tirto.id - Selasa malam, 13 Agustus 1996, pria tak dikenal mendatangi rumah kontrakan Fuad Muhammad Syafruddin di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13, Yogyakarta. Si pria menganiaya wartawan Bernas itu hingga kritis tak sadarkan diri.
Tiga hari kemudian, usai menjalani perawatan hingga operasi otak di Rumah Sakit Bethesda, nyawa Udin—sapaan akrab Syafruddin—gagal diselamatkan. Jenazah Udin kemudian diautopsi di RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
Untuk kepentingan penyidikan, sampel barang bukti autopsi dikirim ke laboratorium forensik di Inggris. Hasilnya, tes DNA barang bukti itu sama. Namun, penyidik masih perlu keterangan seorang ahli di Indonesia untuk membeberkan data dari hasil autopsi Udin.
Akhirnya petugas penyidik meminta Djaja Surya Atmadja, dokter forensik ahli DNA dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), untuk menganalisis data forensik Udin dari Inggris. Djaja menyanggupi asalkan diberi kebebasan untuk memeriksa sendiri. Para penyidik memberinya tiga barang bukti: baju Udin yang bersimbah darah, baju Dwi Sumaji alias Iwik yang dituduh sebagai pembunuh, dan sebatang besi berlumuran darah.
“Hasilnya, waktu itu, sama dengan pemeriksaan dari Inggris, bahwa baju Udin, Iwik, dan besi memiliki darah yang sama. Atas dasar itu saya dipanggil ke pengadilan untuk menjadi saksi,” katanya, Sabtu (28/01), mengisahkan kejadian 20 tahun lalu.
Namun, ia mengungkapkan ada kepentingan pihak tertentu yang meminta dirinya membenarkan Iwik adalah pembunuh Udin dengan bukti sebatang besi. Dengan sikap independen, ia menegaskan seorang dokter forensik adalah saksi ahli bukan saksi mata. Artinya, seorang saksi ahli hanya mengatakan berbasis fakta ilmiah dan keilmuan.
Sebagai ilmuwan, ia memiliki komitmen dan kode etik profesi yang dilarang memihak satu kepentingan apa pun. Akhirnya, kesaksiannya membebaskan Iwik dari segala tuntutan jaksa dan memperkuat keterangan 25 saksi mata sebelumnya yang menyatakan tak melihat Iwik memukul Udin.
Kasus Udin hanya satu dari jutaan kasus yang mengingatkan pada masyarakat soal pentingnya peran dokter forensik dalam mengungkap peristiwa pembunuhan.
Menurutnya, dalam mengungkap satu kasus, ada dua jenis pemeriksaan yang akan diminta oleh pihak penyidik, yaitu pemeriksaan luar jenazah (visum luar) maupun pemeriksaan dalam jenazah (visum dalam atau autopsi). Jenis pemeriksaan pun tergantung pada kepentingan kasus yang ditangani penyidik, dan lewat proses autopsi kita bisa memastikan sebab kematian.
Ia mencontohkan satu kasus kematian David Hartanto Widjaja, mahasiswa Nanyang Technological University, Singapura, yang tewas di pelataran kampus. David jatuh dari lantai empat di salah satu gedung kampus. Laporan kepolisian Singapura menyatakan David bunuh diri karena mengalami depresi. Tak lama kemudian, kepolisian Singapura memilih menutup kasus tersebut.
Di Tanah Air, Djaja diminta oleh seorang wartawan untuk menganalisis hasil autopsi David. Ia menyanggupi dengan meminta izin keluarga David. Berhubung mayat David sudah dikremasi, ia mengajukan ide hasil autopsi diterjemahkan ke manekin. Dari sana, terlihat kesenjangan antara hasil autopsinya dan kesimpulan kepolisian Singapura.
Dari hasil analisis autopsi itu, ia dapat menyimpulkan bahwa luka di tubuh David tak hanya dari benturan benda tumpul akibat jatuh, tetapi ada luka akibat senjata tajam.
Ada 10 titik luka akibat benda tumpul dan tajam, terangnya. Di antaranya di bagian kepala kiri, dahi, dagu, leher kiri, mata kiri, bibir kiri atas, ginjal kiri, paha dan kaki kanan David. Sementara luka akibat benda tajam terdapat di bahu kiri belakang: luka terbuka yang tidak mungkin dilakukan sendiri seandainya ia diduga bunuh diri.
Di pergelangan tangan kanan David terdapat sayatan hingga uratnya terpotong. Biasanya luka seperti itu bukan luka bunuh diri. Kalau luka bunuh diri, biasanya ada bekas irisan lain yang gagal. Sementara irisanya ini cuma sekali.
Selanjutnya paha kiri mengalami patah tulang spiral—alias dipelintir.
