Menuju konten utama
Ade Firmansyah Sugiharto:

"Jadi Dokter Forensik Bisa Hidup, Kok!"

Tiap dokter umum harus punya kompetensi forensik klinik, dan diupayakan bisa memeriksa jenazah. Tetapi kalau sudah menyangkut autopsi, harus dikerjakan oleh dokter spesialis forensik, yang jumlahnya masih sangat minim di Indonesia.

Ade Firmansyah Sugiharto, Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Jumlah dokter forensik di Indonesia masih sangat minim. Dari 34 provinsi, hanya ada 158 dokter forensik per 2015. Padahal peran profesi ini sangat penting untuk mengungkap kasus-kasus pidana yang laporannya sering diterima kepolisian.

Minat menjadi dokter spesialis forensik di sini memang kurang. Ada anggapan kalau pendapatan sebagai dokter tak sebanding pengeluaran di masa studi serta penghasilan kebanyakan spesialis lain. Di sisi lain, karena minim, otomatis peluang kerja dokter forensik pun terbuka lebar. Ketika lulus, sudah pasti langsung bekerja.

“Tapi sebetulnya menurut saya, ya, kalau alasannya ke finansial, tidak cocok juga. Kita bisa hidup, kok (menjadi dokter forensik),” ujar Ade Firmansyah Sugiharto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu (27/1/2017).

Minimnya dokter forensik ini juga membuat tenaga mereka terbatas dalam pelibatan untuk mengungkap kasus-kasus kematian tak wajar. Padahal menurut Ade, peran dokter forensik sangat membantu di tengah berkembangnya metode kejahatan yang dilaporkan ke kepolisian sebagai upaya penegakan hukum. Idealnya, kata dia, satu daerah itu memiliki empat dokter forensik.

“Banyak daerah yang masih belum ada dokter forensiknya,” ujar Ade.

Berikut petikan wawancara Ade Firmansyah dengan tim Tirto mengenai jumlah dokter forensik yang minim dan dunia forensik secara umum di Indonesia.

Bisa dijelaskan soal pernyataan Anda ke media bahwa jumlah dokter forensik minim di Indonesia?

Memang yang terdaftar itu 150, itu yang pasti datanya. Itu yang masih kita mutakhirkan datanya karena memang beberapa lulusan belum terdaftar lagi. Lulusan dokter forensik yang baru belum masuk lagi, jadi saat itu yang pasti. Kita punya tujuh institusi pendidikan spesialis dokter forensik, ada di UI, Unpad, USU, UGM, Undip, Unair, dan Unhas. Dari sana rata-rata kayak di UI saja, ya, kita itu mempunyai kapasitas untuk menerima dokter forensik per satu semesternya tiga sampai enam orang. Tapi memang yang mendaftar itu, yang berminat cuma sedikit, kadang satu atau dua. Semester ini, alhamdulillah, yang berminat ada empat. Tapi memang masih jarang dari keinginan pribadi. Biasanya kiriman instansi, kiriman rumah sakit.

Maksud Anda yang disekolahkan oleh institusi tertentu?

Iya. Instansi butuh tapi ketersediaan dokter forensiknya tidak ada, jadi akhirnya mereka harus membiayai untuk sekolah. Keinginan untuk sekolah sendiri itu tidak banyak minatnya. Rata-rata kita satu tahun itu bisa lulus satu atau dua. Tahun kemarin (2016), kita tidak ada lulusan, karena jumlahnya tidak banyak. Jadi itu yang membuat jumlah dokter forensik tidak banyak. Masih banyak juga daerah-daerah yang memang tidak punya dokter forensik. Misalnya di daerah Kuningan, Jawa Barat, itu tidak punya dokter forensik. Apa berarti di sana tidak ada kasus? Pasti ada.

Akhirnya, kita di sistem pendidikan dokter itu ada namanya standar kompetensi dokter Indonesia (SKDI). Maka dokter umum lulusan fakultas kedokteran itu harus punya kompetensi. Pertama, kompetensi forensik klinik, kasus-kasus penganiayaan dengan korban hidup, kasus kejahatan asusila, kekerasan dalam rumah tangga. Semua dokter umum mempunyai kompetensi tingkat empat. Jadi artinya harus bisa mandiri.

