarungan.
Jelang 1965, menurut Hill, PWI menjadi ajang pertarungan politik, “terutama ketika kelompok-kelompok jurnalis yang terkait dengan partai politik (khususnya PSI dan PKI) berseteru guna memperoleh kekuasaan.”
Setelah memasuki era Orde Baru, kelompok anti-komunis jadi pemenang. Termasuk di PWI yang semakin berjaya saja di masa Soeharto. Bahkan berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan tahun 1969 (No. 02/PER/MENPEN/1969, bab 1 pasal 3), semua jurnalis alias wartawan di seluruh Indonesia haruslah menjadi anggota PWI. Di masa itu, menurut Hill, “satu-satunya organisasi (para jurnalis) yang sah di mata pemerintah adalah PWI.”
Mau tidak mau para jurnalis di Indonesia tak punya pilihan kecuali mengakui PWI sebagai afiliasi, bahkan jika perlu menjadi anggotanya.
Di masa Orde Baru, menjadi anggota PWI tidak mudah. “Proses memperoleh kartu anggota PWI sendiri berliku-liku. Pemohon mesti menunjukkan Surat Tanda Kelakuan Baik dari Kepolisian setempat dan Surat Tanda Bebas G-30-S/PKI dari pihak berwajib apabila pemohon lahir sebelum 1955,” kata David Hill.
Selain bebas dari "pengaruh komunis dan berkelakuan baik," wajib bagi seorang jurnalis untuk mengalami masa permohonan, yakni harus bekerja pada perusahaan pers nasional paling sedikit tiga tahun tanpa jeda.
Tan Malaka dalam Kongres PWI
Lepas dari sejarahnya sebagai anak emas Orde Baru yang alergi pada komunis, PWI tidaklah lahir dari lingkungan yang setengah mati membenci komunis. Tak ada sentimen anti-komunis di masa-masa kelahirannya. Tokoh komunis legendaris Indonesia Tan Malaka bahkan hadir ketika PWI didirikan.
Rosihan Anwar, yang pernah menjadi Ketua Umum PWI (1970-1973) dan Ketua Pembina PWI (1973-1978) dan juga terkenal sebagai wartawan anti-komunis, mengakui kedatangan Tan Malaka itu. Tentu saja Rosihan tak melupakan momen kedatangan Tan Malaka dalam pendirian PWI itu. Itu salah satu peristiwa penting dalam hidupnya sebagai suami. Bukan karena Tan Malaka, tapi seorang perempuan bernama Zuraida Sanawi alias Ida Sanawi—yang belakangan jadi istrinya.
“Saat itu menjelang tengah hari tiba dari Jogja sebuah mobil di societeit tempat berlangsung pertemuan para wartawan. Mobil itu membawa tiga penumpang para wartawan... Sumantoro, Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat Jogja, Ida Sanawi yang baru dua bulan mengungsi dari Jakarta dan bekerja sebagai Sekretaris Redaksi Kedaulatan Rakyat, dan Datuk Tan Malaka,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 3 (2004).
Rosihan bahkan masih ingat bagaimana Tan Malaka datang dalam acara tanggal 8 Februari 1946 itu. “Tan Malaka berpakaian serba hitam. Serupa pemuda pejuang masa itu ia memakai sepatu kaplaars. Ia memakai topi helm tropis warna hijau muda.”
Itu satu-satunya momen Rosihan melihat "Bapak Republik" Tan Malaka. Namun, seperti banyak wartawan yang hadir dalam acara itu, ia tak mampu menyimak dengan baik dan lengkap perihal yang disampaikan Tan Malaka dalam pidatonya.
“Tan Malaka masuk ke dalam ruangan tempat para wartawan telah berkumpul. Ia menuju mimbar, lalu berpidato. Tidak pakai teks yang dipersiapkan. Seluruhnya di luar kepala. Lamanya hampir empat jam nonstop. Ia bercerita tentang riwayatnya mengembara di mana-mana. Topik yang disentuhnya berkenaan dengan apa yang ditulisnya dalam buku Madilog, yakni materialisme, dialektika, dan logika,” ingat Rosihan sebelum ia juga akhirnya terlelap.
Seingat Rosihan Anwar, ketika itu para wartawan itu habis pulang dari beberapa front. Mereka terlalu lelah untuk mendengar. “Sudah tertidur saking lelahnya. Ketika Tan Malaka selesai dengan pidatonya, saya sudah bangun lagi dan sempat menggiringkan Tan Malaka ke mobilnya.”
Setelah acara itu, Rosihan sedikit-sedikit mengenal Tan Malaka. Salah satunya melalui Ida Sanawi setelah mereka menikah. Ida yang satu mobil dengan Tan Malaka masih ingat bagaimana Tan Malaka bicara dalam bahasa Indonesia. Padahal kecenderungan orang-orang terpelajar di tahun 1940-an, bahkan yang jadi pejabat tahun 1960-an, biasanya suka berbasa-basi bahasa Belanda.
“Ia laki-laki yang gallant (sopan terhadap perempuan). Ia soft spoken, berbicara dengan suara lembut. Ia tidak mendominasi percakapan. Ia pribadi yang menyenangkan,” kata Ida Sanawi.
Dari Jo Abdurahman, yang dekat dengan Tan Malaka, Rosihan mendapat keterangan bahwa Tan Malaka adalah orang yang baik. Dalam hati, Jo kerap bertanya: apakah Tan Malaka tidak tertarik pada seks?
“Jangan lupa, Tan Malaka itu sudah berpuluh-puluh tahun hidup sendirian di berbagai tempat di berbagai negeri dikejar oleh pihak intel. Ia tak sempat mendirikan atau punya keluarga,” ujar Ida Sanawi.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS