tirto.id - Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, pernikahan dalam Islam memiliki rukun dan syarat-syarat tertentu yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan tersebut.
Jika rukun dan syaratnya tidak terpenuhi, bisa dipastikan pernikahan bisa batal dan tidak sah bagi kedua mempelai.
Tidak hanya dalam ajaran Islam, aturan perundang-undangan Indonesia juga mengatur perkara nikah ini dalam UU Perkawinan No. 1 Th. 1974.
Di aturan tersebut, prosedur nikah, pencatatan, dan lain sebagainya dijelaskan secara rinci agar tertib dan tercatat dalam legalitas pemerintahan.
Pada dasarnya, jika sudah mampu dan matang secara emosional, seorang muslim dianjurkan menikah untuk menyempurnakan separuh agamanya.
Dari mahligai rumah tangga, pelbagai hal yang selama ini dikategorikan sebagai dosa, jika dilakukan dengan suami atau istrinya dicatat sebagai ibadah di sisi Allah SWT.
Hal ini tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Siapa yang diberi karunia oleh Allah seorang istri yang salihah, berarti Allah telah menolongnya untuk menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah setengah sisanya," (H.R. Baihaqi).
Untuk melangsungkan pernikahan, berikut rukun-rukun dan syarat tertentu harus yang harus dipenuhi kedua mempelai:
Rukun-rukun Nikah dalam Islam
Dilansir dari NU Online, terdapat lima rukun yang harus ada saat akad pernikahan berlangsung.
1. Mempelai Laki-laki
Adanya mempelai laki-laki artinya calon suami yang sudah memenuhi syarat menikah, sudah matang emosionalnya dan mampu memberi nafkah bagi keluarganya.
Pernikahan tanpa adanya mempelai laki-laki dianggap tidak sah. Sebagai misal, pernikahan lesbian yang hanya ada dua mempelai perempuan tidak diakui dalam Islam.
2. Mempelai Perempuan
Mempelai perempuan di sini artinya calon istri yang akan dinikahi harus bukan mahram dan bukan dari kategori perempuan yang haram dinikahi, seperti adanya pertalian darah, hubungan kemertuaan, ataupun saudara sepersusuan.
Selain ini, tanpa adanya mempelai perempuan, pernikahan dianggap batal. Sebagai misal, pernikahan homoseksual yang hanya ada dua mempelai laki-laki tidak diakui dalam Islam.
3. Wali
Wali dalam rukun pernikahan adalah wali bagi mempelai perempuan, yaitu ayah, kakek, paman, dan lain sebagainya.
Orang yang berhak menjadi wali harus ditentukan secara berurutan, mulai dari ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, paman, dan lain sebagainya.
4. Dua Saksi
Hadirnya dua saksi ini juga menentukan sah dan tidaknya pernikahan tersebut. Selain itu, dua saksi ini juga mesti saksi yang adil dan terpercaya.
Setidaknya terdapat enam syarat untuk menjadi saksi pernikahan, yaitu Islam, balig, berakal, merdeka, berjenis kelamin laki-laki, dan adil, sebagaimana dikutip dari Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib (2000) yang ditulis Abu Suja'.
5. Shigat
Shigat artinya ijab kabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya dengan mempelai laki-laki dalam akad pernikahan.
Syarat-syarat Nikah dalam Islam
Sebelum melangsungkan pernikahan, terdapat syarat-syarat yang mesti dipenuhi bagi calon suami atau calon istri.
Dalam uraian "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga" yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan syarat-syarat pernikahan sebagai berikut:
- Sepasang mempelai merupakan bukan mahram bagi yang lainnya. Bagi calon suami atau istri, pasangan yang akan dinikahi bukan termasuk yang haram dikawini, baik itu dari saudara sepersusuan, nasab, dan lain sebagainya.
- Calon suami atau istri harus beridentitas jelas atau mu'ayyan. Bagi kedua mempelai, harus ada kepastian identitas, mulai dari nama, sifat-sifatnya, dan lain sebagainya.
- Bagi mempelai perempuan, ia harus terbebas dari halangan menikah. Sebagai misal, ia tidak dalam masa idah atau masih berstatu istri orang.
- Calon suami atau istri adalah orang yang dikehendaki mempelai. Artinya, pernikahan bukan atas dasar pemaksaan.
"Tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta izinnya,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kewajiban Suami Istri dalam Islam
Secara umum, karena akad pernikahan, terdapat tiga konsekuensi kewajiban yang muncul antara kedua mempelai, mencakup kewajiban timbal-balik suami istri, kewajiban suami terhadap istrinya, dan kewajiban istri terhadap suaminya.
Masing-masing kewajiban dibahas secara rinci sebagai berikut:
1. Kewajiban timbal balik suami istri
- Saling menikmati hubungan fisik dan kasih sayang antara suami istri, termasuk hubungan badan antara keduanya.
- Usai menikah, muncul hubungan mahram di antara kedua pasangan. Karenanya, si istri diharamkan menikah dengan ayah suami dan seterusnya hingga garis ke atas, juga dengan anak dari suami dan seterusnya hingga garis ke bawah, walaupun setelah mereka bercerai. Demikian sebaliknya berlaku pula bagi suami.
- Usai menikah, hukum pewarisan antara keduanya menjadi berlaku.
- Jika memiliki anak, nasab atau jalur keturunan dari keduanya dihubungkan dengan suami.
- Keduanya diwajibkan untuk melakukan pergaulan suami istri dengan bijaksana, rukun, damai dan harmonis.
- Keduanya juga diwajibkan menjaga penampilan fisik. Tubuh yang bersih dan terawat berguna untuk menjaga keutuhan cinta dan kasih sayang di antara suami istri.
- Suami wajib memberikan mahar kepada istrinya. Saking ditekankannya, mazhab Maliki memasukkan mahar sebagai rukun nikah, sedangkan ahli fikih lainnya memasukkannya sebagai syarat sahnya nikah.
- Memimpin rumah tangga.
- Dalam Islam, jika diperlukan suami wajib membimbing dan mendidik istrinya.
- Suami wajib menyediakan nafkah bagi istrinya sesuai dengan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat setempat. Nafkah ini dapat berupa kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lain sebagainya.
- Dalam Islam, istri diwajibkan taat kepada suaminya. Namun, ketaatan tersebut hanya sebatas dalam hal kebaikan. Jika suami meminta istri untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka istri harus menolaknya. Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam kemaksiatan kepada Allah SWT.
- Istri juga berkewajiban untuk menjaga kehormatan diri dan rumah tangga. Ia juga mesti menjaga kehormatan suaminya, terutama jika sang suami tidak ada di rumah. Selain itu, istri juga tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suaminya.
- Kendatipun kewajiban merawat dan mendidik anak itu merupakan hak dan kewajiban suami dan istri sekaligus, tetapi istri mempunyai kewajiban besar merawat dan mendidik anak. Terlebih lagi, istri pada umumnya lebih dekat dengan anak, karena dia lebih banyak tinggal di rumah bersama anaknya. Ia juga mengandung dan menyusui anaknya sehingga lazimnya ikatan emosional anak lebih erat kepada ibu daripada ayahnya.
Tujuan Pernikahan dalam Islam
Dalam uraian "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga" yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, disebutkan beberapa tujuan dilangsungkannya pernikahan.
Tujuan-tujuan ini berupaya untuk mengantarkan seorang muslim agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
1. Memenuhi kebutuhan dasar manusia
Pernikahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan itu terdiri dari kebutuhan emosional, biologis, rasa saling membutuhkan, dan lain sebagainya.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Rasululllah SAW bersabda:
"Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, maka kamu tidak akan celaka," (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Mendapatkan ketenangan hidup.
Dengan menikah, suami atau istri dapat saling melengkapi satu sama lain. Jika merasa cocok, kedua-duanya akan memberi dukungan, baik itu dukungan moriel atau materiel, penghargaan, serta kasih sayang yang akan memberikan ketenangan hidup bagi kedua pasangan.
3. Menjaga akhlak.
Dengan menikah, seorang muslim akan terhindar dari dosa zina, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji [kemaluan]. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena shaum itu dapat membentengi dirinya,” (H.R. Bukhari dan Muslim).
4. Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT
Perbuatan yang sebelumnya haram sebelum menikah, usai dilangsungkan perkawinan menjadi ibadah pada suami atau istri.
Sebagai misal, berkasih sayang antara yang berbeda mahram adalah dosa, namun jika dilakukan dalam mahligai perkawinan, maka akan dicatat sebagai pahala di sisi Allah SWT.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
“ ... 'Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!'. Mendengar sabda Rasulullah para sahabat keheranan dan bertanya: 'Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?' Nabi Muhammad SAW menjawab, 'Bagaimana menurut kalian jika mereka [para suami] bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa?' Jawab para shahabat, 'Ya, benar'. Beliau bersabda lagi, 'Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya [di tempat yang halal], mereka akan memperoleh pahala!' (H.R. Muslim).
5. Memperoleh keturunan yang saleh dan salihah
Salah satu amal yang tak habis pahalanya kendati seorang muslim sudah meninggal adalah keturunan yang saleh atau salihah.
Dengan berumah tangga, seseorang dapat mendidik generasi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, yang merupakan tabungan pahala dan amal kebaikan yang berkepanjangan.
"Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. An-Nahl[16]: 72).
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno
Penyelaras: Yulaika Ramadhani