Menuju konten utama

Jumlah Dokter Forensik di Indonesia Cuma 300 Orang

Ade menjelaskan, minimnya jumlah autopsi yang dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum, disebabkan karena pihak keluarga yang tidak memberi izin pembedahan.

Jumlah Dokter Forensik di Indonesia Cuma 300 Orang
(Ilustrasi) petugas memindahkan jenazah terduga teroris dari mobil ke ruang forensik di RS Bhayangkara R Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta. Pihak kepolisian akan melakukan autopsi ketiga jenazah terduga teroris yakni Omen, Irwan, dan Helmi yang tewas dalam baku tembak dengan Densus 88 Antiteror Polri di Tangerang Selatan. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Jumlah dokter ahli forensik di Indonesia baru mencapai 300 orang yang tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia.

"Dokter hanya sekitar 300 di seluruh Indonesia, di 34 provinsi 514 kabupaten/kota," Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia, Ade Firmansyah Sugiharto, di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (19/1/2017).

Dokter forensik, kata Ade, dibutuhkan untuk melakukan autopsi, baik itu pemeriksaan luar atau bedah mayat, yang biasa digunakan untuk menjelaskan penyebab kematian seseorang yang tidak wajar.

Ade juga menjelaskan, mengingat minimnya jumlah dokter forensik di Indonesia, beberapa kasus pembunuhan yang diselidiki kepolisian akhirnya melibatkan dokter lain yang juga berkompeten untuk mengganti dokter forensik.

Ketentuan tersebut, kata dia, diatur dalam Undang-Undang Kesehatan Pasal 122 ayat 2 yang memungkinkan dokter lain melakukan bedah mayat apabila tidak ada dokter ahli forensik di suatu daerah.

Terkait dengan itu, pakar hukum pidana, Jamin Ginting mengatakan, undang-undang tersebut memberi kesempatan kepada dokter lain untuk melakukan bedah forensik.

"Ada masalah dengan dokter forensik, karena tidak cukup. Sehingga undang-undang ini memberi kesempatan apabila di daerah terjadi tindak pidana dan tidak ada dokter forensik maka boleh diberikan kesempatan pada dokter lain untuk melakukan bedah forensik," kata Jamin Ginting.

Jamin menjelaskan bahwa pada Pasal 122 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa pemerintah melalui pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan dokter forensik, khususnya untuk kepentingan penyidikan tindak pidana.

Ketersediaan dokter ahli forensik juga berkorelasi dengan jumlah permintaan bedah mayat dalam kasus tindak pidana pembunuhan.

Selain itu, Jamin juga menyoroti sikap masyarakat yang masih enggan mengizinkan mayat anggota keluarganya digunakan untuk autopsi. Hal tersebut menurutnya akan menjadi kendala dalam melakukan autopsi demi kepentingan peradilan.

"Budaya masyarakat yang belum sadar hukum, dan kurangnya dukungan dari pihak keluarga. Pada umumnya keluarga juga keberatan kalau mayat (anggota keluarganya) diobrak-abrik oleh dokter forensik," kata ujar Jamin.

Senada dengan hal tersebut, Ade juga mengatakan bahwa minimnya jumlah autopsi yang dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum, disebabkan oleh pihak keluarga yang tidak memberi izin pembedahan.

Ade mencontohkan, dalam setahun Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengautopsi sekitar 400 mayat dari 4.000 kematian tidak wajar. "Jadi hanya sekitar 40 persennya yang diautopsi," kata Ade.

Baca juga artikel terkait AHLI FORENSIK atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto