tirto.id - Pengalaman buruk yang begitu membekas dapat menyebabkan childhood trauma atau trauma pada anak. Pengalaman-pengaman traumatis bisa bervariatif, melibatkan kekerasan fisik maupun emosional yang terjadi pada anak usia 0 hingga 18 tahun.
Istilah medis yang merujuk pada pengalaman traumatis adalah Pengalaman Masa Kecil yang Merugikan atau Adverse Childhood Experiences (ACE).
Menurut Center for Child Trauma Assessment Service and Intervention (CTASI) 65 persen anak-anak mengalami setidaknya satu ACE selama masa kanak-kanak mereka sementara 40 persen lagi mengalami lebih dari satu kali. Efeknya, anak-anak akan tumbuh dengan memiliki ketakutan, kemarahan, dan beban emosional akibat peristiwa-peristiwa buruk tersebut.
Trauma masa kecil lebih buruk bahkan bisa terjadi apabila kejadian traumatis terjadi pada usia dini (usia 0 sampai 6 tahun) dan melibatkan orangtua atau pengasuh. Pada usia ini otak anak-anak sedang tumbuh dan berkembang pesat, terutama dalam tiga tahun pertama. Pada usia ini juga anak-anak sangat bergantung pada orang tua atau pengasuh sebagai perawat maupun tempat berlindung.
Akibatnya anak-anak cenderung percaya bahwa dunia di sekitar mereka adalah tempat yang menakutkan dan semua orang dewasa berbahaya. Anak-anak kemudian tidak memiliki rasa aman pada orang-orang yang menyebabkan mereka lebih sulit dibentuk.
Penyebab pengalaman traumatis
Penyebab utama childhood trauma adalah pengalaman buruk atau ACE yang juga dapat timbul oleh berbagai peristiwa. Mengutip dari Blue Knot Foundation menyebutkan ada 10 kategori ACE, yakni:
- Penganiayaan emosional
- Penganiayaan fisik
- Pelecehan seksual
- Orang tua yang menyalahgunakan obat-obatan
- Perpisahan orangtua atau perceraian
- Anggota keluarga yang sakit jiwa dan/atau bunuh diri
- Kekerasan terhadap ibu
- Anggota keluarga yang dipenjara
- Penelantaran anak
- Tidak terpenuhinya kebutuhan fisik dan emosional
Risiko yang dihadapi apabila mengalami childhood trauma
Setiap anak memiliki daya tahan mentalnya masing-masing. Beberapa dari mereka dapat mengatasi trauma dalam waktu singkat, namun beberapa lainnya meninggalkan luka membekas.
Namun, apabila membekas, peristiwa traumatis dapat memengaruhi perkembangan anak tidak hanya secara fisik namun juga emosional dan konsekuensinya bisa bertahan seumur hidup.
Menurut Michigan ACE Initiative (Miace) ada banyak kasus di mana anak dengan trauma merasa selalu sendirian dan melakukan apapun yang mereka bisa untuk menyelesaikan masalah sendiri.
Masalahnya adalah, tidak banyak yang dapat anak-anak lakukan sendiri. Sehingga hal tersebut menyebabkan masalah baru, yakni trauma atau masalah yang "tidak terselesaikan."
Permasalahan yang tidak terselesaikan inilah yang menyebabkan berbagai masalah pada kehidupan anak dikemudian hari bahkan hingga mereka dewasa. Seperti depresi, keinginan bunuh diri, hingga gangguan dalam menjalani hubungan sosial dan hubungan asmara.
Kenali trauma anak sejak dini
Untuk menghindari dampak trauma yang memburuk seiring anak beranjak dewasa, orang tua perlu menyadari terlebih dahulu kondisi anak. Dilansir dari Very Well Mind, ada sejumlah tingkah laku anak yang perlu diwaspadai setelah beberapa hari atau beberapa minggu mengalami kejadian yang mungkin traumatis, yakni:
- Sulit mengendalikan amarah dan cenderung cepat marah
- Mengalami masalah perhatian
- Mengalami perubahan nafsu makan
- Muncul ketakutan baru
- Meningkatnya pikiran tentang kematian atau keamanan
- Anak kehilangan minat pada aktivitas normal
- Mengalami masalah tidur
- Sedih berkepanjangan
- Menolakan untuk pergi ke sekolah
- Mengalami keluhan somatik seperti sakit kepala dan sakit perut
- Mengajak anak untuk berbicara tentang perasaannya dan membuktikan emosi mereka.
- Menjawab pertanyaannya dengan jujur.
- Meyakinkan anak bahwa orang tua dan keluarga menyayanginya dan akan melakukan apa saja untuk membuatnya tetap aman.
- Mempertahankan rutinitas harian sebanyak mungkin.
- Bila perlu konsultasikan kondisi anak dengan tenaga ahli seperti psikolog anak atau tenaga medis.
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Yulaika Ramadhani