Yang kedua, untuk kasus korban mati, dia punya kompetensi dengan level dua untuk autopsi. ‎Tapi untuk pemeriksaan jenazah, itu level empat. Di situ kita dari Persatuan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) berharap, dengan menetapkan standar demikian, semua lulusan dokter itu nanti bisa membantu penyidikan apabila diminta oleh penyidik, setidaknya sudah mampu sampai ke pemeriksaan jenazah. Karena tidak semua kasus itu harus diautopsi.

Apa problem minimnya minat spesialis forensik?

Mungkin karena ketidaktahuan dokter-dokter yang lulus. Tidak tahu nanti saya akan kerja di mana, misalnya. Kan biasanya dokter-dokter yang baru lulus itu minta izin orangtuanya mau masuk ke forensik, lalu si orangtua kepikiran mayat lagi mayat lagi, dari mayat ke mayat. Padahal kerja dokter forensik tidak hanya itu. Ada korban hidup.

Orang-orang juga mungkin berpikiran masalah finansial, pemasukannya tidak terlalu besar. Tapi sebetulnya, menurut saya, ya kalau alasannya ke finansial tidak cocok juga. Kita hidup kok (menjadi dokter forensik).

Bagaimana dengan anggapan penghasilan dokter forensik tak sebanding biaya studi sejak pra-klinis?

Tidak juga, ah. Kalau idealisme, saya selalu berpikiran kita bekerja profesional, sebaik-baiknya. Rezeki itu pasti akan ikut, deh.

Bagaimana Perhimpunan mendorong minat dokter ke spesialis forensik?

Kami dari PDFI itu coba mengampanyekan kalau dokter spesialis selain forensik, begitu lulus, cari pekerjaan itu susah. Karena harus praktik sampai ke pinggiran-pinggiran. Tapi kalau dokter forensik, begitu lulus, pasti punya tempat.

Ada Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) tentang jenis dan tipe rumah sakit. ‎Disebutkan, apabila rumah sakit adalah rumah sakit kelas tipe B, apalagi ada pendidikannya (umumnya rumah sakit pemerintah), maka harus memiliki pelayanan dokter forensik. Nah, daripada repot-repot nyari tempat kerja, kamu bisa jadi spesialis forensik, pasti masuk.

Bagaimana sistem pelayanan dokter forensik selama ini di saat kondisinya minim?

Sebetulnya, apapun seragamnya, ketika dia jadi dokter spesialis forensik—mau dia seragam di bawah Bhayangkara, TNI, fakultas kedokteran, kementerian kesehatan—maka dia menjadi anggota dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Ini satu-satunya organisasi yang resmi di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Semua pasti jadi anggota di sini dan semua akan melaksanakan pelayanan dokter forensik yang sama, standar profesinya sama, seusai dengan Perhimpunan.

Tapi, ya, memang ada keterbatasan-keterbatasan yang membuat kami harus melakukan modifikasi sistem untuk bisa memberikan pelayanan dokter forensik kepada masyarakat. Jakarta dikatakan ideal, iya. Tapi apa yang ideal ini bisa kita terapkan di setiap pelosok Nusantara? Belum tentu.

Misalnya, Perhimpunan melakukan advokasi kepada pemerintah agar semua kasus harus diperiksa dokter forensik. Itu tidak mungkin juga. Itu malah kasihan, masyarakat malah tidak bisa terlayani, kan. Dokter forensiknya tidak bisa istirahat. Jadi, ya mau tidak mau, kita cukup fair‎, kita training dokter-dokter umum di daerah. Kita buat pelatihan dan seminar. Ketika ada di daerah, mereka bisa melayani.

Kami di RSCM, ada 11 orang, lumayan jumlahnya. Jadi, kayak kemarin kita dilibatkan ke TKP, karena mereka tahu jumlah kita cukup sehingga ada yang stay dan mobile.

Tapi coba bayangkan kalau satu daerah cuma satu. Contohnya di RSUD Ciawi, Bogor, dokter forensiknya cuma satu. Kalau terjadi kejahatan di sana, terus dokter forensiknya harus ke TKP, balik lagi ke rumah sakit, kan, tidak cukup orangnya. Maka dari itu, sistemnya dibuat: dokternya standby di rumah sakit. Kasusnya yang didatangkan. Itu mungkin penyidik tahu idealnya seperti apa, jadi kita berusaha mengatasi itu dengan membuat sistem sebaik mungkin agar pelayanan forensik bisa dirasakan masyarakat dengan keterbatasan-keterbatasan ini.

Selama ini bagaimana kerjasama dengan kepolisian untuk mengungkap sebuah kasus kejahatan?

Kita kerja sama dengan Polres Jakarta Barat. Mereka senang sekali kita bisa membantu identifikasi. Ada tim dari Laboratorium forensik, kemudian ada ‎kami dari dokter forensik, mereka justru mengharapkan hal itu. Kalau jumlah kita sangat banyak dan kita lakukan hal semacam itu, mereka sangat senang sekali. Tapi kalau misalnya kita bikin kebijakan yang sama seperti di Jakarta, semua daerah harus seperti kami, matilah teman kita di daerah yang cuma satu dokter forensik di satu provinsi. Lampung, contohnya, satu pulau cuma satu. Begitu juga Lombok. Papua juga cuma satu orang. Itu, kan, repot.

Bagaimana dengan jumlah laboratorium forensik di Indonesia?

Saat ini di sentra pendidikan pasti punya laboratorium, di kampus-kampus. Di luar itu, kita punya rujukan misalnya untuk kasus toksikologi (efek berbahaya dari senyawa kimia, contoh sianida). Rujukan kerjasamanya dengan Labkesda‎ (Laboratorium Kesehatan Daerah). Di setiap provinsi pasti ada. Sampel toksikologi dikerjakan setelah kita lakukan screening, uji penyaring di sentra pendidikan, misalnya positif karena suatu zat. Maka penanganan lanjutannya baru kita kirim ke sana.

Untuk DNA, ada dua tempat. Ada Laboratorium DNA punya Dokpol (kedokteran kepolisian) sama Laboratorium DNA Lembaga Eijkman (lembaga penelitian biologi molekuler, berselebahan dengan RSCM). Ini cuma ada di Jakarta dan memang cuma dua itu yang mampu dan terakreditasi.

Berapa jumlah ideal dokter forensik dan laboratorium di setiap daerah?

Kalau ideal, seharusnya satu kota atau satu kabupaten punya satu sampel laboratorium. ‎Kalau dokter forensik, idealnya, satu pusat layanan punya empat. Sentra pelayanannya bisa di RSUD, bisa di rumah sakit Bhayangkara.

Apa dampak jumlah minim dokter forensik dan laboratorium terhadap penuntasan kasus pidana?

Kita belum melakukan penelitian sampai ke sana, sih. Tapi kisa bisa bilang secara logika, bahwa misalnya di daerah Papua Barat tidak punya dokter forensik, apakah penanganan kasusnya menjadi tidak terlaksana? Kayaknya, kita tidak pernah dengar bahwa di daerah yang tidak ada dokter forensiknya membuat kasus menjadi terhambat. Karena memang, sementara ini, kita melakukan dengan melatih dokter umum, ada juga model supervisi, dan pengiriman dokter. Selama ini belum ada laporan daerah mana yang kasusnya menjadi tidak terlaksana, atau tidak bisa terlayani.

Misalnya, kasus pemerkosaan di daerah yang belum ada dokter forensiknya seperti di Bengkulu. Apakah pelayanan terhadap kasus itu tak tertangani? Tetap tertangani. Karena kasus korban hidup bisa ditangani dokter umum.

Bagaimana dengan autopsi, Anda mengatakan RSCM hanya mampu melayani 40 persen dari jumlah permintaan?

Memang tidak selalu harus diautopsi, ya. Kalau kami dari sisi dokter di kamar jenazah, dapat mayat, misalnya ada yang kepala pecah—kalau saya ditanya: Apa kepala yang pecah itu dipukul orang atau terpeleset jatuh ataukah dibenturin sendiri? Itu saya tidak tahu. Kita, kan, bukan saksi mata. Karena lukanya juga sama, begitu-begitu saja, antara ditabrak kereta, digetok orang, atau dia lompat dari lantai atas. Jadi bagaimana suatu luka itu terjadi, kita bukan saksi mata, kita tidak bisa menentukan itu.

Jadi, kami sebagai dokter, untuk menentukan penyebab kematiannya harus autopsi. Tapi setelah hal itu, tentu polisi melakukan pemeriksaan TKP dan saksi. Misalnya, disimpulkan ini bunuh diri, kan, tidak ada tersangka yang dituntut. Ketika keluarganya mengajukan keberatan untuk autopsi—karena itu hak yang diatur undang-undang—ya sudah, kalau begitu tidak usah autopsi.

Tapi yang perlu masyarakat pahami adalah bahwa proses autopsi butuh waktu. Kita paham kondisi emosional seseorang, keluarga tentu emosional, sehingga ketika datang kemari, tidak boleh dipegang, dan mau dibawa pulang. Padahal, kan, kita butuh waktu untuk periksa. Polisi juga butuh waktu untuk periksa TKP dan segala macam. Mengolah TKP ini untuk menjelaskan apakah kasus pidana atau bukan. Kalau kasus pidana, sudah pasti autopsi. ‎Ada peraturannya. Keluarga memang berhak mengajukan keberatan untuk autopsi, tapi keberatannya itu tidak harus dikabulkan. Kalau memang ujungnya kasus pidana, ya harus diautopsi.

Apakah semua dokter bisa melakukan visum?

Menurut KUHAP pasal 133 ayat 2, ada tiga jenis pemeriksaan. Yang pertama pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Di pemeriksaan mayat itu, semua dokter umum wajib bisa. Setidaknya, misalnya akhirnya dibutuhkan autopsi, maka ada dua kemungkinan. Pertama, dokter forensik terdekat didatangkan ke tempat itu. ‎Misalkan contohnya, di daerah Nusa Tenggara Timur tidak ada dokter forensik, jadi didatangkan dari Nusa Tenggara Barat, Lombok. Kalau terlalu pelosok, dokter forensiknya tidak bisa bagaimana? Ya dokter umumnya yang harus melakukan itu.

Bagaimana cara kerja memeriksa jenazah bila dokternya sendiri tak bisa di tempat?

Namanya jenazah, semua materi biologis pasti mengalami pembusukan. Pasti mengalami degradasi, rusak. Apakah mempengaruhi hasil autopsi atau tidak? Belum tentu. Ada beberapa luka fisik, oleh kekerasan benda tumpul atau tajam, mungkin masih bisa ketemu. Karena tulang-belulang kita masih bisa mendeteksi bekas kekerasan. Tapi kalau oleh zat racun, itu tidak bisa.

Kalau dokter umum merasa tak sanggup melakukan pemeriksaan, tidak apa-apa. Dokter, kan, harus bekerja sesuai kompetensinya. Kalau dia tidak sanggup, bisa melakukannya di bawah supervisi. Supervisi itu oleh dokter forensik yang tak harus di tempat. Misalkan, kita bisa melalui telepon. Kasusnya dikirim melalui email, lalu emailnya kita bahas, kita supervisi lewat telepon, nanti kamu lakukan begini dan begitu dan sebagainya. Sebetulnya hal itu masih bisa kita lakukan.

Jadi kita harap saat ini dari PDFI, kita bisa memetakan tempat-tempat yang tidak ada dokter forensik agar kita bisa mengatasi hal itu. Alhamdulillah, kayak Kalimantan itu akhirnya semua provinsinya sudah bisa kita cover. Kita juga di institusi dokter forensik, kalau nanti ada lulusan, tolong diinformasikan daerah-daerah mana yang kosong. Kayak Kuningan di Jawa Barat itu, kita kirim ke kota terdekat seperti Bandung atau Garut.

Bila dokter umum sudah bisa melakukan pemeriksaan luar, sesuai level kemampuannya, artinya kita enggak butuh-butuh amat dokter forensik?

Loh, sekarang begini, kita tidak ada yang namanya ego sektoral. Tujuan kita satu: mau bantu masyarakat. Faktanya adalah jumlah dokter forensik sedikit, mau tidak mau, itu harus dilakukan (melibatkan dokter umum). Dulu contohnya ketika dokter kebidanan jumlahnya masih sedikit, diperbanyak lulusan bidan—karena lebih mudah mencetak bidan daripada mencetak dokter spesialis kebidanan. Bidan diberi pelatihan tentang USG dan segala macam. Itu tujuannya agar semua masyarakat bisa merasakan. Nah, di dokter forensik, tugas kita itu sebenarnya tidak cuma di level bedah mayatnya saja. Sebetulnya di mana pun, dokter forensik itu bekerja mulai dari TKP (tempat kejadian perkara) sampai ke persidangan.

Dan umumnya jarang dokter forensik hadir di tempat kejadian perkara, biasanya hanya di rumah sakit?

