Menuju konten utama
Mozaik

Revolusi Kerap Makan Korban, tapi Elite Merasa Paling Tersakiti

Sebelum revolusi melahap kalangan elite, rakyat sesungguhnya lebih dulu jadi korban sehingga mereka marah dan melawan. 

Revolusi Kerap Makan Korban, tapi Elite Merasa Paling Tersakiti
Storming of the Bastille, sebuah karya pelukis Perancis Jean Pierre Louis Laurent Houel menggambarkan kondisi kerusuhan di penjara Bastille yang memicu Revolusi Perancis. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Sejak belia, Mariamna Daydoff mungkin tak pernah mengunyah roti basi atau membersihkan tubuh dengan air yang dipompa dari sumur. Lahir pada 1871 dalam naungan keluarga aristokrat besar Rusia membuat hidupnya serba bergelimang harta dan jauh dari kemelaratan.

Pada Memoirs of a Russian Lady: Drawing and Tales of Life Before the Revolution (1986), memoar yang dia tulis sebagai warisan untuk cucu-cucunya, Mariamna mengisahkan betapa menyenangkan hidup yang diidam-idamkan rakyat jelata semasa itu.

Dia menikah dan mewarisi perkebunan desa yang luas. Di sana, dia menghabiskan waktu dengan melukis, menjalani musim panas yang dipenuhi aroma ladang dan hutan, naik kereta luncur di pagi hari musim dingin, atau merayakan Natal dan Paskah dengan berolahraga sepanjang waktu. Dia menulis masa-masa nostalgia itu dalam memoarnya sebagai, “Rasa surga yang hilang.”

Hilang, sebab kenangan indahnya itu terjungkir balik sejak Revolusi Bolshevik menghancurkan Imperium Tsar Rusia pada 1917.

Mariamna Daydoff adalah salah satu dari sekian banyak wanita aristokrat yang jadi pelarian. Dia kabur dari Rusia pada 1919, mengasingkan diri dan menetap di Bretagne, Prancis, dengan saudara perempuannya. Dari sanalah dia menulis memoarnya, yang kelak disunting dan diterjemahkan oleh cucunya, Olga Daydoff Dax.

Dari sekian banyak kehilangan, yang paling disesalkan Mariamna Daydoff adalah harta bendanya, yakni cat air serta lukisan yang dia buat sebelum revolusi membumihanguskan warisan keluarganya.

Saat masih gadis, dia belajar melukis di Académie Julian dan Grande Chaudière di Paris, lantas mendongkrak reputasi di Rusia sebagai karikaturis.

Boleh jadi, memoar Mariamna Daydoff itu mirip dengan kisah Cinta Kuya, anak Uya Kuya, yang kini menempuh pendidikan sarjana di Pasadena City College, California. Uya Kuya, adalah selebritas televisi sekaligus anggota DPR RI sejak 2024.

Ketika demonstrasi Agustus-September 2025 menyulut aksi vandalisme, rumah keluarga Uya menjadi target penjarahan massa, representasi luapan marah kepada pemerintah.

Melihat kondisi yang menimpa keluarganya, Cinta Kuya angkat bicara. Namun alih-alih menyoroti huru-hara di Indonesia, kisah yang ditulis Cinta Kuya justru semakin memperlihatkan dirinya kurang peka terhadap kondisi yang tengah berkecamuk.

Selain lebih mengkhawatirkan kondisi pribadinya, Cinta Kuya waswas terhadap nasib kucing-kucing di rumahnya. Memoarnya diunggah di Instagram pribadinya dengan memosisikan diri sebagai korban dari penjarahan.

"Satu sisi aku juga sedang membuat foto kucing kucing ku yang hilang. Saat aku edit foto foto kucingku, aku hanya bisa nangis, rasannya gak kuat, tapi aku harus tetap kuat.”

Cinta Kuya mengeluh, bahwa sebagian kucing-kucingnya yang dibawa oleh Sherina, Indira, dan Dokter Nadira tak diperbolehkan kembali ke keluarganya.

Cinta menambahkan, "Ternyata polisi menangkap salah satu penjarah kucing kita, dimana penjarah kucing itu sudah menjual kucingnya seharga 1,2 juta dan kucing tersebut ternyata ada di sherina."

Bias Kelas dan Pergeseran Narasi Korban

Situasi yang dialami Mariamna Daydoff dan Cinta Kuya adalah kondisi ketika privilese kelas borjuis dipaksa bergeser menjadi korban. Mariamna Daydoff dengan cat air dan lukisan mahalnya, sementara Cinta Kuya dengan kucing-kucing rasnya yang berharga jutaan. Dua hal yang sukar dijamah kelas proletar ketika sama-sama dihadapkan sebagai korban konflik kesenjangan sosial.

"Yang tidak Cinta sadari, ia tengah berada di sudut pihak yang diuntungkan dari sistem yang tidak adil. Sedangkan di sudut lain ada kelompok yang melampiaskan amarah terhadap sistem tersebut, karena telah bertahun-tahun dibuat babak belur oleh tatanan itu," tulis akun @kak.gan dalam unggahan yang bertajuk “Cinta Kuya & Bias Kelas".

Fenomena tersebut memang kerap dijumpai dalam berbagai cerita kalangan elite yang menjadi korban revolusi. Atau setidak-tidaknya, dihadapkan pada situasi kesenjangan yang begitu kontras antara borjuis dengan proletar.

Kutipan "Qu'ils mangent de la brioche" atau "biarkan mereka makan kue" membikin reputasi hedonisme Marie Antoinette kian menguat sehingga dijuluki "Madame Deficit". Hal itu didakwakan kepada Marie Antoinette saat mengomentari rakyat yang kelaparan dan tak mampu membeli roti.

Hal ini benar-benar mampu memantik bara perlawanan rakyat dalam Revolusi Prancis. Buntutnya, leher Marie Antoinette berakhir guillotine pada 16 Oktober 1793, menyusul suaminya, Louis XVI yang dipenggal sepuluh bulan sebelumnya.

Kendati pernyataan itu aslinya dilontarkan filsuf Prancis Jean-Jacques Rosseau dan bukan Marie Antoinette, tetapi daya rusaknya tetap luar biasa.

Pantas saja Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI, menjadi bulan-bulanan warganet usai blunder soal DPR tidak lagi menyediakan rumah dinas kepada anggota dewan, dan diganti dengan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan. Pasalnya, angka tersebut bukanlah nilai yang kecil jika dilihat dari sudut pandang rata-rata penghasilan per bulan penduduk Jakarta.

Bias kelas itu terasa dalam kisah Elien Utrecht, gadis Belanda kelahiran Hindia Belanda tahun 1921. Ketika proklamasi berkumandang pada 17 Agustus 1945, dia justru bingung dengan kebanyakan rakyat Indonesia yang memekik kata-kata yang tak dia pahami artinya.

"Mereka memekikkan kata 'Merdeka'. Aku tak mengenal kata itu, dan aku pun tidak segera mengerti artinya," ujarnya dalam memoar berjduul Melintasi Dua Jaman (2006).

Kemarahan bumiputra yang dibakar semangat kemerdekaan itu disebut-sebut Belanda sebagai "Masa Bersiap". Itu adalah masa ketika rakyat Indonesia kalap dan menyerang tanpa ampun warga kulit putih, Indo, Tionghoa, Ambon, atau siapa pun yang mereka cap sebagai anasir kolonial.

Namun situasi ini menjadi ironi. Sekalipun kemalangan yang mendera kelas elite itu cukup disayangkan, tetapi kausalitas yang membikin mereka jadi korban sulit dihindari. Hal tersebut dikarenakan jurang ketimpangan sosial kian melebar, dan kemarahan tak dapat dibendung lagi.

"Kita boleh bersimpati dengan mereka. Tapi ini sama sekali tidak menghilangkan fakta bahwa kemarahan yang timbul akibat ketidakadilan adalah ledakan yang beralasan," tulis @kak.gan menanggapi.

Rimpang Narasi Antarkelas

Usai Perang Dunia I, kapitalisme bangkit kembali lewat fasisme dan berbagai gerakan politik yang eksploitatif. Di tengah kebingungan dan ketakutan yang mengglobal, sosiologi dan psikologi hadir, seolah-olah dapat memberikan jawaban atas kekacauan yang malang melintang.

Dari perspektif Marxisme, sosiologi dianggap mampu menganalisis fenomena dan prahara yang terjadi di masyarakat. Namun, kritik yang disentil teori sosiologi dianggap sering mengabaikan konflik kelas. Di masa krisis, sosiologi justru kerap digunakan kaum borjuis untuk membenarkan tatanan sosial kapitalisme. Hal tersebut justru mereduksi nilai revolusioner sosiologi untuk menentang sistem yang bermasalah.

"Namun, psikologi dan sosiologi bukan hanya ekspresi kebingungan dan ketidaknyamanan borjuis, tetapi juga, secara bersamaan, memenuhi kebutuhan akan penentuan perilaku massa dan kendali ideologis yang lebih langsung daripada yang diperlukan dalam kondisi yang kurang sentralistis," tulis Paul Mattick dalam Anti-Bolshevik Communism (1978: 109).

Paul Mattick mengkritik psikologi, yang disorot kerap digunakan sebagai narasi borjuis di masa krisis untuk memanipulasi kesadaran. Depresi dan alienasi atas revolusi, akibat kausalitas konflik yang disebabkan kemarahan massa disulap menjadi "gangguan individu". Dengan begitu, spektrum permasalahan general seperti ketimpangan kelas, korupsi, kolonialisme, dll. dipersempit menjadi persoalan pribadi.

"Apa yang bagi satu pihak merupakan 'pemerkosaan massa', bagi pihak lain merupakan wawasan yang baru diperoleh—untuk disistematisasi dan diintegrasikan ke dalam ilmu eksploitasi dan kontrol—ke dalam proses-proses sosial," jelas Paul Mattick menambahkan.

Perbedaan cara pandang narasi juga diakibatkan dari "budaya yang memiliki gelar kebangsawanan", sebagaimana kata Pierre Bourdieu dalam Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1984).

"Bahkan di dalam kelas, definisi dominan tentang cara yang sah untuk menguasai budaya dan karya seni lebih memihak mereka yang memiliki akses awal ke budaya yang sah," tulis Bourdieu.

Dalam hal ini, Bourdieu juga menerangkan lewat konsep habitus dan modal simbolik, bahwa cara pandang kelas atas dibentuk oleh kebiasaan, selera, dan akses yang sama sekali berbeda secara struktural dari rakyat kecil. Maka, sekalipun mereka berusaha "turun ke bawah", kalangan elite tetap membawa lensa borjuis yang tak bisa dilepaskan.

Pengalaman sehari-hari membentuk horizon pemahaman. Mislanya, elite tidak pernah merasakan antre beras raskin, sehingga bahasa mereka tentang "kemiskinan" selalu abstrak.

Dengan begitu, sekalipun elite juga menjadi korban revolusi, maka rimpang narasi tak dapat terelakkan. Situasi ini membingkai dua dunia yang bersebelahan, tetapi tak pernah benar-benar saling memahami.

Seperti ironi psikologi rusa vs harimau. Rusa harus berlari cepat agar tidak mati konyol, dan harimau juga harus menerkam lebih sigap agar tidak mati kelaparan.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi