Menuju konten utama

Seni Memahami si Paling Playing Victim

Memahami si playing victim bukan tentang membuat mereka berubah, tetapi tentang menjaga batas dan ketenangan diri.

Seni Memahami si Paling Playing Victim
Header Diajeng. Foto/istockphoto

tirto.id - Berinteraksi dengan orang yang selalu menganggap dirinya "korban" memang membuat kita lelah.

Sebagai orang yang suka playing victim, mereka mungkin sering menolak bertanggung jawab atas kesalahannya dan menyalahkan orang lain ketika terjadi kesalahan.

Di sisi lain, ada banyak orang bermental korban yang pernah menghadapi peristiwa sulit atau menyakitkan dalam hidupnya.

Ini bukan berarti kita harus bertanggung jawab atas mereka atau menerima tuduhan dan kesalahan. Namun, penting bagi kita untuk memahami situasi mereka dan memupuk empati yang dapat memandu respons kita terhadap pengalaman mereka.

Merangkum artikel dari situs Healthline, berikut sejumlah strategi yang dapat kita kerahkan untuk memahami orang-orang yang suka playing victim:

1. Hindari penyebutan istilah "korban"

Ingat, "korban" adalah label yang sangat sensitif. Hindari penggunaannya saat seseorang berusaha menonjolkan posisinya yang rentan.

Alih-alih langsung menilainya sebagai korban, lebih baik arahkan percakapan pada perilaku atau perasaan yang mungkin muncul pada orang tersebut, misalnya ketika mereka:

  • sering mengeluh,
  • menyalahkan orang lain,
  • enggan bertanggung jawab,
  • merasa terjebak atau tidak berdaya,
  • atau seolah-olah tidak punya pengaruh atas hidupnya.
Dengan mengobrol secara jujur tanpa menghakimi, kita memberikan ruang bagi si playing victim untuk mengekspresikan perasaan secara lebih sehat dan melihat situasi dari sudut pandang yang lebih konstruktif.

2. Tetapkan batasan

Orang-orang dengan mentalitas korban terbiasa menyalahkan pihak lain atas setiap masalah atau membuat orang di sekitarnya merasa bersalah atas sesuatu yang di luar kendalinya.

Membantu mereka yang terus terjebak dalam cara pandang seperti ini memang tidak mudah.

Ketika kita mulai merasa dihakimi atau dituduh oleh si playing victim, penting untuk segera menetapkan batas yang tegas.

Kita masih bisa menunjukkan empati dan kepedulian pada orang lain, tanpa harus mengorbankan ketenangan batin dan batas pribadi.

3. Tawarkan bantuan untuk menemukan solusi

Naluri altruis mungkin mendorong kita untuk menyelamatkan atau melindungi orang-orang yang kita sayangi, tak terkecuali ketika mereka sedang menyerukan posisinya yang rentan sebagai korban.

Sayangnya, keputusan tersebut berisiko memperkeruh suasana dan menguras emosi kita.

Coba pertimbangkan untuk membantu tanpa intensi untuk "memperbaiki", seperti berikut:

  1. Validasi keyakinan mereka bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa tentang situasi tersebut.
  2. Tanyakan apa yang akan mereka lakukan jika punya kekuatan untuk melakukan sesuatu.
  3. Bantu mereka bertukar pikiran tentang kemungkinan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Misalnya, saat mereka mengeluh dan menyalahkan orang lain karena belum juga dapat pekerjaan, coba tanyakan kerja apa yang mereka idealkan.

Berdasarkan jawaban tersebut, kita bisa mengajak mereka untuk mempertimbangkan opsi perusahaan atau bidang kerja lain.

Dengan interaksi melalui pertanyaan, kita membantu menyadarkan mereka untuk fokus pada solusi alih-alih menyalahkan keadaan atau orang lain.

4. Berikan dorongan dan validasi

Empati dan dukungan, sekecil apapun, dapat menggerakkan mereka yang sedang dalam kesusahan. Coba pertimbangkan untuk:

  • tunjukkan hal-hal yang mereka kuasai
  • soroti pencapaian mereka
  • ingatkan mereka akan kasih sayang orang-orang sekitar
  • validasi perasaan mereka
Orang playing victim yang tidak punya support system kuat untuk membantu mengatasi traumanya mungkin lebih sulit mengatasi kondisinya.

Dalam konteks tersebut, tidak ada salahnya kita dorong mereka untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental.

5. Pertimbangkan latar belakang mereka

Orang dengan mentalitas korban kemungkinan mengalami hal-hal seperti:

  • merasa putus asa
  • meyakini bahwa mereka kurang dukungan
  • menyalahkan diri sendiri
  • kurang percaya diri
  • memiliki harga diri yang rendah
  • berjuang melawan depresi dan PTSD
Kondisi-kondisi unik di atas berisiko meningkatkan tekanan emosional si playing victim. Bukan tidak mungkin, mentalitas korban semakin sulit diatasi.

Berusaha memahami orang-orang yang playing victim bukan artinya kita membuat mereka berubah, melainkan tentang menjaga batas dan ketenangan diri.

Tentu saja, mustahil bagi kita untuk mengubah cara si playing victim dalam melihat dunia. Pada waktu sama, kita bisa memilih cara untuk merespons mereka, yaitu dengan empati dan batasan tegas, tanpa harus ikut tenggelam dalam pusaran drama mereka.

Pada akhirnya, kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk memahami orang lain tanpa terseret dalam permasalahan mereka, menolong tanpa kehilangan arah, dan tetap berdiri teguh di tengah dinamika sosial yang menguras emosi.

Baca juga artikel terkait SUPPLEMENT CONTENT atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Lyfe
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Sekar Kinasih