Betul. Karena jumlahnya. Jadi kita standby di kamar jenazah rumah sakit. Semua kasus kita harapkan bisa terpusat di situ. Sedangkan di TKP, ya kita serahkan ke tim Polres atau Polsek. Tapi sebetulnya, kalau kita pakai cara idealnya, pada saat di TKP, tim laboratorium forensik datang, tim identifikasi datang, dokter forensik datang. Laboratorium itu untuk pemeriksaan, identifikasi untuk sidik jari, forensik terkait semua materi biologis. Kemudian baru dievakuasi ke kamar jenazah.

Setelah di kamar jenazah, dokter forensik memeriksa lagi lebih detail, baru keluar visum et repertum. ‎Visum et repertum diberikan kepada kepolisian. Bila dibutuhkan, kita memberikan keterangan lagi, BAP lagi. Sampai ke sidang pengadilan. Jika sidang membutuhkan keterangan lebih lanjut, kita bisa dipanggil.

Seperti apa contoh pembuktian dari pemeriksaan yang ditemukan dokter forensik dan hubungannya dengan kasus?

‎Kita ada pembagiannya. Sering kali orang salah kaprah dengan cara kematian dan sebab kematian. Pembunuhan, misalnya. Pembunuhan itu adalah cara kematian. Sebab kematian pada jenis kekerasannya, apakah kekerasan tumpul, kekerasan tajam, kekerasan senjata api, atau keracunan? Cara kematian dibagi dua: ada wajar dan tidak wajar. Wajar itu kalau orang sakit, meninggal itu wajar. Kalau tidak wajar seperti pembunuhan, bunuh diri, dan kecelakaan.

Nah, bagaimana menetapkan cara kematian itu?‎ Dokter forensik, kan, selama ini cuma berhubungan dengan jenazahnya. Kita temukan ada di literatur dan jurnal, ada luka-luka yang lazim ditemukan pada suatu kasus. Contohnya, kasus pembunuhan dengan senjata tajam, itu lazimnya luka-lukanya bisa tersebar dan juga ada luka akibat tangkisan. Biasanya terletak di daerah punggung tangan atau lengan sisi belakang. Tapi kalau itu semua muncul pada saat memeriksa jenazah, kita bisa memberi petunjuk pada polisi. Bahwa cara kematiannya pembunuhan, ada perlawanan dengan menangkis dan sebagainya.

Tapi itu tidak selalu ada. Maka kita maksimum pada sebab kematiannya. Sebab kematiannya adalah kekerasan tajam di sini dan segala macam. Kekerasan tajam itu ‎apakah berarti akibat senjata tajam? Itu belum tentu. Kekerasan tumpul juga bukan selalu akibat benda tumpul. Contohnya, pisau benda tajam. Tapi kalau orang itu digetok pakai gagang pisau, lukanya memar, sifat lukanya adalah kekerasan tumpul.

Karena dokter forensik bukan saksi mata, maka kita hanya menyimpulkan jenis sebab kekerasan. Kita selalu mengatakan kekerasan tumpul, bukan benda tumpul. Kapak itu benda tajam. Tapi kalau orang digetok pakai ganggang kapak, kepalanya retak, nah patah tulang yang bentuknya tidak beraturan itu bersifat kekerasan tumpul. Maka kita akan bilang penyebab kematiannya adalah kekerasan tumpul. Tapi kalau penyidik bilang menemukan benda penyebab kekerasan itu adalah kapak, ya bisa-bisa saja.

Apakah dokter forensik di sini menyelidiki sampai jejak DNA?

Saat ini kita sedang mengarah ke sana. Dalam artian sudah mulai sering kita lakukan pemeriksaan DNA. Kendalanya, pemeriksaan DNA itu mahal, sampai Rp7,5 juta—itu baru biaya laboratoriumnya saja. Totalnya, antara Rp10 juta hingga Rp15 juta. Itu satu kali pemeriksaan.

Karena mahal, kita biasanya cukup selektif. Kalau masih cukup abu-abu untuk menetapkan tersangka, baru kita periksa DNA. Karena penanda identifikasi yang primer untuk seseorang itu tidak hanya DNA, kita bisa dari sidik jari—biayanya lebih murah. Polisi bisa melakukan itu. Apalagi sekarang sudah ada scan digital (KTP elektronik). Itu lebih memudahkan lagi.

Baca juga artikel terkait KEDOKTERAN atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Indepth
Reporter: Arbi Sumandoyo, Mawa Kresna & Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam