Menuju konten utama

Membuka Kembali Era Represif dengan Revisi KUHP

Munculnya pasal 219 hingga pasal 221 pada Revisi KUHP dikhawatirkan meningkatkan aksi pembubaran diskusi oleh kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Penguasa juga dikhawatirkan semakin represif.

Membuka Kembali Era Represif dengan Revisi KUHP
Anggota kepolisian dan TNI mengamankan seorang anggota komunitas punk yang memakai pin bergambar palu arit di Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (17/7). Petugas membubarkan konser musik komunitas punk karena tidak berizin. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww/16.

tirto.id - Kekhawatiran terhadap komunisme, Marxisme dan Leninisme muncul dari revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP), terutama dengan dicantumkannya pidana penjara pada pasal 219 hingga 221. R-KUHP dikhawatirkan bakal memancing sentimen antar sipil dan bakal membuat penguasa menjadi represif.

“Jadi sentimen anti-komunis di masa lalu itu masih hidup sampai sekarang. Dengan pasal ini (219), potensi sentimen itu dikembangkan,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono kepada tirto.id, Selasa (8/11/2016).

Supriyadi menilai, jika R-KUHP nantinya benar-benar memasukkan muatan pasal 219 hingga pasal 221, aksi pembubaran kegiatan diskusi semakin marak. Ketiga pasal tersebut bakal menjadi “payung hukum” bagi kelompok tertentu untuk berinisiatif membubarkan diskusi.

“Siapapun akan memiliki otoritas untuk membubarkan diskusi dan kegiatan serupa yang diklaim menyebarkan atau mengembangkan ideologi terlarang. Hal tersebut bisa dilakukan tanpa melalui serangkaian koridor hukum yang jelas terlebih dahulu,” lanjutnya.

Ini tentu saja mengkhawatirkan karena akan memunculkan rasa takut masyarakat saat menggunakan hak berekspresi, menyampaikan informasi dan berpendapat.

Pembubaran Sepihak

Berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), paling tidak telah terjadi 41 peristiwa pelanggaran atas hak berkumpul dan berpendapat, sejak Januari 2015 hingga Mei 2016. Pelanggaran paling banyak justru terkait kegiatan di ranah kesenian dan ilmiah. Bentuk tindakan represif yang sering dilakukan adalah pembubaran, interogasi bernada intimidasi, teror dan swasensor, hingga penangkapan.

Memang, pada ayat (6) pasal 219 memuat pengecualian, diperbolehkan menyebarkan dan mengembangkan ketiga ideologi yang dianggap berbahaya tersebut di ranah akademis, di kampus. Tetap muncul kekhawatiran, seperti pengajuan karya ilmiah akan melewati prosedur sensor yang lebih ketat dan birokratis. Bahkan jika karya ilmiah tersebut tuntas, hanya bakal sekedar menjadi tumpukan di perpustakaan kampus.

“Skala akademik itu yang jadi masalah. Nggak ada penjelasannya dalam KUHP. Kalau versi pemerintah, harus obyektif, berdasarkan metode ilmiah segala macam. Jadi ada peluang menafsir. Seperti memutar film bisa akademik, bisa dituding tidak akademik. Ada dasar klaim,” kata Supriyadi.

Meski hak berkumpul dan menyampaikan pendapat menjadi hak paling dasar yang bisa meruntuhkan hak-hak lainnya, tetapi masih ada persyaratan yang harus dipenuhi. Pada Pasal 19 The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ayat (3), diatur persyaratan jika ingin melakukan hak-hak dasar agar sah secara hukum. Ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu menghormati hak atau nama baik orang lain, juga melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

Persoalannya, menurut Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara Suwahju, pasal 219 hingga pasal 221 tak jelas apa yang harus dilindungi. Jika ingin melindungi ideologi negara, maka tidak bisa melakukan pembatasan terhadap hak dasar manusia. Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut harus dihapus.

“Ini (R-KUHP) batasannya bukan untuk melindungi kepentingan itu, tapi untuk melindungi dasar negara. Tidak jelas tujuan apa yang akan dilindungi. Itu kalau kita rujukannya ke ICCPR, jelas nggak boleh. Pasal itu nggak boleh ada karena kepentingan apa yang hendak dilindungi nggak jelas,” tegasnya kepada tirto.id, Selasa (8/11/2016).

Infografik Revisi KUHP

Mengadopsi Sistem KUHP Jerman

Anggara menilai, pemerintahan Presiden Joko Widodo bakal kembali membuka pintu bagi era represif, kecuali melakukan dua hal. “Hanya ada dua kemungkinan. Dihapus seluruhnya atau mengadopsi sistem KUHP Jerman,” tuturnya.

Jerman memang mencantumkan pidana bagi penyebar beberapa ideologi tertentu. Namun, substansinya jelas, bukan ideologi negara Jerman yang dilindungi, melainkan masyarakat sejalan dengan pasal 19 ICCPR.

“Bukan soal perbuatan menyebarkannya yang dipidana. Kalau di Jerman itu endangering the democratic state under the rule of law, babnya itu. Bukan kejahatan ideologi, tapi membahayakan negara demokrasi yang berdasarkan hukum,” jelasnya.

Berdasarkan buku “The German Criminal Code: A Modern English Translation” yang diterjemahkan oleh Michael Bohlander dan diterbitkan Hart Publishing Oxford and Portland (2008), terangkum rapi topik yang mirip dengan pasal 219 hingga 221 R-KUHP. Hal tersebut terdapat dalam Bab III KUHP Jerman, berjudul “Membahayakan Negara Demokratis di Bawah Aturan Hukum”.

Pada pasal 84 KUHP Jerman, dilarang melanjutkan partai politik yang dinyatakan inkonstitusional. Kemudian pada pasal 85, tidak diperkenankan melanjutkan organisasi yang sudah dilarang oleh konstitusi. Selain itu pada pasal 86, dilarang mendesimenasikan materi propaganda organisasi yang dilarang oleh konstitusi. Juga pasal 87, ada larangan bertindak sebagai agen rahasia dengan tujuan sabotase.

Sementara di Indonesia jika KUHP baru disahkan, kemungkinan pemerintah menjadi otoriter begitu luas. Sebab hanya pemerintah yang bebas bertindak sebagai penafsir tunggal ideologi mana yang dianggap mengancam ideologi negara. Hal tersebut akan membahayakan sistem demokratis. “Itu kalau dalam negara hukum tidak boleh ada penafsir tunggal. Iya kalau pemerintahan sekarang, gimana kalau pemerintahan berganti selanjutnya?” ungkapnya.

Di Jerman, pemerintah harus terlebih dulu mengajukan mana ideologi yang dianggap bisa mengganti ideologi negara melalui konstitusi. Jika diterapkan di Indonesia, bisa dilimpahkan ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya akan disidangkan, apa alasan pemerintah melakukan pelarangan terhadap ideologi tersebut. Bakal dihadirkan kalangan akademis dan penganut ideologi yang akan dilarang.

“Debat dulu pemerintah sama pendukung ideologi itu. Lalu diputus oleh pengadilan. Itu lebih sehat karena banyak kontestasi ide. Terbuka. Semua kelompok bisa sumbang pendapat,” ujar Anggara.

KUHP di Jerman bersifat adil dan memperkecil ruang bagi lahirnya pemerintahan yang otoriter. Sebab, hanya konstitusi yang bisa memutuskan ideologi mana yang layak dilarang beserta batasannya dengan tetap menjunjung aspek independensi dari intervensi.

Apa pilihan Indonesia?

Baca juga artikel terkait KOMUNISME atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti