tirto.id - Sebelum pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa meletus, PKI di Sumatra Barat juga tengah bersiap untuk gerakan yang sama. Di sana, tak hanya orang-orang Minang yang jadi anggota Sarekat Rakjat (SR) yang tahu pergerakan tersebut, tapi juga dua orang Minahasa yang bekerja sebagai serdadu kolonial. Mereka adalah Rumuat dan Pontoh.
Pada 11 November 1926, seperti disebut Hasan Raid dalam Pergulatan Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid (2001:20), di Silungkang, diadakan rapat.
“Dalam rapat ini hadir juga Kopral Rumuat dari Sawahlunto. Ia melaporkan bahwa Veldpolitie (polisi lapangan, semacam Brimob) Sawahlunto sedia ikut ambil bagian dalam pemberontakan,” tulisnya.
Menurut Nawir Said dalam Pemberontakan PKI di Silungkang 1927, Sumatra Barat (1963:19) Rumuat yang datang dari Sawalunto itu adalah orang Manado. Sementara Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 (2005:49) menyebut bahwa Kopral Rumuat telah dipecat dari dinas tentara pada 3 Juli 1926 karena dituduh condong ke kiri yang kemudian menjadi propagandis komunis di Sumatra Barat. Namun, Sinar Sumatra (07/09/1927) menyebut Johannes Rumuat adalah komandan pos polisi kelas tiga Veldpolitie di Sawahlunto.
Sementara Pontoh, seperti disebut Audrey Kahin (2005:50), bersama kawan-kawannya berencana merebut markas tentara dan penjara di Sawahlunto untuk membebaskan orang pergerakan yang ditangkap. Namun rencana itu tak terlaksana karena Pontoh dan Rumuat serta dua puluhan serdadu lainnya sudah ditahan sebelum pemberontakan meletus. Akhirnya orang-orang Minang yang bukan militer yang melakukan pemberontakan bisa digulung dengan mudah.
Masih menurut koran berbahasa melayu, Sinar Sumatra (07/09/1927), Johannes Rumuat yang kala itu berusia 29 tahun, dilaporkan akan dibuang ke Boven Digoel bersama tokoh pemberontakan komunis Minang lainnya.
Nasib Pontoh lain lagi. Dalam laporan Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (25/08/1927) disebutkan, Pontoh yang pernah menjadi komandan pos polisi itu dihukum penjara selama 10 tahun. Para agen bawahannya yang terlibat pemberontakan antara lain Djeladjela, Tioepa, Kemhouw, Hisahoe, dan Ripo. Mereka masing-masing dihukum penjara selama 6 tahun. Pontoh setidaknya punya 12 pengikut yang dihukum karena pemberontakan itu.
Di Jawa, para serdadu KNIL yang dianggap komunis juga terlibat pemberontakan. Koran De Koerier (03/11/1927) melaporkan soal hubungan antara dokter Tjipto Mangunkusumo dengan serdadu-serdadu yang ingin berontak. Koran itu menyebut Ganda dan Kodongan, keduanya sersan KNIL berdarah Minahasa.
Kedua sersan itu, seperti disebut surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (04/10/1927) dan Deli Courant (10/10/1927), berhubungan dengan Tjipto setelah Soeminah—yang dicap komunis—menunjukan rumah Tjipto kepada kedua sersan Minahasa itu.
Menurut M Balfas dalam Dr Tjipto Mangoenkoesoemo Demokrat Sedjati (1952:103), pada juli 1927 dokter Tjipto didatangi seorang kopral KNIL asal Minahasa. Dia bercerita bahwa dirinya dan kawan-kawannya berencana merebut Pijrotechnische Werkplaats (tempat persediaan peluru) untuk memakainya dalam pemberontakan. Sebelum pergi untuk menemui anak istrinya di Jatinegara, kopral itu diberi uang 10 Gulden oleh Tjipto. Tak disebutkan siapa nama kopral tersebut.
Sementara Minahasa Courant (1 Oktober 1927) menyebutkan bahwa dua orang serdadu KNIL bernama Wenas dan Woentoe, berencana merebut Pijrotechnische Werkplaats. Keduanya berasal dari Minahasa dan berdinas di Batalion Infanteri ke-4 Cimahi.
Woentoe bersama Tombeng dan serdadu yang kabur dari Semarang dianggap sebagai pemimpin pemberontakan. Disebutkan pula bahwa sebelum pemberontakan, Woentoe berada di kamp kavaleri untuk mengadakan pertemuan.
Pemberontakan tak hanya melibatkan para serdadu KNIL berdarah Minahasa, tapi juga para yang berasal dari Jawa. Selain itu, pemberontakan juga tak hanya diikuti oleh serdadu reguler KNIL, melainkan diikuti pula oleh Legiun Kesunanan Solo.
Dalam sebuah pertemuan, Woentoe menyebutkan bahwa pemberontakan akan dilaksanakan pada malam 17-18 Juli 1927. Namun rencana itu gagal, Wenas dan Woentoe pun disikat. De Locomotief (12/12/1927) menyebut keduanya dituntut hukuman mati oleh mahkamah militer di Cimahi. Tapi seperti diberitakan De Kourier (10/03/1928) hukuman tersebut diubah menjadi kurungan: Woentoe 19 tahun dan Wenas 20 tahun.
Dalam sejarah kemiliteran Belanda di Indonesia, para serdadu yang sering berontak banyak berasal dari Minahasa. Selain pemberontakan tahun 1926-1927, ada juga pemberontakan pada 14 Februari 1946 dalam Peristiwa Merah Putih dan Peristiwa 3 Mei 1950.
Ini semua belum termasuk desersi yang dilakukan para serdadu asal Minahasa yang kabur dari kesatuan tentara Belanda untuk bergabung dengan Republik di Jawa. Desertir terkenal adalah Letnan Adolf Lembong yang kemudian gugur di Bandung ketika APRA menyerang kota tersebut. Meski demikian, amuk revolusi sempat membuat orang Minahasa jadi sasaran balas dendam orang-orang yang menuding mereka sebagai antek Belanda.Editor: Irfan Teguh