tirto.id - Pemberontakan pertama Partai Komunis Indonesia (PKI) meletus 90 tahun silam, tepatnya pada 13 November 1926. Semenjak peristiwa itu, komunis begitu meresahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka, PKI dua kali melakukan pemberontakan yakni pada 1948 dan 1965.
Terhitung sejak 12 Maret 1966, PKI pun dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia. Segala upaya dilakukan oleh pemerintah, juga parlemen, agar ideologi yang dulu dibawa oleh Henk Sneevliet ke Indonesia itu tak bisa hidup lagi. Tak cukup dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia (TAP MPRS) Nomor XXV/1966, ancaman kepada penyebarnya pun akan masuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) 219, 220 dan 201 sedang dibahas oleh DPR membahas soal itu. Pasal 219 ayat (1) tersebut berbunyi, “Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Maxisme-Leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun.” Dalam ayat berikutnya, jika maksudnya hendak mengubah Pancasila sebagai dasar negara, akan ada sangsi penjara 7 (tujuh) tahun.
Mereka yang membagikan atau menyebarkan tulisan melalui sosial media terancam bisa dikenai Pasal 219 tersebut. Namun, ada pengecualian, dalam ayat 6 pasal itu menyebut, “tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.”
Komunisme ternyata masih dianggap sebagai ancaman meski PKI dan kawan-kawannya sudah lama dibabat. Pemerintah rupanya masih tak bisa menerima, meski komunisme kini sudah bukan lagi ideologi populer dunia.
Jeratan Pasal Karet
Komunis bukan cuma masalah Republik Indonesia era Orde Baru pimpinan Soeharto, tapi juga pemerintah kolonial. Tak ada partai seberani PKI di masa pergerakan nasional. Tanpa persetujuan seluruh anggota dan pendirinya, petinggi PKI pada Desember 1925, nekat mengambil keputusan dalam Konferensi Prambanan untuk memberontak.
Pemberontakan yang jauh dari perhitungan matang itu dilancarkan pada 13 November 1926, di beberapa kota di Jawa. Sasaran amuk pemberontak adalah pejabat Belanda dan polisi. Namun, pemberontakan itu bisa digulung oleh tentara dan polisi dalam waktu singkat. Para pemberontak kemudian diciduk sehingga menyebabkan penjara penuh. Kebanyakan akhirnya hanya sebentar hidup di balik jeruji besi. Sementara hampir seribu orang dibuang ke Boven Digoel. Hanya mereka yang terlibat pembunuhan dihukum mati, seperti Egom, Dirja dan Hasanbasri dari Ciamis. Juga Haji Sukri dan lima orang kawannya dari Pandeglang.
Pada awal 1927, di Silungkang, juga meletus pemberontakan PKI. Menurut Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan Ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005), gejolak di Sumatera Barat sudah terasa sebelum 1927.
Pemerintah kolonial pun kemudian mengeluarkan pasal-pasal agar mudah menjerat orang-orang yang berpotensi melahirkan perlawanan. Pasal-pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya itu dikenal sebagai pasal karet. Dalam praktiknya tak hanya akan menjerat kaum komunis, tapi juga kaum pergerakan nasionalis lainnya.
Menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan (2008), Pasal-pasal tersebut mengandung kata-kata yang dapat ditafsirkan secara luas, karena maksudnya tidak dinyatakan secara positif. Tafsiran yang luas itulah yang digunakan untuk menjerat orang-orang dari pergerakan nasional.
Salah satu yang terkenal adalah Pasal 153 yang berbunyi: ”barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, membuat anjuran untuk mengganggu keamanan atau menentang kekuasaan pemerintah Belanda atau Hindia Belanda, dapat dihukum penjara maksimum 6 (enam) tahun dan denda Rp300”.
Membuat onar atau mengganggu keamanan adalah kejahatan di masa kolonial. Pemerintah kolonial, melalui Pasal 169 KUHP kolonial, juga mengancam penjara bagi mereka yang mengambil bagian dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan. Banyak organisasi pergerakan dianggap organisasi kejahatan.
Menurut Slamet, jika pasal-pasal itu tidak kuat, pemerintah menggunakan hak luar biasa yang ada pada Gubernur Jenderal, exorbitante rechten, yakni penginterniran atau pengekterniran terhadap siapapun yang berbahaya untuk kepentingan umum.
Belum genap setahun pemberontakan PKI 1926 berlalu, pada 25 September 1927, Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid Djojohadiningrat ditangkap karena dianggap dekat dengan PKI. Meski Hatta sendiri beda pandangan dengan pendiri PKI Semaun, namanya dikait-kaitkan dengan Semaun.
Hatta dianggap menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Namun, setelah membacakan pleidoinya yang berjudul Indonesia Merdeka, Hatta dibebaskan. Nasibnya jelas lebih beruntung dari Sukarno yang harus mendekam di penjara karena kasus hukum yang sama.
“Umpamanya di Belanda ada pasal karet seperti di Hindia Belanda pada waktu itu, tentu empat pemimpin itu tidak dapat dilepas dari hukuman berhubungan dengan rekbaar pasal-pasal karet tadi,” tulis Susanto Tirtoprojo dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1982).
Tuduhan atas Hatta dan kawan-kawannya itu tidak terbukti. Ia bebas dari hukumn penjara. Namun, setelah Hatta kembali ke Indonesia, Hatta mengalami pembuangan sejak 1933. Pembuangan Hatta berakhir di 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda.
Membatasi Bacaan
Komunis pengaruhnya dianggap muncul dalam “Pemberontakan Kapal Tujuh” atau “Pemberontakan Pelaut Zeven Provincien”. Kepada militer pribuminya untuk menghindari kerusuhan yang mengganggu ketenangan pejabat Belanda, maka pada 1932, seperti dimuat dalam Bintang Timoer edisi 7 Juni 1932, pemerintah mengeluarkan daftar bacaan terlarang kepada para anggota militer Hindia Belanda. Baik buku maupun surat kabar. Bacaan-bacaan itu antara lain: Persatoean Indonesia, Simpaj, Sediotomo, Indonesia Moeda, Garoeda, Garoeda Semeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta, Darmo Kondo, Soeara Merdeka, Daulat Ra’jat. Pembatasan bacaan pun tak hanya terjadi di zaman itu. Di masa sekarang pun pelarangan buku menjadi hal biasa.
Jika buku soal komunis sering disita dan tidak bisa dengan mudah diperoleh mahasiswa atau peminat soal komunisme, maka pengetahuan dan pemikiran sebagai kajian ilmu pengetahuan akan menjadi dangkal. Sebuah kajian tentu saja membutuhkan referensi bacaan, baik berupa buku, artikel di dunia maya dan lain sebagainya. Ketika sebuah kajian dalam ilmu pengetahuan dibatasi, diberangus atau ditekan, maka ilmu pengetahuan tidak akan berkembang. Sebenarnya ini ancaman juga bagi akademisi ilmu-ilmu sosial, ekonomi dan sejarah.
R-KUHP Pasal 219, ayat 6 bunyinya, “tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme untuk kepentingan ilmu pengetahuan.” Ayat ini terdengar indah. Namun, belum tentu semua yang bicara soal komunis akan dianggap sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Bisa jadi dalam praktiknya akan dimaknai politis. Orang yang bicara soal komunis, apapun maksudnya bisa masuk penjara.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti