Menuju konten utama

Bagaimana Hukum Bagi Orang yang Tidak Menikah dalam Islam?

Hukum tidak menikah dalam agama Islam akan dibahas secara lengkap dalam artikel berikut ini.

Bagaimana Hukum Bagi Orang yang Tidak Menikah dalam Islam?
Pasangan pengantin menggunakan masker dan menunjukkan buku nikah saat resepsi pernikahan di Perumahan Grand Sutera Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/7/2020). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/pras.

tirto.id - Hukum tidak menikah dalam Islam diperbolehkan selama ada alasan-alasan tertentu seperti tidak memiliki kelebihan harta untuk menafkahi istri, terhalang suatu penyakit, sibuk menuntut ilmu atau beribadah, hingga khawatir tidak mampu menunaikan hak dan kewajiban pernikahan jika dipaksakan.

Sebelum lebih jauh, tahukan Anda? Saat ini, banyak kaum muda yang memutuskan tidak menikah. Hal tersebut bahkan menjadi tren yang populer berkembang di masa dewasa ini. Meskipun demikian, tidak diketahui secara pasti, apakah hanya sekedar menunda atau memutuskan tidak menikah seumur hidup.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase kaum muda yang memutuskan belum melangsungkan pernikahan mencapai 68,29 persen pada 2023. Jumlah ini terus meningkat sejak 2014, yang tercatat telah mencapai 54 persen.

Bolehkah Tidak Menikah dalam Islam?

Tidak mau menikah dalam Islam diperbolehkan, selama terdapat alasan-alasan tertentu sesuai syariat.

Bahkan, beberapa cendekiawan hingga sastrawan muslim terkenal memilih tidak menikah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Imam Zamakhsyari, Sayyid Ahmad Badawi, Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, karimah Al-Marwaziyah, Rabi'ah Al-Adawiyah, sampai Laila Majnun. Lantas, bagaimana hukum tidak menikah dalam Islam?

Menurut mayoritas ulama, hukum asal nikah adalah mubah, boleh dikerjakan maupun ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum nikah dapat berubah mengikuti keadaan dari tiap-tiap muslim.

Said Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfii menjelaskan hukum menikah yang dapat berubah sebagai berikut:

"Hukum nikah secara syara. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang [secara kasuistik]," (Lihat: Sa‘id Musthafa al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfii, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV: halaman 17).

Hukum nikah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, disesuaikan berdasarkan kondisi seseorang secara khusus serta tidak dapat digeneralisasi. Berikut ini beberapa pembagian hukum nikah:

1. Wajib

Orang yang telah mampu menikah, kemudian khawatir terjerumus dalam perzinaan apabila tidak menunaikannya.

2. Sunah

Orang yang mampu menikah, tapi masih sanggup mengendalikan dirinya untuk tidak terjerumus dalam perzinaan.

3. Makruh

Orang yang berkeinginan atau berhasrat menikah, namun tidak mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungannya baik lahir maupun batin. Hukum makruh ini juga berlaku untuk seseorang yang berwatak tidak menginginkan pernikahan atau penyakit.

Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nur ayat 33 tentang orang-orang yang tidak mampu menikah untuk berusaha sanggup dan senantiasa menjaga kesuciannya selama masa tersebut sebagai berikut:

"Orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya...," (QS. An-Nur [24]: 33).

Mendapatkan nafkah merupakan kewajiban seorang suami kepada istri. Apabila tidak mendapatkan nafkah dalam waktu tertentu, bahkan dapat menuntut melalui pengadilan dan mengambil dengan paksa sebagaimana dijelaskan al-Mausu`ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

"Para pakar fikih telah sepakat bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya sebab adanya akad yang sah sepanjang istri tidak enggan untuk menyerahkan dirinya. Konsekuensinya ketika si suami tidak memenuhi nafkah kepada istrinya bukan karena adanya mani` dari istri itu sendiri maka istri memiliki hak untuk menuntut nafkah dari suami melalui pengadilan dan mengambilnya dengan paksa darinya," (Lihat: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, al-Mausu`ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, cet ke-1, Mesir-Mathabi’ Dar ash-Shafwah, juz, 29, hal. 58).

Meskipun demikian, seorang calon suami tetap dapat menikahi wanita, apabila telah berterus terang atas ketidakmampuannya, kemudian calon istri menerima dengan penuh kerelaan. Imam Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an menjelaskan perkara tersebut sebagai berikut:

“Apabila [calon] suami tahu bahwa ia tidak mampu untuk memenuhi nafkah atau mahar atau sesuatu yang menjadi hak isteri maka tidak halal baginya untuk menikahinya sebelum ia menjelaskannya kepada [calon] istri [bahwa dirinya tidak mampu memenuhi semua yang menjadi haknya], atau sampai ia mengetahui bahwa dirinya mampu untuk memenuhi hak isteri," (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Kairo-Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet ke-1, 1384 H/1964 M, juz, 3, hal. 153).

4. Haram

Orang mampu menikah, namun memiliki niat buruk dalam pernikahan seperti menyakiti perempuan dan sebagainya.

Selain beberapa jenis di atas, Sa'id Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfii menambahkan satu hukum menikah yakni lebih utama tidak menikah, bagi seseorang yang mampu, namun dalam kondisi tidak membutuhkan nikah karena alasan menuntut ilmu dan sebagainya.

Orang yang dianggap mampu atau sanggup menikah adalah yang telah memenuhi rukun nikah dan syarat-syaratnya serta diyakini mampu memberikan hak dan kewajiban sebagai istri maupun suami.

Dalil Tentang Menikah dalam Islam

Meskipun dalam bab sebelumnya diterangkan pembolehan tidak menikah dengan alasan-alasan khusus, Rasulullah SAW begitu menganjurkan pernikahan. Bahkan Rasulullah SAW mencela muslim yang membujang padahal mampu untuk menikah dalam hadis sebagai berikut:

"Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka bukan golonganku," (HR. Bukhari dan Muslim).

Lantas, apakah tidak menikah itu dosa? Hukum tidak menikah seumur hidup atau sementara, tak membuat seseorang berdosa, terlebih adanya alasan-alasan khusus. Berikut ini beberapa dalil tentang anjuran menikah dalam Islam:

"Di antara tanda-tanda [kebesaran]-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari [jenis] dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda [kebesaran Allah] bagi kaum yang berpikir," (QS. Ar-Rum [30]: 21).

"Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap [hak-hak] perempuan yatim [bilamana kamu menikahinya], nikahilah perempuan [lain] yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, [nikahilah] seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. (QS. An-Nisa [4]: 3).

"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang abadi [pahalanya] adalah lebih baik balasannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan," (QS. Al-Kahf [18]: 46).

"Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya," (HR. Bukhari No. 4779).

Kenapa Orang Memilih untuk tidak Menikah?

Terdapat beberapa alasan seseorang memilih untuk tidak menikah seperti masalah tanggung jawab, keuangan, dan keterikatan.

Selain itu, terdapat faktor lain seperti pengalaman buruk tentang pernikahan berupa perceraian orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, perselingkuhan, dan sebagainya.

Baca juga artikel terkait MENIKAH atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dhita Koesno