tirto.id - Kamu tengah berada di sisi pinggir zebra cross, menunggu momen yang tepat untuk menyeberang. Namun, pada hari itu, lalu lintas padat merayap. Lalu-lalang mobil tak kunjung memberi kesempatan.
Setelah menunggu sekitar 15 menit, kamu melihat celah untuk melintasi zebra cross. Di kejauhan terlihat Mercedes warna merah dan satu mobil lawas dengan harga tidak sampai seperempat dari merek yang pertama, berjalan mendekat.
Jika kedua mobil terus melaju, konsekuensinya kamu akan tertabrak. Masalah bakal panjang karena berkaitan dengan nyawa manusia. Maka dalam perhitungan sederhana, kedua mobil tentu memilih berhenti.
Sayangnya, temuan penelitian Paul Piff, profesor psikologi dari UC Irvine, berkata lain.
Persentase pengendara Mercedes dan mobil mewah lain untuk berhenti demi pejalan kaki yang menyeberang, ternyata lebih rendah dibanding pengendara mobil sederhana.
Temuan yang didapatkan dari pengamatan dengan kolega tersebut adalah bagian dari penelitian Piff terhadap perilaku orang-orang kaya.
Seperti dibahas dalam artikel The Atlantic, melalui beberapa jenis observasi Piff menemukan konsistensi tingkah laku orang-orang yang memiliki status ekonomi tinggi.
Kelompok ini cenderung merasa berhak atas sesuatu hal, rentan terhadap perilaku narsisme, suka mementingkan diri bahkan jika artinya harus melakukan sejumlah tindakan tidak etis.
Riset Piff didukung pula oleh penelitian dari Dacher Keltner, profesor psikologi dari University of California, Berkeley.
Dalam asumsi umum, mudah untuk membayangkan orang-orang berduit berbelas kasih dengan menyumbangan sedikit kekayaannya kepada yang membutuhkan. Keltner membantah anggapan tersebut.
Dalam wawancara dengan Greater Good pada 2015 silam, Keltner menjabarkan bahwa masyarakat kelas menengah-bawah justru adalah kelompok yang paling banyak berbagi.
Jumlah tersebut tidak diukur dari uang atau nilai barang yang dikeluarkan, tapi berdasarkan perbandingan dengan kekayaan yang dimiliki tiap kelompok.
Katakanlah, orang kaya membagikan satu persen dari harta mereka kepada pihak yang membutuhkan. Namun, kelas di bawahnya bisa menyumbangkan lebih dari persentase tersebut, terlepas apakah uang yang tersisa cukup untuk diri sendiri.
Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa orang kaya cenderung sulit berempati, berbelas kasih, berbagi, dan peduli kepada orang lain?
Kelas menengah-bawah, jelas Keltner, terus-menerus menghadapi ancaman nyata di kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, menjalin koneksi dengan sesama adalah salah satu cara bertahan hidup. Sikap saling mengasihi dan peduli kepada orang lain adalah cara manusia menjalin ikatan erat.
Sementara itu, orang-orang kaya hidup dalam gelembung mereka sendiri.
Kita paham betul betapa menyebalkannya perilaku orang-orang kaya. Namun begitu, realitasnya kelompok ini justru mendominasi jabatan yang berhak mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik.
Yang paling mungkin dan sering terjadi di berbagai belahan dunia adalah pejabat dengan latar belakang kaya raya akan menggunakan perspektif mereka dalam memperlakukan rakyat.
Berasal dari kelompok yang selalu menang dalam kompetisi apapun, orang kaya acap kali melihat bahwa kegagalan kelompok menengah-bawah adalah kesalahan mereka sendiri.
Di Indonesia, sikap insensitif ini sering muncul dalam pernyataan para pejabat, dari DPR sampai selevel menteri.
Keltner mencontohkan situasinya di Negeri Paman Sam.
“Namun di negara ini, kebanyakan pemimpin politik kita—termasuk pihak-pihak yang memengaruhi mereka—adalah orang kaya. Umumnya, semakin kaya para pejabat, mereka akan semakin kurang tertarik untuk membuat kebijakan yang membantu kalangan bawah," ujar Keltner.
Padahal, kehadiran individu yang penuh empati dan sensitif di level kebijakan akan mengubah banyak hal di kehidupan masyarakat sipil.
Beberapa lembaga di Singapura, misalnya, pernah mengadakan workshop belajar empati.
Para peserta diminta untuk merasakan kehidupan keluarga underprivilege dengan kondisi finansial terbatas dan tagihan menggunung. Program ini salah satunya diinisiasi oleh organisasi nirlaba bernama Daughter of Tomorrow (DOT).
"[Program ini] membuat Singapura melakukan refleksi mendalam tentang bagaimana cara membuat sektor-sektor pekerjaan menjadi lebih inklusif," begitu laporan dari Channel News Asia.
Haanee Tyebally dari DOT juga turut angkat bicara, “Permainan tukar peran ini benar-benar membantu memberikan konteks seperti apa rasanya menjadi seseorang yang harus membuat keputusan sembari menghadapi sejumlah tekanan.”
Meski menuai prokontra, program di atas memberikan fakta terang benderang: sikap empatik dari orang-orang kaya menyumbang kebijakan yang lebih inklusif dan ramah untuk semua kalangan, di segala sektor.
Program yang ada di Singapura tidak mesti ditiru mentah-mentah. Jika program dilaksanakan secara serampangan dan tanpa riset memadai, yang muncul justru adalah eksploitasi terhadap kehidupan kelas menengah-bawah.
Apa itu artinya? Eksploitasi hanya membawa kelompok orang kaya memanfaatkan kesulitan rakyat untuk membuat dirinya merasa lebih baik, daripada sungguh-sungguh belajar untuk peduli. Hal ini juga perlu diwaspadai.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































