Menuju konten utama
Rocky Gerung

"Ketakutan Muncul Negara Komunis Sebenarnya Sudah Tak Ada"

DPR memasukkan komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagai paham terlarang dalam revisi R-KUHP. Bagi setiap orang yang menyebarkan ajaran tersebut di muka publik akan diganjar dengan hukuman pidana 4 tahun penjara. Sedangkan orang yang menyebarkan paham tersebut dengan tujuan mengganti dasar negara akan dikenai sanksi pidana 7 tahun penjara.

Rocky Gerung [Foto/perspektifbaru.com]

tirto.id - Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia menilai, munculnya sanksi pidana yang diatur dalam pasal 119 sampai 120 revisi KUHP itu hanyalah beban politik peristiwa 1965. Padahal ketakutan ideologi negara diganti dengan komunisme sudah tidak beralasan. Dia menduga kemunculan pasal itu hanyalah kepentingan segelintir orang yang tidak ingin peristiwa 1965 diungkap.

“Jadi palsu sebenarnya. Ketakutan itu palsu. Bisa dipisah kok itu. Kalau you masih mau '65, oke. Tapi sebut itu sebagai konfrontasi antara tentara dan komunisme sebagai dua kekuatan politik,” tegas Rocky saat ditemui Mawa Kresna dari tirto.id, di Kampus UI, Depok, Jumat (11/11/2016).

Lalu apa yang akan terjadi jika pasal komunisme disahkan? Bagaimana nasib kebebasan berekspresi? Bagaimana nasib Hak Asasi Manusia? Bagaimana nasib pendidikan di Indonesia? Simak wawancaranya berikut ini:

Revisi KUHP melarang komunisme, Marxisme, Leninisme disebarluaskan di depan publik. Ada sanksi pidana bagi yang melakukannya. Bagaimana Anda melihat ini?

Sebelum menjawab, kita lihat latar belakangnya dulu. Kenapa ini terjadi? Ini karena diskursus intelektual yang buruk. Karena sejak awal, rancangan ini disembunyikan dari publik. Seolah-olah dicicil agar tidak masuk dalam perdebatan akademis dan filosofis.

Kenapa begitu? Kita nggak tahu kenapa begitu. Tapi kita bisa katakan, bahwa dia begitu. Artinya dari awal, ada crime yang ingin diatur secara absolut di situ. Pepatah mengatakan, dalam setiap penundaan selalu ada kejahatan. Jadi menunda pembicaraan publik, berarti menyembunyikan kejahatan di dalam KUHP. Saya melihat secara fundamental seperti itu.

Dari segi hukum, disebut hukum kalau mereka yang akan terkena pasal-pasal itu dilibatkan di dalam pembahasan. Itu doktrin filsafat hukum yang pertama. Kedua, hukum adalah dokumen publik. Jadi publik imperatif di dalam setiap pembahasan. Ketiga, ada suasana untuk mengkompilasi seluruh kejahatan, tetapi punishment-nya disangkutkan dengan ideologi dan moral.

Bukan rasionalitas crime yang hendak diatur, tapi value yang lain yang hendak diatur. Sebab crime itu urusan rasional. You bikin kejahatan, gua hukum. Tapi sekarang dimasukkan [moral non-hukum]. Misalnya sekarang, bukan sekadar komunisme, soal tubuh perempuan diatur di situ. Itu berarti ada moral non-hukum yang diatur di situ. Moral apa itu? Ya moral kultural. Ini moral kultural dan moral agama. Jadi KUHP itu sangat berbekas moral keagamaannya.

Kenapa komunisme dilarang? Diskursusnya bisa didebat. Tapi di dalam komunisme ada soal ateisme. Itu yang menjadikannya masuk ujian moral keagamaan. Dengan kata lain, keterbukaan ruang publik hanya untuk menyatakan public reason, akal publik, itu tidak diterima di dalam perdebatan intelektual di dalam KUHP itu.

Jadi dari awal, origin KUHP itu menolak public reason, itu bahayanya. Akibatnya, seluruh aturan di dalam KUHP akan diatur oleh ideologi yang sebenarnya berbasis kecemasan. Untuk mendeteksi kejahatan itu, pertama berdasarkan sense moral dan agama. Itu berarti KUHP yang sifatnya publik, dibawa ke dalam doktrin privat.

Kalau dilihat sekarang kenapa jadi begitu? Itu karena pemerintah sibuk mengkonsolidasi kekuasaan, sehingga untuk menyelenggarakan democratic value tidak jalan. Jokowi ke sana-sini, tapi yang begini tidak disorot. Padahal ini yang akan mengatur relasi warga negara. Jadi, background imperatif moral yang hendak dimasukkan ke dalam hukum pidana. Kedua, kegagalan pemerintah untuk menyosialisasikan citizenship.

Dalam konteks keilmuan, apa yang bermasalah?

Ya filosofi dasar dari KUHP.

Soal komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagai gagasan, seolah menjadi problem besar buat Indonesia?

Ini karena orang di DPR nggak ngerti apa itu Marxisme. Yang mereka tahu adalah momok '65 (Gerakan 30 September 1965). Padahal Marxisme sudah lewat dari itu. Itu '65 peristiwa politik, ya sudah. Tapi Marxisme sebagai ide tumbuh terus, sampai ditafsirkan oleh post modernisme. Bahkan misalnya jika saya bilang saya adalah seorang environmentalis, maka saya mesti ambil bagian dari Marxisme soal eksploitasi nature. Tapi kalau saya bilang eksploitasi, itu DPR akan bilang berarti itu eksploitasi kelas. Bukan, ini eksploitasi alam karena disparitas antarmanusia.

Jadi, kemampuan DPR untuk berpikir lebih maksimal tidak bisa terlaksana karena tadi, ada baggage, tong sampah besar yang dia tenteng ke mana-mana yang disebut tragedi '65.

Apa publik juga menentengnya?

Ya akhirnya publik di Indonesia terkena hegemoni itu. Publik dibikin bodoh juga, karena kurikulum untuk membahas hal itu kurang dan forumnya nggak ada. Kan orang takut. Padahal dunia sudah mengalami pluralisasi berkali-kali. Jadi itu kritiknya.

Kalau secara teknis, kan seharusnya setiap undang-undang lolos filosofi dasarnya. Konsep-konsep dasarnya kan bersih. Baru masuk pada tahap uji konsistensi. Apakah koheren susunan pasalnya? Baru dibuat draf akademik.

Apa sebenarnya komunisme dan Marxisme sebagai gagasan?

Sebagai gagasan dasar, Marxisme adalah social justice. Jadi kalau mahasiswa, harusnya kita belajar pada seluruh perpustakaan Marxisme, terutama young Marxis yang berupaya menjelaskan bahwa kesetaraan manusia adalah fundamen dari kehidupan publik. Marxisme yang semacam ini, kemudian berubah menjadi Marxisme yang disebut ortodoks ketika diterjemahkan oleh Stalin.

Stalin kemudian menjadikan Marxisme sebagai official ideologi dari satu partai politik. Waktu Stalin melakukan itu, seluruh filsuf barat yang mulanya bersimpati pada partai komunis, mulai berhenti satu-satu. Sartre mundur. Albert Camus jadi proponen dari filosofi itu. Akhirnya [yang kontra-Stalinisme] mengorganisir diri dalam satu gerakan yang disebut The New Left yang waktu itu justru tumbuh di Amerika Serikat. Terutama di kampus liberal seperti The University of California, Los Angeles (UCLA).

Marxisme hidup di situ sebagai pikiran akademis. Yang tertinggal di Eropa hanya menjadi nomenklatur partai. Itu yang menerangkan, kenapa kita di sini nggak sanggup ambil bagian dalam mempelajari filosofinya untuk dibicarakan dalam masyarakat akademis kita.

Padahal Pancasila kita mengandung semacam tensi Marxisme yang ada pada sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu betul-betul versi Marxisme. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa kita bilang ada unsur dari egalite-freternite Revolusi Perancis. Bahkan Revolusi Perancis paralel dengan ide-ide kerakyatan. Apa dasarnya? Dasarnya solidaritas. Marxisme is about solidaritas.

