tirto.id - Penculikan anak adalah mimpi buruk bagi orang tua mana pun. Tidak ada orang tua yang sanggup membayangkan kondisi yang dialami anak ketika berada di tangan orang jahat yang tak diketahui keberadaannya.
Sementara, bagi anak, penculikan bisa meninggalkan trauma mendalam, baik fisik maupun mental.
Menurut Irma Gustiana A, S.Psi., M.Psi., Psikolog, CPC, Psikolog Anak dan Remaja dari Klinik Psikologi Ruang Tumbuh, anak-anak yang menjadi korban penculikan akan sangat potensial mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD).
Ini adalah gangguan mental yang terjadi pada seseorang, anak-anak maupun orang dewasa, setelah menyaksikan suatu kondisi yang traumatis, yang menyebab fungsi dia secara keseluruhan terganggu atau terhambat.
“Proses trauma itu bisa terjadi langsung pada saat dia diculik dan kemudian dikembalikan. Atau, bisa juga terjadi respons jeda, tidak langsung kelihatan saat itu, tapi muncul setelah beberapa waktu kemudian dan bahkan bisa triggering di masa dewasa,” jelas Irma.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi cepat-lambatnya proses trauma. Yang pertama, menurut Irma, adalah resiliensi atau daya tahan anak.
“Ada anak yang resiliensinya bagus, ada yang sangat rendah. Hal ini juga terkait dengan lingkungan keluarganya. Orang tua yang mengabaikan anak bisa menyebabkan anak secara personality tidak kuat, sehingga potensial mengalami stres lebih cepat,” papar Irma.
Faktor kedua adalah intensitas peristiwa yang dialami anak. “Akan sangat cepat muncul trauma jika intensitas penculikannya disertai tindakan-tindakan kejahatan (kekerasan), pelecehan seksual, ancaman, atau tidak diberikan kebutuhan fisiologisnya. Situasinya mencekam,” ungkap Irma.
Trauma yang dialami anak remaja bisa jauh lebih kuat, apalagi jika diikuti dengan kekerasan dan pelecehan seksual.
Di masa remaja itu anak perlu ruang yang aman untuk bereksplorasi, dihargai, diperhatikan, dan divalidasi. Di usia itu adalah momen untuk menunjukkan identitas diri dan pride. Sehingga, penculikan bisa mengganggu stabilitas jiwanya dan guncangannya bisa lebih berat.
“Intensitas penculikan disertai kekerasan dan pelecehan seksual akan sangat melukainya. Mereka cenderung frustrasi, karena merasa dirinya sudah tidak sama dengan remaja lain. Lalu putus asa dan ada kecenderungan bunuh diri,” kata Irma.
Pemulihan Melalui Terapi Psikologis
Trauma bisa berdampak secara fisiologis (tubuh) dan psikologis (mental). Secara fisiologis biasanya muncul keluhan-keluhan fisik, seperti sesak napas, napas lebih cepat, nyeri pada persendian, perut, kepala, yang tidak bisa dijelaskan secara medis. Ini merupakan imbas sekaligus alarm bahwa ada sesuatu yang terjadi pada anak akibat traumanya.
Sementara, menurut Irma, dampak secara mental bisa lebih banyak lagi. Yang tampak jelas, anak mengalami ketakutan dan kecemasan yang intens. Kadang-kadang terlihat seperti melamun, bengong, tidak responsif, gugup, gelisah, atau dia menjadi sangat waspada dan reaktif.
Anak yang mengalami trauma penculikan juga mengalami gangguan tidur. Mereka mengalami mimpi buruk dan gelisah, karena memori penculikan itu akan mudah tergambarkan saat dia tidur.
Irma menambahkan pula bahwa selain hal-hal tersebut di atas, manifestasi trauma itu bisa berupa perilaku agresif. Ketika dipeluk, anak malah meronta-ronta, berteriak, memukul-mukul orang lain, bahkan memukul dirinya sendiri (self harming).
Bisa juga anak jadi kehilangan minat. Tidak mau bermain atau melakukan interaksi dengan orang lain.
“Anak bisa mengalami regresi secara mental. Ada poin-poin tertentu dan kemampuan-kemampuan yang sudah dia lakukan secara mandiri, kemudian menjadi lumpuh atau menurun lagi fungsinya. Yang paling sering terjadi juga adalah thumb sucking (mengisap jempol) dan ngompol,” jelas Irma
Beberapa terapi psikologis bisa diberikan kepada anak korban penculikan untuk menyembuhkan traumanya.
Irma mengungkap bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain, sehingga intervensi yang paling cepat adalah dengan play therapy dan theraplay.
“Kedua terapi itu sangat bisa diberikan untuk memulihkan sosial-emosional anak korban penculikan. Ketakutan, ketidapercayaan diri, dan kecemasannya bisa di-support dengan terapi bermain ini,” kata Irma, yang juga pakar dalam play therapy.
Apa bedanya play therapy dan theraplay?
“Play therapy menjadikan aktivitas bermain sebagai sarana anak untuk memulihkan masalah-masalah sosial-emosionalnya. Mainan menjadi tools yang digunakan supaya anak-anak ini bisa release, karena kebanyakan anak dengan PTSD takut bercerita."
"Story telling-nya bisa simbolis melalui alat-alat permainan. Sehingga, apa yang ada di kepalanya tidak hanya menyumbat di bagian emosi tapi bisa disalurkan melalui aktivitas bermain,” papar Irma.
Adapun theraplay memberikan bimbingan kepada orang tua atau pengasuh (caregiver) cara membantu anak melampaui hal-hal yang sifatnya sangat emosional melalui aktivitas bermain.
Dengan theraplay, hubungan anak dan orang tua dikuatkan lagi, sehingga mereka bisa sama-sama percaya diri.
“Play therapy bisa dilakukan pada anak hingga usia 16 tahun. Di atas usia itu, pendekatannya lebih ke creative art. Di sini kita bisa berdialog. Itu cukup efektif, karena kadang-kadang apa yang ada di kepala anak tidak mudah disalurkan dengan kata-kata,” jelas Irma.
Tahapan play therapy cukup panjang, minimal 12 sesi. Bahkan akan lebih panjang untuk anak-anak yang terdeteksi mengalami trauma berat, misalnya yang sudah mengalami gangguan tidur dan pola makan.
Selain itu, untuk remaja bisa digunakan terapi kognitif. “Mindset berpikirnya kita ubah dan kuatkan. Terapinya lebih ke kognisinya, namun tetap bisa juga dibantu dengan terapi- terapi lainnya, untuk membantu anak, paling tidak fungsi kesehariannya bisa kembali seperti sebelum terjadi penculikan. Isu kepercayaannya perlu dikembalikan,” kata Irma.
Terapi kognitif berfungsi untuk membuat seseorang atau anak bisa kembali membingkai pikiran-pikirannya. Ketika mengalami penculikan, mungkin dalam mindset-nya muncul beberapa pemikiran bahwa dunia ini tidak aman atau dirinya tidak cukup baik.
Terapis akan membantu anak memiliki cara berpikir yang berbeda dari pola pikir itu, sehingga pikiran, emosi, dan perilakunya menjadi lebih positif.
“Anak perlu diberi pemahaman, penculikan itu tidak mendefinisikan dirinya. Tidak ada orang menginginkan itu terjadi, tapi itu sudah terjadi kepadanya dan diajak sama-sama mencari (mengatasi traumanya) sehingga ia tetap bisa berkembang optimal, berfungsi, dan mencapai cita-citanya. Anak diberikan pandangan, bahwa dirinya oke bisa melampaui ini dan ada kita yang akan menolongnya,” papar Irma.
Bantuan Pertama Korban Penculikan
Mengupayakan pemulihan trauma anak korban penculikan memang penting. Namun, Irma mengingatkan beberapa hal yang perlu dilakukan maupun dihindari orang tua saat anak kembali ke pelukan.
Pertama, hindari menyalahkan dan memarahi anak atas kejadian yang menimpanya. Artinya, orang tua perlu menerima anak dengan hati lapang dan penuh syukur kembalinya anak ke rumah. Alih-alih menyalahkan, peluk anak supaya tenang.
Segera penuhi kebutuhan fisiologisnya, beri minum dan makan makanan kesukaannya. Jika pun ia tidak mau, setidaknya dia melihat orang-orang terdekatnya memahami dirinya.
Orang tua perlu memeriksa fisik anak, dari ujung rambut sampai kaki, apakah ada luka, lebam, atau tanda-tanda pelecehan seksual. Hal ini penting bila diperlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Cari support system yang bisa membantu orang tua menghadapi kasus ini dan agar anak survive dari pengalaman traumatis yang mereka alami, seperti polisi, LBH, tenaga medis atau rumah sakit, relawan sosial, hingga psikolog
Beri anak waktu dan ruang untuk memulihkan diri. Biarkan anak berproses dengan bantuan dari pihak yang kompeten, sehingga dia bisa menemukan dirinya lagi dan melanjutkan kehidupannya, kembali bermain, sekolah, dan gaul.
Jangan lupa, orang tua perlu mencari bantuan untuk diri sendiri. Hindari menyalahkan diri sendiri, fokuskan pada kebutuhan anak dan abaikan stigma atau judgment orang lain.
Pemulihan trauma pada anak korban penculikan penting dilakukan sesegera mungkin. Terlambatnya penanganan akan mengakibatkan fungsi hidup anak tidak akan optimal.
Dengan demikian, anak dapat melanjutkan kehidupannya tanpa dibayangi ketakutan.
Penulis: Gracia Danarti
Editor: Lilin Rosa Santi