tirto.id - Belakangan, kisah pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) ramai dipublikasikan para pasangan di media sosial. Bagi mereka, acara sakral ini seharusnya tak perlu buang-buang uang.
Banyak muda-mudi masa kini pilih berhemat demi masa depan. Dengan menikah sederhana, tabungan lantas bisa digunakan untuk “modal” memulai rumah tangga.
Ada yang bilang menikah tak perlu ribet, cukup perjalanan 45 menit ke KUA dan jajan batagor setelahnya. Ada juga yang bercerita cukup merayakan nikah dengan foto “sah” berlatar belakang tukang sayur atau kebun pisang. Kebanyakan cuma ditemani keluarga inti dan sahabat.
Unggahan-unggahan tersebut mengundang beragam komentar. Kebanyakan setuju bahwa menikah memang tak perlu megah karena yang terpenting adalah perjalanan setelahnya.
Survei bertajuk “Tren Pernikahan di Indonesia” (2016) yang dilakukan Bridestory turut menyebut tren pernikahan belakangan ini memang bergeser ke skala kecil dengan tamu lebih sedikit.
“Sebagian besar pasangan masa kini adalah pembuat keputusan utama (70,6 persen) dalam perencanaan pernikahan mereka, mungkin karena 52,6 persen membiayai pernikahan mereka sendiri,” tulis Bridestory.
Namun menikah cuma di KUA atau dalam skala kecil juga tak semudah unggahan muda-mudi tersebut. Tak semua pasangan bisa memilih demikian karena pernikahan dalam budaya kita terkait dengan peran sosial dan adat.
Dalam pernikahan adat Minangkabau, misalnya, tradisi uang suduik merupakan simbol penghargaan kepada keluarga perempuan dan pengagungan keluarga laki-laki. Semakin besar uang suduik, semakin tinggi harga diri laki-laki beserta keluarganya di mata keluarga perempuan.
Berbagai macam suku di Indonesia punya filosofi masing-masing mengenai upacara pernikahan adat mereka. Daftarnya bisa semakin panjang jika dijabarkan, tapi yang jelas, keluarga memegang peranan penting dalam prosesi pernikahan anak-anaknya. Maka jangan heran pernikahan adat bisa menghabiskan bujet yang lebih besar ketimbang konsep modern.
“Pihak dari keluarga calon menginginkan pernikahan dengan konsep tradisional Jawa,” kata Margareta, seorang staf senior sebuah perusahaan teknologi di Jakarta.
Margareta merupakan bagian dari masyarakat kelas menengah sekaligus generasi milenial yang menganggap pernikahan sebagai bagian dari rencana masa depan.
Dia pernah berharap pernikahannya berjalan dengan konsep sederhana, tidak muluk-muluk. Dia hanya ingin mengundang beberapa teman beserta kerabat dekat. Sebuah konsep pernikahan modern yang saat ini sangat lazim ditemui di beberapa kota besar. Calon suaminya pun tak keberatan. Sayang rencana tersebut hanya menjadi angan karena urun tangan keluarga besar.
“Jadi, ya, bagaimana lagi,” kata Margareta pasrah.
Nikah Megah Bukan Jaminan Langgeng
Melihat survei Bridestory, banyak pasangan masa kini menginginkan pernikahan yang sederhana. Namun keinginan mereka tak selalu terkabul karena alasan keluarga. Meski pernikahan dibiayai oleh calon mempelai sendiri, tak sedikit orang tua atau keluarga yang turut andil dalam pesta pernikahan anaknya.
“Sebanyak 22,2 persen orang tua pria, 18,2 persen orang tua perempuan, dan 2,2 persen anggota keluarga lain urun biaya dalam pesta pernikahan,” tulis laporan tersebut. Jadi, karena sudah ikut urun biaya, mereka merasa wajar untuk ikut ambil keputusan.
Mereka berpikir bahwa penting untuk memberi “masukan” kepada anak soal hal-hal penting dalam hidup. Itu termasuk urusan jodoh karena mereka sudah pernah menjalani fase tersebut.
“Hal ini menjadi bagian dari budaya kolektif Asia karena nilai-nilai hierarki, kekuasaan, dan rasa hormat,” tulisnya dalam laman Psychology Today.
Nah, di bagian pesta pernikahan, sebagian orang tua juga merasa perlu andil. Bahkan ada yang bilang, pesta pernikahan adalah hajatan orang tua. Bagi para orang tua, penting untuk tidak tampil sederhana karena bisa-bisa kalah saing dengan tamu. Katering dan dekorasi ruangan juga tak boleh disepelekan: kudu enak, unik, dan cantik.
Jangan sampai tamu undangan—yang sebagian besar tidak dikenal mempelai—pulang dengan mengingat atau menggunjingkan cela pada pesta. Bagi mereka, itu akan jadi aib keluarga besar.
Padahal, pernikahan mewah juga tak menjamin langgengnya pernikahan. Malah sebaliknya, penelitian Andrew Francis dan Hugo Mialon dari Emory University (2014) menunjukkan bahwa semakin mahal biaya pernikahan dan cincin kawin, semakin pendek usia pernikahan.
Kedua peneliti membuat kesimpulan bahwa di Amerika Serikat, risiko perceraian dalam pernikahan yang memakan biaya lebih dari $20 ribu 1,6 kali lebih tinggi ketimbang pasangan dengan biaya pernikahan antara $5-10 ribu. Risiko tersebut semakin rendah ditemukan pada pasangan dengan biaya pernikahan kurang dari $1.000.
Kelompok pasangan terakhir ($1.000) juga memiliki penurunan risiko stres 82-93 persen dibanding mereka yang menggelar pesta berbiaya antara $5-10 ribu.
Untuk urusan membeli cincin pernikahan, pasangan yang belanja lebih dari $4.000 memiliki risiko bercerai hingga 1,3 kali lebih besar dibanding kelompok dengan harga cincin di bawahnya. Namun mereka yang membeli cincin di bawah $1.000 juga memiliki risiko perceraian yang sama.
Yang terpenting dari pernikahan bukanlah masalah sederhana atau megahnya pesta, melainkan kesiapan pasangan dalam sisi finansial dan juga mental.
Sebab, menikah memang bukan perkara satu hari saja, tapi mengelola sisa hidup bersama orang yang sama.
Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang