tirto.id - Sepanjang hidup, manusia terbelenggu dengan tatanan hidup yang mengecilkan hak untuk memberi perhatian pada diri. Saat masih kecil misalnya, kita dididik untuk berbagi barang favorit dengan teman sepermainan. Beranjak dewasa, “etika” kantor membuat kita harus membagi waktu senggang untuk berkumpul bersama teman seenggan apapun suasana hati. Egois untuk mendahulukan apa yang membuat hati nyaman adalah tabu.
Dua Sisi Egois
Menjadi baik, menurut tatanan sosial, adalah menempakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Egois pada akhirnya menjadi karakter yang memiliki konotasi buruk; keserakahan, kejam, dan menang sendiri.
Padahal, egois dalam hidup menjadi mungkin bila kita sadar akan perbedaan egois baik dan jahat. Namun memang, egois yang baik, membutuhkan keberanian untuk memberikan prioritas pada diri sendiri pada momen-momen tertentu. Egois baik datang dari pengertian yang tidak malu-malu mengutarakan keinginan kita. Dengan dasar egois baik, kita dapat mengembangkan kemampuan, menempatkan pikiran ke dalam kerangka yang benar, mengumpulkan kekuatan yang paling berguna, dan mengatur pikiran dan perasaan sehingga pada akhirnya dapat membantu orang lain.
Egois yang buruk di sisi lain, memiliki motif tidak mau diganggu oleh kepentingan orang lain dengan alasan apapun. Karena sulit membedakan dua intensi ini, kita seringkali gagal untuk memilih menjadi egois, walau kadang diperlukan. Misalnya, keperluan me time bagi ibu yang sudah kelelahan karena telah merawat anak sepanjang hari.
Tipisnya batas antara egois baik dan buruk membuat individu wajib mempertimbangkan dan memutuskan dengan bijaksana. Abraham Maslow dalam esainya “Is Human Nature Basically Selfish?” berpendapat perlunya membedakan dengan jelas keegoisan sehat dari keegoisan yang tidak sehat, seperti pentingnya membedakan antara motivasi sehat dan tidak sehat untuk perilaku seseorang yang tampaknya egois. Menurutnya, kadang egois baik bisa menjadi buruk, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk tidak berasumsi mengenai egois baik atau buruk sampai ia benar-benar tahu kebenaran sebenarnya.
Maslow mengatakan bahwa rasa hormat terhadap kesehatan, pertumbuhan, kebahagiaan, kegembiraan, dan kebebasan diri sendiri, berdampak positif baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Pengorbanan diri serta kerendahan hati yang berlebihan, rasa hormat yang diberikan kepada orang lain, namun tidak pada diri sendiri, termasuk sikap yang tidak cukup egois dan mengutamakan ekspektasi masyarakat umum untuk selalu melayani orang lain. Perilaku selalu menyenangkan orang lain ini justru bisa berakibat buruk.
Tidak mengijinkan diri menjadi egois akan memiliki konsekuensi pada terbentuknya sikap yang dingin, kasar, dan akhirnya marah pada orang lain. Menghindar dari sikap egois baik juga membuat seseorang secara perlahan menjadi orang yang memendam sakit hati, tidak dapat berkompromi, dan juga tidak efektif. Tidak efektif yang dimaksud misalnya, tetap bertahan bekerja pada pekerjaan yang tidak membuat nyaman, atau tetap bertahan pada hubungan yang tidak seimbang. Dan pada akhirnya, kita baru sadar bahwa kita telah telah salah mengartikan kebaikan pada kelembutan dan penyerahan diri yang hanya kita fokuskan pada orang lain. Kita lupa untuk memanjakan diri, atau bahkan mencintai diri sendiri.
The Big “I”
Sigmund Freud membagi kepribadian manusia terbentuk dari tiga elemen. Id, ego, dan superego. Id adalah sistem kesadaran dasar yang alami dan naluriah. Basic instinct. Sedangkan ego ada satu level di atas id karena di dalamnya ada kesadaran untuk memilah kebutuhan dengan mempertimbangkan peluang dan risiko. Sementara superego lebih tinggi lagi, dengan tersedianya pertimbangan yang lebih ideal, yaitu hati nurani dan nilai moral.
Murid Freud, Carl Gustav Jung, punya konsep berbeda yang terbungkus ke dalam Teori Psikologi Analitis. Menurut Jung, tiga aspek pembentuk kepribadian manusia adalah ego, ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif. Ego merupakan aspek sadar dari kepribadian yang berperan dalam melaksanakan aktivitas normal hidup kita.
Meski berbeda, kedua teori dari guru-murid di atas memiliki satu persamaan, yaitu kesadaran. Ego adalah kesadaran yang terbentuk dari persepsi, ingatan, keyakinan, dan perasaan—yang notabene semua itu adalah produk dari pikiran, sadar maupun tidak sadar.
Dari ego inilah lahir berbagai identitas keakuan yang melekat pada diri seseorang. Nama, pekerjaan, status sosial, profesi, kesukuan, dan sebagainya. Sederet identitas itulah yang sering kali menjadi pemicu munculnya sikap keakuan, alias egois atau egosentris.
Menurut self love awareness practitioner, Wisnu Prayudha, tentu tidak fair kalau kita menyalahkan ego. Kita tidak bisa menghindari ego karena kitalah yang menciptakan itu untuk kita alami setiap saat. “Pikiran—melalui indra kita—mengunduh semua informasi dari lingkungan, sadar maupun tidak, dan menciptakan belief system yang tertanam di dalam sel-sel tubuh kita. Inilah yang kemudian memunculkan apa yang saya sebut sebagai self ego,” paparnya.
Dengan kata lain, self ego adalah ‘aku’ yang terbentuk oleh ego. Dan ini bukanlah ‘aku’ yang sejati. Dia hanyalah the little ‘i’ yang melekat pada permukaan luar diri kita. Sayangnya, kita selalu membangga-banggakan the little ‘i’ dan melupakan the Big ‘I’ atau ‘aku’ sejati yang memiliki potensi energi tanpa batas.
Keegoisan Termurni
Adalah tugas individu untuk mengingatkan dirinya agar tidak bergantung pada definisi orang lain akan perilaku yang egois dan yang bukan. Diri kita sendiri harus mendefinisikan sendiri untuk kita, sama seperti orang lain mendefinisikannya untuk diri mereka sendiri.
Mencintai diri sendiri atau self love sering dianggap sebagai salah satu bentuk keegoisan yang paling murni dan paling jelas. Pada esainya "Selfishness and Self Love" (1939),Erich Fromm mengatakan bahwa budaya modern membuat keegoisan menjadi sesuatu yang tabu. Egois dianggap sebagai dosa dan mencintai orang lain adalah sesuatu yang luhur. Dalam esainya tersebut, ia berpendapat bahwa budaya tabu ini memiliki konsekuensi membuat orang merasa bersalah untuk menunjukkan cinta diri, yang sebenarnya merupakan bentuk rasa hormat akan diri untuk kebahagiaan, pertumbuhan, dan kebebasan.
Wisnu menjelaskan, dalam ranah kesadaran, ‘aku’ (baca: diri kita) adalah makhluk spiritual yang dibungkus oleh tubuh fisik. “Sejak awal kelahiran, jiwa kita bersifat merdeka dan penuh cinta. Kita lahir dengan membawa self love yang diberikan oleh pencipta kita. Itulah diri sejatinya ‘aku’. Ketika kemudian kita dilabeli nama dan tumbuh di tengah banyaknya tuntutan sosial, mulailah self love kita pelan namun pasti tertutup oleh self ego,” urai penulis buku Love and Fear yang juga mantan broadcaster ini.
Self ego paling banter hanya mampu membangun personal power. Inilah yang kemudian melahirkan jiwa-jiwa egois, yang selalu fokus untuk mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan realita yang dimiliki orang lain. Yang selalu merasa dirinya paling benar dan menuntut orang lain untuk menuruti kemauannya. Yang selalu memilih mengejar prestasi dengan berkompetisi, bukan berkolaborasi.
Sementara itu kemampuan self love jauh melampaui self ego, yaitu membangun authentic power. Kekuatan hakiki yang bersumber dari cinta ilahi. Cinta tanpa syarat, menghargai sesama dan lingkungan, tulus ikhlas, mudah memaafkan, adalah ciri-ciri dari authentic power tersebut.
Untuk itu, Wisnu memberikan solusi jitu, yaitu dengan bersikap ‘egois’ dengan benar. “Egois di sini maksudnya adalah sikap keakuan kita ditujukan pada ‘aku yang sejati’, yaitu the Big ‘I’ atau self-love,” katanya. “Dengan begitu, kita bersikap egois dengan kesadaran. Itulah ‘egois’ yang benar.”
Self ego, lanjut Wisnu, akan kita alami sepanjang hidup. Tidak bisa dihindari tapi kita bisa belajar darinya. Maka, ketika kita berhadapan dengannya, yang bisa kita lakukan adalah dengan menyadarinya, mengaku dan menerimanya, untuk kemudian mengizinkan diri kita menggantikan kedudukannya dengan self love.
Penulis: Wahyu Hidayat
Editor: Lilin Rosa Santi