tirto.id - Ida Bagus Gede Surya Putra Pidada mulai menempuh pendidikan spesialisasi forensik di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, pada 1998. Itu setahun setelah ia resmi menjadi dokter umum di kampus yang sama. Tiga tahun kemudian ia lulus dari studi spesialis tersebut.
Pilihan Surya didorong oleh permintaan R. Soegandhi, dokter pendamping sekaligus dokter senior di kampusnya saat ia magang sebagai dokter muda.
“Saya ditawari jadi staf forensik. Sama guru, kan, saya manut, pokoknya siap dan terima kasih,” kata Surya di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Senin (30/1).
Surya kini menjabat Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UGM. Sejak 2001, ia juga aktif sebagai salah satu dokter yang bertugas di Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Sardjito.
Menurut Surya, sewaktu masih mahasiswa, sedikit sekali lulusan kedokteran yang berminat ke studi forensik. Wajar, seniornya meminta ia menempuh pendidikan program spesialis ini. Bahkan, selama tiga tahun setelah 1998, tak ada mahasiswa baru mendaftar di pendidikan spesialis tersebut. Baru sejak 2002, ada satu atau dua mahasiswa di program itu, yang sudah digelar UGM sejak 1975.
Kini kondisinya belum berubah. Pada tahun lalu, misalnya, hanya ada dua lulusan pendidikan spesialis forensik.
“Saat ini kami masih punya lima mahasiswa di spesialis forensik,” ujar Surya. “Rata-rata sudah bertugas di tempat asalnya, jarang sekali yang mengambil pendidikan spesialis ini secara reguler.”
Surya mencatat, lima mahasiswa itu ialah staf rumah sakit di Batam, Riau, Solo, Kalimantan Selatan, dan calon staf baru di Rumah Sakit Sardjito.
Alasan mereka karena tuntutan karier, baik sebagai pegawai di rumah sakit swasta maupun aparatur sipil negara di bawah naungan Kementerian Kesehatan atau Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Ada juga yang masuk dengan alasan minat tetapi sangat minim. Surya mencontohkan, di antara sembilan anggota tim dokter forensik di Sardjito, hanya ada dua yang menempuh secara reguler atau tanpa dorongan ikatan dinas.
Pada penerimaan Januari 2017, hanya ada satu mahasiswa yang mendaftar pendidikan spesialis forensik. Ini berbeda dengan bidang lain yang banyak peminat seperti spesialis ilmu anestesiologi dan reanimasi (13 mahasiswa), spesialis ilmu bedah (12), atau spesialis ilmu penyakit dalam (13).
Kondisi yang digambarkan Surya tak hanya dominan di UGM. Di Universitas Indonesia, Depok, sama saja. Program studi spesialis forensik sepi peminat. Oktavinda Safitry, Kepala program studi, menuturkan mereka hanya menerima empat mahasiswa pada 2016. Tahun sebelumnya hanya tiga.
“Daya tampung kita itu enam orang, tapi itu pun tidak pernah penuh,” ujarnya di Kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (27/01).
Selain UGM dan UI, kampus-kampus yang membuka program spesialis, termasuk forensik, di Indonesia adalah Univesitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Padjadjaran (Bandung), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Airlangga (Surabaya), dan Universitas Hasanuddin (Makassar).
Untuk menambah daya tarik studi forensik, sejak 2010 UGM memberikan kesempatan pemilih program spesialis forensik menempuh pendidikan dual degree. Dengan hanya tiga tahun masa belajar, para mahasiswa bisa memiliki gelar spesialis forensik sekaligus magister kesehatan. Ia cuma perlu menambah biaya Rp500 ribu per semester.
“Biaya spesialis forensik di UGM termurah (dibanding program spesialis lain). Kini hanya Rp8 juta per semester atau Rp8,5 juta untuk dual degree. Itu baru saja naik tahun kemarin, sebelumnya cuma Rp7 juta per semester dan Rp7,5 untuk yang dual degree,” kata Surya.
Biaya ini tak jauh beda dengan UI. Untuk program reguler, biaya kuliah di kampus Depok itu hanya Rp7,5 juta per semester, sama dengan biaya spesialis THT dan Jantung.
Untuk masa studi, UI serupa dengan UGM: seorang dokter bisa lulus spesialis membutuhkan waktu tiga tahun. Namun, di beberapa tempat lain, ada yang sampai 3,5–4 tahun.
“Ini, kan, juga tergantung pada kasus yang ditangani. Jumlah kasus di sini banyak, jadi bisa lebih cepat. Daerah lain mungkin kasusnya tidak banyak,” ungkap Oktavinda.
Ketakutan menjadi Dokter Miskin
Ada anggapan bahwa menjalani profesi dokter forensik bakal berpendapatan minim.
“Dibandingkan spesialisasi lain, jujur saja, kesejahteraan kurang,” kata Surya. Belum lagi, “Image-nya di masyarakat: wah, dokter jenazah!”
Dokter forensik macam Surya agak menahan iri dengan nasib rekannya di spesialis bidang lain. Ahli forensik terbilang tercebur di lahan “paling kering” di antara semua lini spesialis kedokteran.
Mereka hanya memperoleh gaji dari bekerja di rumah sakit karena tak bisa mencari pendapatan tambahan dengan membuka praktek sebagai dokter umum di rumahnya bagi pasien peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan yang sekarang jumlahnya dominan.
“Kami bisa buka praktik dokter umum di rumah, tapi tidak bisa untuk pasien BPJS. Padahal nanti (tahun 2019) semua pasien, kan, wajib ikut BPJS,” kata Surya.
Pengakuan serupa diungkapkan oleh Arfi Syamsun, dokter forensik di Nusa Tenggara Barat. Minimnya peminat pada spesialis forensik lantaran masalah pendapatan. Sepengalamannya, dokter-dokter baru berhitung jika mengambil spesialis forensik lantaran tak sebanding antara biaya kuliah dan pendapatan.
“Saya dosen di Unram (Universitas Mataram). Saya kebetulan di kementerian pendidikan tinggi, kan banyak program penelitian dan pengabdian. Saya sering dapat dana itu,” ucap Arfi.
Pemerintah sebenarnya telah menempuh langkah maju dengan mewajibkan setiap rumah sakit kelas B, terutama RSUD di level kabupaten atau kota, untuk menyediakan layanan forensik. Tapi aturan ini belum solutif.
Surya mencontohkan, RS Jogja, sebagai rumah sakit kelas B di Kota Yogyakarta, telah membuka lowongan bagi pendaftaran dokter forensik pada 2015. Hingga sekarang, kata Surya, lowongan itu tak terisi. Hal serupa terjadi di RS Akademik UGM, berlokasi di Kabupaten Sleman.
Kesempatan dalam Kesempitan
Peminat minim di spesialis forensik sebenarnya membuka peluang bagi para dokter yang ingin cepat mendapat tempat kerja. Sebab, sebagian besar rumah sakit kelas B di Indonesia masih belum memiliki dokter spesialis forensik.
Di UI misalnya, para mahasiswa yang sudah mendekati lulus biasanya langsung dipesan oleh rumah sakit. Ade Firmansyah Sugiharto, Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia yang juga dosen di spesialis forensik UI, mengatakan ia kerap ditanyai sejumlah rumah sakit mengenai ketersediaan calon dokter forensik.
“Ada rumah sakit swasta di Jakarta hubungi saya, 'Sudah ada calon yang mau lulus enggak?' Mereka mau langsung ambil begitu lulus,” ujar Ade.
Selain kemudahan mendapatkan tempat bekerja, dokter forensik sebenarnya memiliki jatah Surat Izin Praktek (SIP) maksimal di tiga tempat, sama seperti spesialis lain. Sayangnya jarang rumah sakit induk mengizinkan dokter forensiknya berpraktik di tempat lain.
Salah satunya di Rumah Sakit Sardjito. Pertimbangannya, kata Surya, lebih ke urusan pasar mengingat sedikit jumlah pemakai layanan instalasi kedokteran forensik. “Di sini saja kurang, masak dikasih ke tempat (rumah sakit) lain yang jaraknya berdekatan,” kata Surya.
Ade menegaskan, kebutuhan tinggi seharusnya dibaca oleh para dokter muda sebagai peluang. Menurutnya, daripada kesulitan mendapatkan tempat praktik di bidang lain yang sudah membeludak, lebih baik menjadi spesialis forensik yang jelas masih sangat dibutuhkan.
“Soal pendapatan itu soal rezeki. Rezeki itu sudah ada yang mengatur. Enggak bakal miskinlah, toh buktinya saya juga hidup tercukupi,” tegas Ade.
Penulis: Addi M Idhom & Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam