tirto.id - Mengeluh adalah tindakan yang wajar. Sebab, realitas kehidupan tak mesti sejalan dengan harapan kita.
Menariknya, bagi beberapa orang, mengeluh bisa jadi sifat alami mereka—yang artinya akan sulit dihentikan atau diubah.
Salah satunya adalah tetangga Regina (30).
"Dia selalu aktif komplain di grup WhatsApp warga komplek. Awalnya komplain agar warga tidak memarkir mobil di lahan kosong sebelah rumahnya. Lalu, komplain rumput di halaman rumah warga harus rutin dipotong, masalah iuran komplek, dan lain sebagainya,” cerita Regina.
“Di matanya, nyaris tidak pernah ada hal yang benar. Semua komentarnya negatif,” imbuhnya.
Berbeda dengan Regina, Hanny (32) justru mengaku memiliki kebiasaan mengeluh.
"Dulu, saya sering mengeluhkan hal-hal yang terjadi sehari-hari. Pas terjebak macet, otomatis mengeluh. Dapat tambahan kerjaan dari bos yang bikin saya harus lembur, saya mengeluh. Atau, ketika cuaca yang tiba-tiba hujan," jelas Hanny.
Namun, perlahan, Hanny mulai mengurangi kebiasaan mengeluh setelah membaca buku tentang ajaran Stoa dan Stoikisme.
Ilmu yang Hanny petik dari situ membuatnya semakin fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, termasuk latihan mengendalikan emosi diri.
Mengeluh adalah aktivitas yang lumrah asalkan tidak berlebihan, kata Arida Nuralita, S.Psi, MA., Psikolog dari RS Jogja International Hospital (JIH) Surakarta.
Ketika mendapati orang yang suka mengeluh, kita mungkin jadi bertanya-tanya pula alasan di balik kebiasaan tersebut.
Menurut Arida, ada banyak faktor yang memengaruhi kebiasaan mengeluh.
“Bisa jadi karena mereka tidak nyaman, mencari validasi, mencari perhatian, agar orang lain setuju dan memahami perasaan mereka, mencari dukungan emosional, empati dari orang lain agar merasa terkuatkan," terang Arida lagi.
Menurut pendiri dan psikoterapis di Invited Psychotherapy and Coaching Lauren Farina, mengeluh merupakan “ekspresi verbal dari rasa sakit, suatu ketidaknyamanan”.
"Dalam dosis sedang, mengeluh memungkinkan pelepasan emosi, memberikan rasa lega dari stres akibat represi emosional,” terang Farina dikutip dari artikel di Very Well Mind.
Selain itu, dorongan untuk melampiaskan kemarahan sebenarnya juga memiliki landasan evolusi. Demikian disampaikan Dr. Mary Poffenroth, biopsikolog dari San Jose State University.
"Kebutuhan kita untuk mengenali dan menjelaskan kemungkinan bahaya atau tantangan di sekitar kita telah membentuk perilaku ini," jelas Poffenroth.
"Kelangsungan hidup manusia dan kerja sama sosial sepanjang sejarah spesies kita sangat bergantung pada kapasitas kita untuk mengekspresikan ketidakpuasan," imbuhnya.
Jeffrey Bernstein Ph.D, dalam artikelnya di Psychology Today menjabarkan tiga jenis keluhan utama yang biasa kita lontarkan sehari-hari.
Pertama, keluhan yang berkaitan dengan perilaku orang lain—seperti rekan kerja yang tidak pengertian, kebiasaan menyebalkan anggota keluarga, atau polah pasangan yang menjengkelkan.
Kedua, terkait dengan keruwetan dari aktivitas sehari-hari, seperti berhadapan dengan lalu lintas yang macet, antrean panjang, atau layanan konsumen yang tidak memuaskan.
Ketiga, keluhan tentang pemicu stres pribadi. Sebut di antaranya rasa khawatir akan kondisi keuangan, tekanan dari pekerjaan, sampai masalah kesehatan.
Memang betul, rasanya lega sekali begitu kita meluapkan unek-unek tentang hal-hal di atas.
Hanya saja, apabila dibiasakan, mengeluh akan mendorong kita ke dalam jurang yang penuh dengan energi negatif.
Di satu sisi, sistem kerja otak kita mustahil dipisahkan dari bias-bias negatif.
Lalu, apa saja strategi yang dapat diusahakan untuk mengurangi kebiasaan mengeluh?
Masih dari Cleveland Clinic, salah satunya adalah merenungkan kembali tentang seberapa dahsyat dampak dari hal-hal yang bikin kita jengkel ini untuk masa depan. Apa pengaruhnya terhadap kehidupan diri sendiri dalam beberapa menit ke depan, atau beberapa tahun lagi?
Kedua, meluangkan waktu untuk menuliskan keluhan-keluhan yang ada. Jabarkan juga alasan di balik munculnya keluhan tersebut.
Ketiga, pikirkan matang-matang cara yang baik dan efektif untuk mengutarakan problem yang tengah dihadapi. Mungkinkah masalahnya disampaikan secara langsung kepada pihak terkait, via teks, atau panggilan telepon?
Tak kalah penting adalah melatih rasa syukur, sekecil apapun itu.
"Apabila perilaku negatif sudah jadi kebiasaan, menulis gratitude journal—jurnal rasa syukur—setiap malam dapat memperbaiki keadaan. Langkah tersebut mendorong kita untuk mengerucutkan fokus pada hal-hal yang kita syukuri dalam hidup kita,” pesan Bea lagi.
Senada disampaikan oleh Arida. Intensitas mengeluh dapat dikurangi dengan membiasakan diri untuk melihat sisi terang dari setiap kejadian.
"Ketika hari-hari di kantor terasa berat, coba tuliskan apa yang membuat kita bersyukur hari itu. Misalnya, berhasil membuat sarapan yang enak untuk keluarga."
Arida juga menyarankan untuk berorientasi pada solusi.
"Apabila mendapati masalah, alihkan energi untuk mengatasinya. Ingat, mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah."
Terakhir, terapkan mindfulness, kesadaran di sini dan kini (here and now).
Mengeluh dapat dianalogikan seperti virus yang mudah menular.
Berada di lingkungan yang orang-orangnya suka mengeluh dan berpandangan negatif, cepat-lambat akan memengaruhi cara berpikir kita pula.
Arida menyarankan, apabila kita mulai melihat tanda-tanda rekan kerja akan mengeluh, coba geserlah arah pembicaraan menjadi yang lebih positif atau konstruktif.
“Hindari topik-topik yang memunculkan keluhan, seperti bos yang penuntut atau klien yang sulit. Kendalikan pikiran dan ucapan agar suasana lebih positif," pungkas Arida.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































