Menuju konten utama

Hukum Menikah di Bulan Dzulkaidah Menurut Islam

Bagaimana hukum menikah di Bulan Dzulkaidah menurut Islam? Simak penjelasannya berikut ini.

Hukum Menikah di Bulan Dzulkaidah Menurut Islam
Ilustrasi menikah. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dalam kepercayaan sebagian masyarakat, prosesi pernikahan terhantung pada bulan atau waktu tertentu yang dianggap baik. Pertimbangan pada aspek tersebut dianggap perlu karena menyangkut pemaknaan dari prosesi pernikahan.

Masyarakat Jawa menjadi salah satu kelompok sosial di Indonesia yang mempertimbangkan waktu-waktu tertentu sebelum menggelar hajatan seperti pernikahan. Hal ini diikat dalam bentuk tradisi dan budaya yang sudah berlangsung lama.

Pemilihan waktu yang dianggap baik untuk menghelat pernikahan dipengaruhi oleh latar sosial dan kultural dalam memaknai bulan-bulan di kalender Jawa. Sebagaimana diketahui, terdapat 12 bulan dalam setahun.

Penamaan bulan diadaptasi dari bulan-bulan dalam kalender Islam. Mulai dari bulan Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dzulqoidah, dan Besar.

Di antara bulan-bulan dalam kalender Jawa, bulan Sura (Muharam), Sapar (Shafar), Mulud (Rabiul Awal), Rejep/Rajab, Sya’ban, dan Puasa (Ramadhan) masuk sebagai bulan penanda berkah. Artinya, momen tersebut dianggap waktu yang baik untuk menggelar hajatan seperti pernikahan.

Lantas, bagaimana hukum menikah di bulan Dzulkaidah?

Hukum Menikah di Bulan Dzulkaidah (Kapit)

Dalam kalender Jawa, bulan Dzulkaidah diartikan sebagai bulan kesesel olo. Bahasa Sunda menyebut bulan tersebut dengan istilah Hapit atau Apit. Sementara Bahasa Arab memiliki pemaknaan berbeda.

Dilansir dari laman Kementerian AgamaMusi Rawas Utara, Dzulkaidah berasal dari kata hafidz, dengan arti menjaga atau memelihara. Dalam konteks ini, arti tersebut memiliki maksud menjaga atau memlihara kesucian bulan ini dari peperangan atau larangan.

Pasalnya, bulan Dzulkaidah tergolong sebagai salah satu bulan suci atau mulia, disebut dengan Syahrul Haram. Selain Dzulkaidah, bulan Rajab, Dzulhijah, dan Muharam juga termasuk bulan Syahrul Haram.

Berkaitan dengan hukum menikah di bulan Dzulkaidah, kepercayaan yang berkembang di masyarakat Jawa menganggap waktu tersebut tergolong sebagai momen buruk. Hal ini didasari oleh sejumlah hal.

Masih mengacu artikel di laman Kementerian AgamaMusi Rawas Utara, pemaknaan buruk bulan Dzulkaidah bisa timbul dari adanya anggapan bahwa menikah di bulan Dzulkaidah atau Kapit akan menyebabkan rezeki seret dan berakibat pada perceraian.

Pendapat lain menyatakan bahwa Dzulkaidah merupakan bulan datangnya banyak bala (bahaya). Karena itu, ada larangan untuk menggelar hajatan di bulan ini, seperti pernikahan.

Meski begitu, sudah ada bantahan yang menganggap larangan menikah di bulan Dzulkaidah tidak bisa dibenarkan. Salah satunya pendapat yang menengarai adanya kesalahan persepsi di antara masyarakat Jawa.

Kesalahan persepsi itu tertuju pada kata Qo'dah (dalam kata Dzulqa'dah) yang bermakna duduk. Bahasa Jawa mengenal posisi itu dengan istilah silo atau duduk bersila, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang berzikir.

Akan tetapi, orang Jawa justru memaknai Dzulkaidah dengan makna selo. Sebagai akronim, selo memiliki arti seselane olo atau tersisipi hal-hal jelek/tidak baik. Padahal, pemaknaan itu bisa dialihkan ke hal-hal positif, seperti bulan untuk meningkatkan ibadah atau zikir kepada Allah Swt.

Islam sejatinya tidak mengenal bentuk larangan untuk melangsungkan pernikahan. Bahkan, Islam memandang semua hari termasuk baik, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik berikut ini:

“Janganlah kalian menjauhi sebagian hari di dunia ini. Tatkala hendak melakukan sebagian pekerjaan, kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan itu pada hari apapun dengan sesukamu. Sebab sebenarnya hari-hari itu semuanya milik Allah, tidak akan menimbulkan malapetaka dan tidak pula bisa membawa manfaat apapun”.

Islam memang menentapkan larangan untuk orang yang berhubungan badan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, larangan jimak di siang hari pada bulan Ramadhan. Hadis riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan An-Nasa'i juga mengatur larangan orang menikah, melamar, dan berhubungan badan, namun selama dalam kondisi ihram.

Di luar itu, tak ada larangan spesifik yang menyangkut waktu pelaksanaannya. Terlebih, larangan untuk menikah di bulan Dzulkaidah. Dalam perspektif syar'i, pernikahan dapat dilakukan kapan saja dan di bulan apa saja.

Bulan yang Baik untuk Menikah Menurut Islam

Bulan yang baik untuk menikah menurut Islam sebenarnya berlaku untuk semua bulan. Sebab, dalam menyelenggarakan hajatan seperti pernikahan, tak ada ketetapan mengenai bulan buruk atau sial dalam kalender Islam.

Laman NU Online menyebut bahwa waktu pernikahan yang didasarkan pada kebiasaan atau adat istiadat masih diperbolehkan oleh sebagian ulama. Namun, dengan catatan, dirinya tetap meyakini hanya Allah Swt yang punya otoritas menentukan baik atau buruknya pelaksanaan tersebut.

Kendati demikian, terdapat bulan dalam Islam yang dianggap istimewa untuk menggelar pernikahan, yaitu bulan Syawal. Bulan ini menjadi momentum yang biasa dimanfaatkan umat Islam untuk menghelat hajatan tersebut.

Jika mengacu kalender Islam atau kalender Hijriah, Syawal terhitung sebagai bulan kesepuluh. Syawal juga dianggap bulan kemenangan karena umat Islam baru saja merampungkan ibadah puasa wajib di bulan sebelumnya, yakni Ramadhan.

Syawal menandai momentum Nabi Muhammad SAW melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Aisyah. Langkah ini dianggap sebagai upaya Nabi untuk menepis anggapan di zaman jahiliyah bahwa Syawal adalah bulan yang membawa kesialan.

"Sayyidah Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal dan mengadakan malam pertama pada bulan Syawal. Istri Rasulullah mana yang lebih beruntung ketimbang diriku di sisi beliau?" (HR Muslim).

Akan tetapi, perlu dicatat, bahwa tak ada keharusan untuk menikah di bulan Syawal. Maraknya pernikahan di bulan Syawal merupakan fenomena yang terkait dengan kemantapan masing-masing orang. Karena itu, sah-sah saja bila ada pasangan yang lebih memilih menikah di luar bulan syawal.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Ahmad Yasin

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ahmad Yasin
Penulis: Ahmad Yasin
Editor: Yulaika Ramadhani