“Dalam ilmu forensik hanya terjadi dalam dua keadaan. Pertama, pada anak kecil bisa terjadi seperti itu, tapi orang dewasa pun bisa terjadi jika ia penari balet. Kedua, lebih mungkin lagi dipelintir oleh lebih dari satu orang karena postur tubuh David ini besar. Kalau hanya satu orang, hampir tidak mungkin, pasti ada yang memegang dia dan memelintir kakinya,” tutur Djaja.
Jadi, dari rangkaian teka-teki yang disusunnya, Djaja menyimpulkan dua kemungkinan. Pertama, ada luka jatuh karena kekerasan tumpul. Kedua, ada penganiayaan, yang mengindikasikan David diserang dengan benda tajam sebelum jatuh dari lantai empat.
Pendeknya, hasil pemeriksaannya membantah simpulan kepolisian Singapura.
Nama Djaja Surya Atmadja disegani dalam dunia forensik di Indonesia. Di antara kasus besar lain yang ia tangani ialah korban penembakan mahasiswa Trisakti pada 1998 dan uji sampel DNA pada serpihan tulang yang diduga milik jenazah Tan Malaka, terkubur di sebuah desa di Kediri, Jawa Timur, yang tewas ditembak pada 1949.
Djaja tertarik pada dunia forensik mula-mula dari kisah detektif, salah satunya terpikat pada cerita Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle. Saat kuliah kedokteran, ia tertantang pada logika seorang dokter forensik dan mulai gandrung pada bacaan tentang DNA.
Mengingat di Indonesia, bahkan hingga kini sangat minim lagi seorang ahli DNA forensik, ia pun makin memasuki dunia yang berperan dalam menentukan kasus-kasus pelik kejahatan. Kini ia sudah menjalani profesi ini hampir 30 tahun.
“Cita-cita saya mau jadi dokter pertama forensik ahli DNA di Indonesia,” katanya. "Paling profesi ini di seluruh Indonesia ada tiga orang.”
Ia membanggakan diri: “Saya satu-satunya yang ada di dunia yang bikin database DNA orang-orang Indonesia.”
Lantaran dokter forensik sangat dekat dengan kepentingan hukum dan pengadilan, ia pun mendalami studi hukum, yang sudah ditekuninya selama 26 tahun sebagai pengajar dan konsultan hukum.
Meski punya peran penting dalam membongkar sebuah kasus kematian, dokter forensik di Indonesia tetap sepi peminat. Ada banyak faktor, salah satunya sedikit mendatangkan uang. Dan bila melihat pengalaman Djaja sendiri, ia memasuki dunia ini semula memang karena sangat tertarik dan merasa tertantang untuk memecahkan kasus-kasus kematian.
Ketika Djaja mendapatkan gelar doktor di salah satu kampus di Jepang, di usia 35 tahun, ia sendiri ditawari untuk bekerja di Negeri Sakura itu. Tetapi ia menolak.
“Kalau mau jadi dokter di sana bisa saja,” katanya. “Tapi saya tidak tertarik. Mending jadi dokter di Indonesia.”
Salah satu penelitian terbarunya adalah mengidentifikasi para prajurit Jepang yang tewas di masa Perang Dunia Kedua, mengisahkan pengalaman 10 tahunnya bertungkus lumus dengan kasus tersebut.
“Otak seorang dokter forensik itu harus jalan, pakai analisis," kata Djaja. "Makanya dokter forensik itu pintar dan logikanya jalan.”
Peran Dokter Forensik dari Kepolisian
Di Indonesia, otoritas yang menangani kasus kematian tidak wajar—salah satunya pembunuhan—adalah kepolisian. Merekalah yang berhak melakukan proses penyidikan. Kepolisian Indonesia termasuk yang memiliki pusat laboratium forensik paling apik. Tetapi mereka juga kerjasama dengan doker forensik dari rumah sakit pendidikan—keduanya adalah RSCM di Jakarta dan RS Sardjito di Yogyakarta.
Musyafak, Wakil Kepala Rumah Sakit Polri, saat ditemui di Rumah Sakit Bhayangkara Said Sukanto, Jakarta Timur, mengatakan kepolisian memiliki 20 dokter forensik. Ini salah satu rumah sakit kepolisian terlengkap di Indonesia, dengan delapan dokter forensik.
“Di sini tiada hari tanpa kasus. Terkadang bisa banyak, naik-turun. Misalnya penyekapan di Pulomas ada 6 orang, kapal kebakaran (di Kepulauan seribu) ada 23 orang,” katanya. Dalam setahun, mereka menangani 350 kasus di seluruh Indonesia, termasuk kasus pesawat jatuh di Papua yang korbannya dibawa ke rumah sakit tersebut.
“Memang kurang dokter forensik, tapi dalam pelaksanaannya ada dokter magang, terus ada kerja sama dengan RS pendidikan. Kalau korbannya di sini, mereka ke sini. Kalau di sana (RSCM), kita yang ke sana,” katanya.
Khusus di wilayah Jakarta, kasus yang paling banyak ditangani kepolisian adalah korban mutilasi.
Mengetahui kapan si korban meninggal, siapa pelakunya, apa sebab ia terbunuh sebelum dimutilasi, memastikan identitasnya—pekerjaan pelik seorang dokter forensik—harus dicek melalui sampel DNA.
Musyafak memberi contoh. Dalam satu kasus mutilasi ditemukan pisau. Pisau ini bisa jadi petunjuk siapa korban dan siapa pelaku. Ia dibawa ke pusat laboratorium DNA. Hasil pemeriksaannya: pisau ini memiliki dua DNA. Pertama, bagian lancip adalah darah korban, dan kedua ialah gagang pisau yang bisa jadi DNA pelaku. “Sebab, ada goresan yang mengenai tangan pelaku sehingga terjadi penempelan sel-sel kulit dan darah di pisau tersebut,” katanya.
Dalam kasus lain, bila memerlukan proses autopsi pada jenazah, dokter forensik akan melakukan proses pembedahan tubuh korban, dari bawah leher sampai bagian perut serta pembukaan rongga kepala.
Proses macam itu guna mengamati organ-organ tubuh korban secara lengkap. Bila dianggap perlu, sebagian organ maupun cairan tubuh diambil untuk kepentingan pemeriksaan lain, dengan memperhatikan jaringan syaraf, zat beracun, kuman-kuman, dan sebagainya. Selanjutnya, organ-organ yang diambil itu dikembalikan lagi ke tubuh jenazah, untuk kemudian dijahit.
“Proses autopsi paling lama dilakukan selama empat jam,” kata Musyafak. “Sementara untuk mengetahui kesimpulan visum et repertum membutuhkan waktu, dari dua hari hingga tiga minggu, tergantung kondisi mayat saat diautopsi.”
“Bila memastikan jejak DNA, prosesnya butuh waktu 2 sampai 3 hari,” ujarnya, Jumat (27/01).
Seluruh proses ini diperlukan bagi dokter forensik demi mendapatkan data yang cukup lengkap, demi menyimpulkan penyebab kematian korban. Dari sanalah visum et repertum bisa disimpulkan.
Contoh lain pada kasus bunuh diri. Kata Musyafak: Apakah ia tewas karena digantung atau menggantung diri? “Bisa saja ia dibunuh dulu dengan racun, baru kemudian digantung. Kemungkinan itu semua bisa terjadi. Jadi harus autopsi untuk mengetahui semuanya.”
Biasanya proses autopsi dapat dilakukan di dalam ruangan, baik di rumah sakit Polri maupun rumah sakit pendidikan. Kerap pula autopsi dikerjakan di lapangan, tetapi dengan persyaratan khusus, yakni membuat sebuah bilik pemeriksaan jenazah. Ini umumnya dikerjakan pada korban mati tidak wajar yang sudah dimakamkan.
Musyafak mengatakan, untuk proses yang disebut terakhir itu membutuhkan sebuah tim. Melibatkan spesialis forensik seperti medikolegal, patologi, odontologi, dan toksikologi, maupun di luar dokter forensik seperti fotografer dan pencatat olah TKP. Tim ini dibentuk tergantung kebutuhan kasus.
Medikolegal ialah forensik yang menggabungkan ilmu kedokteran dan ilmu hukum, patologi bertugas memeriksa dan mengetahui penyebab orang mati, odontologi untuk mempelajari benda bukti gigi, dan toksikologi adalah ilmu yang menelaah cara kerja dan efek berbahaya zat kimia terhadap mekanisme biologi. Semua spesialis ini harus bekerja bahu-membahu untuk memecahkan misteri penyebab kematian.
Menurut Djaja Surya Atmadja, cabang ilmu forensik seperti disebutkan di atas lebih minim lagi jumlahnya di Indonesia. “Forensik gigi hanya 10 orang, psikologi forensik dua atau tiga orang,” katanya, menaksir.
Sayangnya, meski jumlah spesialis ini langka, apresiasi terhadap dokter forensik masih kurang. Djaja mencontohkan kasus kematian Wayan Mirna Salihin yang diduga diracun sianida dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso.
“Ini kasus orang diracun. Harusnya yang ngomong ahli racun dan dokter forensik. Gampang, kan? Harusnya kasus ini menjadi pembelajaran mencerdaskan masyarakat. Dokter itu diminta untuk jadi saksi ahli, termasuk juga tidak boleh memaki-maki saat dipanggil. Tapi itu semua tidak dilaksanakan,” katanya.
Karena itu, kritik Djaja, bila ada kasus-kasus yang menyedot perhatian besar, idealnya keterlibatan polisi dalam uji forensik dikurangi, tetapi dilimpahkan kepada dokter forensik sipil. Terlebih bila kasus itu minim ketersediaan alat buktinya.
“Kalau dari sipil, orang bisa percaya karena tidak ada kepentingan. Bukan masalah bohong atau tidak. Kalau dokter dari kepolisian, kalau disuruh bilang A, karena satu korps, harus diikuti, dong. Kalau orang sipil, polisi tidak bisa nekan kita,” ujarnya.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam