Menuju konten utama

Pengertian Mahar Pernikahan, Hukum dan Ketentuannya

Berikut penjelasan singkat mengenai mahar pernikahan, hukum dan ketentuan memberikan mahar. Simak selengkapnya di artikel ini.

Pengertian Mahar Pernikahan, Hukum dan Ketentuannya
Pelaku usaha mengerjakan mas kawin pernikahan atau mahar empat dimensi pesanan di galeri miliknya di Palembang, Sumsel, selasa (19/4). antara foto/ feny selly/pd/16

tirto.id - Pernikahan dalam Islam tidak sekadar merupakan ikatan batin antara dua insan, melainkan juga sebuah institusi yang sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan tanggung jawab.

Salah satu aspek penting yang melibatkan kedua belah pihak dalam akad nikah adalah mahar pernikahan.

Mahar pernikahan dalam Islam dapat dimaknai sebagai simbol dari keseriusan, tanggung jawab, dan cinta dalam sebuah pernikahan.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Islam menekankan bahwa penentuan mahar dapat dilakukan secara musyawarah antara kedua belah pihak, calon suami dan istri.

Untuk memahami lebih dalam tentang mahar pernikahan dalam Islam, simak artikel berikut yang membahas definisi mahar pernikahan, hukum mengucapkan mahar ketika ijab kabul, serta ketentuan mahar pernikahan.

Apa Itu Mahar Pernikahan?

Mahar dalam konteks pernikahan berasal dari bahasa Arab “mahran” atau kata kerja, yang memiliki bentuk abstrak atau mashdar. Sementara itu, secara etimologi, Abdul Rahman Ghozali dalam buku Fiqih Munakahat (2003) menyebut mahar sebagai “maskawin”.

Adapun secara terminologi, mahar pernikahan diartikan sebagai pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai tanda ketulusan hati calon suami untuk menumbuhkan rasa cinta kasih di hati calon istri.

Mahar pernikahan pada dasarnya bukanlah sekadar formalitas, melainkan simbol kesiapan dan kesediaan suami untuk memberikan nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.

Selaras dengan hal tersebut, Beni Ahmad Saebani dalam Fiqh Munakahat 1 (2001) menjelaskan bahwa mahar merupakan pemberian yang sesuai dengan permintaan atau kesepakatan calon pasangan.

Dalam konteks hukum perkawinan Islam, pihak mempelai laki-laki diwajibkan memberikan mahar pada kepada pihak mempelai perempuan.

Bentuk mahar pernikahan dalam Islam dapat berupa harta atau manfaat, namun jenis dan jumlahnya tidak ditetapkan secara tepat, melainkan disepakati melalui musyawarah antara kedua mempelai.

Dalam hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa “sebaik-baik maskawin adalah seringan-ringannya."

Hal tersebut mengindikasikan bahwa mahar tidak seharusnya menjadi beban berat bagi laki-laki. Pernikahan, pada dasarnya, bukanlah transaksi jual beli, dan mahar bukanlah harga yang menentukan nilai seorang wanita.

Hukum Mengucapkan Mahar Ketika Ijab Kabul

Dalam konteks pernikahan Islam, ketika akan melangsungkan akad nikah, penting bagi calon suami untuk memberikan mahar atau maskawin kepada calon istrinya sesuai dengan yang disepakati.

Dikutip dari NU Online, menurut Ibnu Qasim dalam kitab Fathul Qarib, hukum mengucapkan mahar ketika ijab kabul adalah sunnah. Penyebutan mahar tersebut dapat dilakukan dengan menyebutkan harta yang mampu diberikan dan rela diterima oleh calon istri.

Sunnahnya, mahar tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham murni, sebagaimana keterangan dalam Fathul Qarib.

Meskipun mahar merupakan aspek penting dalam pernikahan, mayoritas ulama berpendapat bahwa mahar bukanlah penentu sah atau tidaknya pernikahan, karena tidak termasuk dalam rukun nikah.

Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam al-Fiqhul Islami, kecacatan atau kesalahan dalam mahar tidak mempengaruhi sahnya akad nikah.

Namun, apabila terjadi kesalahan dalam penyebutan mahar saat ijab kabul, misalnya kurang dari yang disepakati, akad nikah dianggap tidak sah. Sementara bila mahar yang disebutkan lebih dari yang sebenarnya diberikan, akad tetap sah.

Dalam kasus mahar yang disebut sesuai dengan kenyataan namun jumlah yang diberikan setelah akad kurang dari yang disebut, maka mahar tersebut tetap menjadi hak istri. Setelah menikah, suami berkewajiban membayar sisanya.

Kewajiban suami untuk membayar mahar sesuai dengan yang disebutkan saat akad nikah berlangsung dapat gugur apabila sang istri merelakan maharnya tidak perlu dilunasi.

Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam ayat 237 surat Al-Baqarah, yang menyatakan bahwa jika pasangan bercerai sebelum hubungan badan terjadi dan mahar sudah ditentukan, istri berhak mendapat setengah dari mahar tersebut, kecuali jika istri membebaskannya.

Ketentuan Mahar Pernikahan

Untuk memberikan mahar pernikahan dalam Islam, calon suami perlu memperhatikan sejumlah ketentuan tertentu.

Dinukil dari buku Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam (2012) oleh Ali Yusuf As-Subki, beberapa ketentuan mahar pernikahan yang harus dipenuhi antara lain:

1) Benda berharga

Mahar harus berupa harta atau benda yang memiliki nilai. Mahar pernikahan tidak dianggap sah jika diberikan dalam bentuk yang tidak memiliki nilai.

Walaupun tidak ada ketentuan khusus mengenai jumlah mahar, namun jika mahar tersebut bernilai sekalipun dalam jumlah yang sedikit, tetap dianggap sah.

2) Barang suci dan bermanfaat

Mahar harus berupa barang yang suci dan dapat dimanfaatkan. Mahar pernikahan tidak dianggap sah jika diberikan dalam bentuk khamer, babi, atau darah, karena barang-barang tersebut dianggap haram dan tidak memiliki nilai.

3) Barang bukan hasil ghasab

Mahar tidak boleh berupa barang hasil ghasab, yaitu mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Meskipun memberikan mahar dengan barang hasil ghasab dianggap tidak sah, akad nikah tetap dianggap sah.

4) Barang dengan keadaan tidak jelas

Mahar tidak boleh diberikan dalam bentuk barang yang keadaannya tidak jelas atau tidak disebutkan jenisnya.

Oleh karena itu, mahar harus berupa benda yang memiliki nilai, suci, bukan barang hasil rampasan, dan memiliki keadaan yang jelas.

Hal ini dikarenakan mahar menjadi salah satu tolak ukur keseriusan calon suami terhadap calon istri yang akan dinikahinya.

5) Tidak ada batasan nilai mahar

Penentuan jumlah mahar disesuaikan dengan kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Islam tidak menganjurkan mahar yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, tetapi lebih menekankan pada kesepakatan dan kemampuan bersama.

Baca juga artikel terkait AGAMA ISLAM atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Umi Zuhriyah
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Dhita Koesno