Menuju konten utama

Saat Naluri dan Nalar Bertemu: Sisi Altruis di Balik Ego Manusia

Riset dan refleksi menunjukkan bahwa manusia tidak semata-mata egois, melainkan juga digerakkan oleh dorongan untuk peduli dan berbagi.

Saat Naluri dan Nalar Bertemu: Sisi Altruis di Balik Ego Manusia
Header diajeng Altruisme. tirto.id/Quita

tirto.id - Selama ini, banyak dari kita meyakini bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang egois.

Naluri mempertahankan diri dianggap sebagai insting utama, seolah-olah kebaikan hanyalah hasil dari norma sosial atau aturan moral belaka.

Namun, pandangan itu ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.

Ketika nalar dan naluri bertemu dalam sebuah pilihan moral, maka pilihan antara mementingkan diri sendiri atau mengutamakan orang lain otomatis akan muncul dalam pikiran.

Tindakan baik, meskipun terlihat sederhana, sering kali menjadi perjalanan personal dalam menemukan makna diri.

Bagi perempuan khususnya, yang kerap diposisikan sebagai sosok pengayom, sisi altruistik ini bukan sekadar peran sosial, melainkan sebuah proses pembentukan jati diri yang mendalam.

Saat altruisme mengalahkan egoisme, kita bisa melihat bahwa manusia bukan hanya makhluk yang bertahan hidup, tapi juga makhluk yang memberi hidup.

Sebuah penelitian yang dilakukan Felix Warneken, dosen psikologi dari University of Michigan bahkan menunjukkan bahwa manusia sejak usia dini memiliki kecenderungan sikap untuk menolong.

Warneken yang telah menghabiskan waktu selama 17 tahun mempelajari balita ini menemukan bahwa anak-anak menunjukkan perilaku altruistik sejak usia sangat muda.

Mereka tidak terlahir dengan sikap egois, melainkan membawa naluri altruistik yang mendorong anak-anak untuk peduli dan membantu orang lain.

“Yang kami temukan adalah anak-anak memiliki kecenderungan biologis spontan untuk peduli terhadap orang lain,” ujar Warneken pada HuffPostpada 2020 silam.

Anak-anak sejak usia dini sudah menunjukkan rasa senang untuk membantu orang lain. Mereka melakukannya secara spontan tanpa diminta, diberi hadiah, atau diawasi oleh orang tuanya.

"Hal ini membuat kita percaya bahwa sifat manusia tidak sepenuhnya egois, tetapi kita dibekali dengan beberapa kecenderungan altruistik yang dapat dimunculkan," kata Warneken.

Meski demikian, orang tua berperan dalam membimbing anak-anak seiring bertambahnya usia dan belajar menyeimbangkan rasa altruisme dan kepentingan pribadi mereka.

Sikap Altruisme Manusia Sudah Ada Sejak Usia Anak-Anak

Altruisme didefinisikan sebagai rasa peduli dan mau melayani orang lain yang dimulai dengan dasar ‘empati,’ atau kemampuan untuk memahami perasaan orang lain,

Masih mengutip laman HuffPost, penting bagi orang tua untuk menekankan kecerdasan emosional dalam rangka membantu anak-anak mengembangkan empati. Ajari anak untuk mengidentifikasi perasaan mereka dan memprosesnya.

Ciptakan ruang bagi setiap orang di keluarga untuk merasa nyaman mengekspresikan dan mendiskusikan perasaan dalam kehidupan sehari-hari. Jadikan EQ sama pentingnya dengan IQ sejak usia dini.

Ajarkan anak untuk bisa mengutarakan perasaan-perasaan yang dialaminya agar mereka dapat mengingat bagaimana rasanya tertekan dan stres. Membicarakan perasaan terkadang dapat membantu mereka mengidentifikasi momen-momen tersebut pada orang lain.

Cara Mengembangkan Altruisme pada Anak

Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan orang tua untuk menjaga, menumbuhkan, dan memberi ruang agar altruisme berkembang:

1. Bicarakan perasaan

Ajari anak mengenali emosi diri sendiri dan orang lain. Empati adalah dasar dari sikap altruistik.

2. Latih melihat dari sudut pandang lain

Melalui percakapan sederhana, anak belajar memahami pengalaman dan perspektif orang lain.

3. Sesuaikan dengan usia

Tidak masalah jika anak belum selalu mau berbagi mainan, semua butuh proses sesuai tahap perkembangan.

4. Jadi teladan

Anak lebih banyak meniru daripada mendengar. Tunjukkan sikap peduli lewat tindakan nyata sehari-hari.

5. Gunakan cerita dan buku

Kisah tokoh dalam buku anak bisa jadi media efektif untuk menumbuhkan empati.

6. Tekankan rasa syukur

Anak yang terbiasa bersyukur cenderung lebih mudah peduli pada orang lain.

7. Perkenalkan keberagaman

Beritahu anak tentang keberagaman. Ajak mereka menjelajah tempat baru, mengenal budaya berbeda, atau sekadar mencoba makanan dan musik baru. Lanjutkan dengan diskusi ringan tentang pengalaman mereka.

8. Bangun keterampilan sosial

Ajari untuk mau antre, berbagi, dan mempertimbangkan perasaan orang lain, ini juga bagian dari melatih empati.

9. Apresiasi sikap peduli

Jangan hanya memuji prestasi akademik,tapi beri juga penghargaan saat anak menunjukkan empati atau membantu orang lain.

10. Libatkan dalam kegiatan social

Ajak anak ikut kegiatan sukarela atau amal sebagai pengalaman langsung berbuat baik.

11. Ajarkan keseimbangan

Ingatkan bahwa penting menjaga diri sendiri sekaligus peduli pada orang lain.

Dengan cara-cara sederhana ini, sifat altruisme anak bisa tumbuh menjadi bagian dari kepribadian, bukan sekadar perilaku sesaat.

Eksperimen Sikap Altruistik Melalui Permainan Ultimatum

Dilansir The Daily Economy, Anthony Gill, dosen ilmu ekonomi politik di University of Washington melakukan eksperimen pada mahasiswanya dengan permainan "Ultimatum Game". Permainan ini dipandang dapat memberikan secuil gambaran tentang kecenderungan orang untuk bersikap fair, adil, dan tidak egois.

Aturannya begini: ada dua pemain. Pemain A diberi uang $100 dan diminta membaginya dengan Pemain B. Tawaran ini dikirim secara anonim. Jika Pemain B menerima, uang dibagi sesuai tawaran. Jika menolak, keduanya tidak dapat apa-apa.

Skenario pembagian uang ini dibagi menjadi lima kategori: $100 semua untuk A, $99 untuk A dan $1 untuk B, antara $51 sampai $98 untuk A dan $2 sampai $49 untuk B, masing-masing $50, dan terakhir, B mendapatkan tawaran uang lebih besar dari A.

Secara teori, orang yang egois akan mengambil semua jatah uang, sementara yang cenderung memikirkan diri sendiri akan memilih pembagian $99 untuk dirinya dan hanya $1 untuk Pemain B. Logikanya sederhana: lebih baik dapat sedikit uang daripada tidak sama sekali, jadi Pemain B seharusnya menerima uang yang ditawarkan oleh A sekecil apa pun itu.

Namun, kenyataannya berbeda.

Dalam eksperimen, banyak Pemain B justru menolak tawaran yang tidak adil, meskipun itu berarti mereka tidak mendapat apa pun.

Hasil akhir menunjukkan bahwa justru lebih banyak pemain yang sepakat dengan nominal uang dari kategori "semi-rasional" (pihak B rata-rata menerima $30) dan kategori "setara" (masing-masing pihak menerima $50).

Pendek kata, manusia tidak sesederhana “rasional” atau “egois” seperti hitungan angka.

Ada naluri kuat dalam diri kita untuk menghargai keadilan.

Bahkan, ketika harus mengorbankan keuntungan pribadi, orang sering memilih menolak perlakuan yang dianggap tidak adil.

Eksperimen ini menunjukkan bahwa manusia, pada dasarnya, punya kecenderungan untuk bersikap fair bukan semata-mata mengejar keuntungan sendiri.

BBC menulis, sains menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan untuk punya naluri altruisme. Namun, bukan berarti kita harus selalu memikirkan orang lain tanpa henti.

Ada kalanya menjaga diri sendiri justru menjadi langkah terbaik sebelum bisa membantu orang lain.

Seperti pesan sederhana dalam instruksi keselamatan penerbangan, “Pakailah masker oksigenmu terlebih dahulu sebelum menolong orang lain.”

Pesan ini mengingatkan kita bahwa ada keseimbangan antara kepedulian pada diri sendiri dan kepedulian pada orang lain. Tanpa menjaga diri, kita tidak akan mampu mendukung orang di sekitar kita.

Namun, di tengah dunia yang kerap menyanjung individualisme dan narsisme, penting untuk tidak terjebak pada pola pikir bahwa keegoisan harus selalu didahulukan.

Individualisme didefinisikan oleh psikolog sosial Geert Hofstede sebagai "sejauh mana orang merasa mandiri, alih-alih saling bergantung sebagai anggota dari keseluruhan yang lebih besar".

Di banyak belahan dunia, terutama di kawasan Eropa Barat dan Amerika Utara, individualisme tidak hanya endemik, tetapi juga semakin menjadi tren.

Pertanyaannya, adalah apakah itu hal yang baik atau tidak?

Manusia bukan hanya makhluk yang hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga bagian dari sesuatu yang lebih besar, sebuah jaringan kebersamaan yang hanya bisa tumbuh lewat empati dan altruisme.

Baca juga artikel terkait EMPATI atau tulisan lainnya dari Dhita Koesno

tirto.id - Lyfe
Penulis: Dhita Koesno
Editor: Sekar Kinasih