Seluruh kejernihan pikiran itu dibatalkan hanya karena ketakutan untuk membongkar sejarah. Kenapa Marxisme gagal dievakuasi dari '65 ke sini, karena pelaku-pelaku sejarah '65 merasa, kalau itu dibuka maka ada soal-soal personal. Jadi palsu sebenarnya. Ketakutan itu palsu. Bisa dipisah kok itu. Kalau you masih mau '65, oke. Tapi sebut itu sebagai konfrontasi antara tentara dan komunisme sebagai dua kekuatan politik. Tapi idenya, ide tentang keadilan sosial jangan dihambat dong. Kalau kita ngomong keadilan sosial, kita pakai versi apa diskusinya? Ya cuma politik kiri.

Jadi absurd juga memisahkan Marxisme ini?

Iya, absurd karena mereka nggak mengerti sejarah Marxisme. Orang-orang itu. Apalagi yang menyusun ini (R-KUHP). Itu poinnya.

Dua tahun belakangan, tentara dan polisi gencar membubarkan diskusi yang berbau kiri dan dilabeli komunis. Bagaimana dengan munculnya pasal di KUHP ini?

Problemnya, setiap kali ada sweeping, orang akan selalu bilang human rights (HAM) jangan diacak-acak dong. Oleh sebab itu akan ditingkatkan dengan mencari formulasi yang lebih material, yaitu KUHP. Itu artinya represi akan ditingkatkan karena ada basis hukumnya. Ada hukum positifnya. Ya mereka akan bilang, sejarahnya kan begitu, ada TAP MPRS.

Padahal TAP MPRS agak sumir kan? Tapi kenapa sekarang dimaterialkan? Kalau TAP MPR bunyinya seperti itu, jangan dimaterialkan dalam pasal per pasal, karena menyangkut nasib kebebasan individu, nasib kebebasan berorganisasi, juga nasib kecermatan berpikir akademis. Itu akan membuat orang jadi takut berpikir karena ada undang-undang materialnya.

Kalau ada ketakutan komunis menggantikan ideologi negara, apakah sudah ada negara yang sukses dengan ideologi itu?

Negara komunis sekarang itu tinggal satu, namanya Korea Utara. Dan itu sebenarnya juga bukan komunis. Itu namanya dictatorship. Komunisme nggak begitu.

Artinya ketakutan munculnya negara komunis sudah tidak ada?

Sudah tidak ada. Sebenarnya ketakutan bukan munculnya hantu komunis, tapi dibongkarnya peristiwa politik di masa lalu. Itu ketakutannya.

Kalau memang menjadi ancaman buat kamu akademisi, bagaimana jika nanti suatu saat Anda dijerat pasal tersebut?

Iya, tapi saya punya argumen. Orang tidak bisa mengajar filsafat tanpa menyentuh Marxisme. Tutup saja departemen filsafat atau ilmu politik. Jangan blame pada kurikulumnya, tapi pada fakultasnya. Mau nggak seluruh Indonesia ditutup? Fisika juga ditutup karena sekarang sudah ada studi materialisme dengan basis pemikiran Marxis. Tutup saja universitas, kan gitu gampangnya.

Konsekuensinya bisa sejauh itu?

Bisa. Tapi saya tetap akan mengajar, tetap akan berceramah juga. Kan bisa didebatin di pengadilan kalau itu jadi crime. Kenapa? Karena justru hukum yang mengatur itu obscure libel atau kabur tuduhannya. Nanti akan dilihat, apa dalilnya mengadili akademisi? Akademisi kan tidak punya kepentingan politik. Dia harus mikirin kepentingan politiknya apa? Crime-nya apa? Kalau itu ada kepentingan politik, lalu ditranformasikan menjadi crime itu kepentingannya apa? Nggak ada.

Jadi UU ini bukan sekadar menunjukkan kecemasan, tapi juga kedunguan penyusunnya. Dan kedunguan itu harus dihubungkan dengan kedunguan rezim dalam merawat citizenship. Kalau rezimnya mampu mengatur demokrasi yang baik, ada orang percaya bahwa pada argumen akan menyelesaikan persoalan. Tapi ini kan dipromosikan sebagai argumen anti-kiri.

Artinya berpotensi bermasalah terkait HAM dan hak kebebasan berekspresi?

Ya tentu. Itu yang paling pertama. Orang itu boleh punya pandangan ideologi. Yang berideologi itu adalah manusia, bukan negara. Negara buat apa berideologi? Kenapa saya berideologi, karena saya konkret dan saya punya harapan. Negara itu abstrak dan mati, bagaimana dia punya harapan? Kan negara itu isinya interaksi pikiran warga negaranya. Negara sendiri tidak boleh berideologi.

Lalu bagaimana dengan Pancasila sebagai ideologi negara?

Pancasila itu harus dianggap sebagai kesepakatan kultural dari keberagaman. Jadi dia nggak boleh difinalkan sebagai official ideology of NKRI. Nggak bisa karena isinya bertentangan. Ideologi itu harus koheren. Di dalam dirinya tidak boleh ada pertentangan. Sekarang coba uji sila pertama dengan sila keempat. Itu bertentangan. Sila keempat soal kerakyatan dan demokrasi. Berarti orang boleh tidak beragama karena demokrasi tidak mewajibkan orang beragama. Sedangkan sila pertama ditafsirkan sebagai kewajiban orang beragama.

Kemudian, sila pertama soal ketuhanan dengan sila kedua tentang kemanusiaan. Humanisme pasti bertentangan dengan teologi. Humanisme artinya, saya tidak membutuhkan akhirat untuk menjadi bermutu. Saya bisa berbagi sosial dan etik.

Jadi, kalau Pancasila kita uji konstruksi pasti runtuh. Karena itu saya selalu bilang jangan tafsirkan Pancasila sebagai ideologi, karena begitu dia jadi ideologi, maka dia harus diuji dengan peralatan metodologi. Dan dia pasti gagal karena nggak koheren. Karena dalam dirinya ada pertentangan. Di sini bilang harus bertuhan, di sini tidak bertuhan. Di sini bilang akhirat lebih penting, di sini bilang kemanusiaan lebih penting. Hancur logikanya.

Anda tadi menyebut ada kegagalan pemerintah dalam mengelola citizenship?

Pada aspek kecerdasan pemimpin. Dia nggak ngerti citizenship. Jadi pemimpin yang nggak punya kemampuan memadai tentang filosofi mendasar dari politik. Maka nilai-nilai dari demokrasi yang mengendap di dia akan salah. Mungkin dia baca buku, disuplai. Namun dia sendiri nggak punya semacam lingkaran yang mem-feeding dengan intelektual diskursus.

Presiden kita nggak ada begituan. Mungkin karena orang menganggap sudah percuma. Sama seperti ketika kita ngomong Nawacita kan? Akhirnya hanya jadi barang busuk saja. Diledek di mana-mana karena sebagai ideal dia nggak cukup, sebagai konkret dia juga rapuh. Jadi di dalam spektrum itu, negara mengalami defisit konseptual. Defisit konseptual harusnya minta tolong ke akademisi.

Tapi akademisi sekarang semua jadi buzzer karena kebutuhan. Nggak punya identitas yang cukup kuat, lalu menawarkan proposal ke kekuasaan. Jadi nggak ada harga diri. Yang punya harga dirilah seharusnya yang mengatur.

Terakhir, jadi menurut Anda harusnya pasal komunisme ini harusnya tidak ada?

Ya tidak ada, dengan alasan filosofi, pasal itu adalah pasal yang gagal memahami inti dari Marxisme dan komunisme. Dari segi sosiologi, dia justru menakut-nakuti rakyat yang ingin berpikir lebih cerdas. Artinya kalau tidak ada perbandingan, kapitalisme itu nggak ada gunanya kalau nggak ada Marxisme. Demikian juga sebaliknya.

Jadi kalau di publik nggak ada kontra-value, orang jadi liberal demi apa? Mau jadi sosialis demi apa? Orang bingung. Orang bingung akhirnya jadi oportunis karena nggak ada pegangan.

Baca juga artikel terkait REVISI KUHP atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Mild report
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti