Menuju konten utama

Apa Itu Nikah Misyar dan Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Artikel berikut ini akan mengulas hal yang berkaitan dengan nikah misyar, seperti pengertian, hukum dan syaratnya.

Apa Itu Nikah Misyar dan Bagaimana Hukumnya dalam Islam?
Ilustrasi. Apa Itu Nikah Misyar dan Bagaimana Hukumnya dalam Islam? (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Nikah misyar menjadi salah satu jenis pernikahan yang tidak umum, bahkan keberadaanya hingga kini masih menjadi perdebatan di antara kalangan ulama. Lantas, bagaimana sejarah kemunculan hingga hukum nikah misyar dalam Islam?

Nikah misyar bukanlah perkara yang ada sejak zaman Rasulullah SAW. Model pernikahan ini muncul secara legal pada 1999 di Arab Saudi dan Mesir. Melalui fatwa yang dikeluarkan Abdullah bin Baz, Arab Saudi meresmikan praktik nikah misyar. Sedangkan di Mesir, nikah misyar diresmikan oleh Mufti Mesir Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi. Hingga kini, praktik nikah misyar semakin meluas seperti di Qatar dan Negara Teluk lainnya.

Dilansir laman NU Online, nikah misyar muncul sebagai bentuk penolakan kelompok Wahabis terhadap nikah mut'ah yang dilakukan kelompok Syiah. Meskipun bentuk penolakan, kedua model pernikahan tidaklah jauh berbeda.

Pada nikah mut'ah, disebutkan secara gamblang tenggang waktu pernikahan akan berlangsung seperti seminggu, sebulan, hingga setahun. Sedangkan, tenggang waktu pernikahan dalam nikah misyar tidak diucapkan secara verbal, melainkan berdasarkan rencana di dalam hati mempelai laki-laki.

Pengertian Nikah Misyar

Yusuf Qardhawi mengakui tidak mengetahui makna misyar secara pasti. Namun, beliau menjelaskan, misyar bukanlah kata baku, melainkan bentuk 'amiyyah yang berkembang di sebagian Negara Teluk, yang mempunyai pengertian melewati sesuatu tanpa menyempatkan tinggal dalam waktu yang lama.

Nikah misyar menurut Yusuf Qardhawi adalah pernikahan di mana seorang laki-laki (suami) mendatangi kediaman (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi pada istri kedua, sedangkan laki-laki ini memiliki istri lain di rumah yang dinafkahi.

Ali Abd al-Ahmad dalam tulisan Nikah al-Misyar fi al-Fiqh al-Islam menjelaskan, nikah misyar adalah pernikahan yang terjadi berdasarkan akad syariat antara laki-laki dan perempuan yang mereka berdua sepakat melakukan pergaulan tanpa adanya nafkah selamanya.

Dari kedua pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan, nikah misyar merupakan pernikahan yang membuat perempuan tidak mendapatkan hak tempat tinggal, nafkah, dan kelangsungan untuk tinggal bersama.

Meskipun ada hak yang tidak diperoleh perempuan, syarat hingga rukun nikah misyar tetap sama dengan nikah konvensional seperti ada wali, saksi, kedua mempelai, kerelaan, ijab-qobul, hingga mahar. Hal ini juga dijelaskan dalam pandangan Syeikh Abdullah bin Sulaiman bin Mani', perbedaan nikah misyar dengan pernikahan umum, hanyalah kerelaan istri untuk melepas hak dalam pembagian hari dan nafkah.

Hukum Nikah Misyar dalam Islam

Hukum nikah misyar dalam Islam masih menjadi perdebatan ulama. Perdebatan terjadi karena beberapa perbedaan mulai manhaj, kriteria keabsahan nikah, pemahaman terkait wajib tidaknya sosialisasi suatu pernikahan, penentuan syarat-syarat yang membatalkan pernikahan.

Terlepas dari itu, para ulama dikelompokan menjadi tiga berdasarkan pandangannya mengenai hukum nikah misyar sebagai berikut:

1. Kelompok yang membolehkan

Sejumlah ulama yang membolehkan, memandang nikah misyar sebagai pernikahan syar'i yang sah hukumnya. Mereka berpandangan pencabutan hak istri tidak termasuk rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan.

Contoh sejumlah ulama yang memperbolehkan nikah misyar di antaranya Shaykh ‘Abd al-‘Azìz bin Baz, Shaykh ‘Abd al-‘Azìz Alù al-Shaykh (Mufti Kerajaan Arab Saudi), Yûsuf al-Qardhàwì, Syeikh ‘Ali Jum’ah al-Shafì, Wahbah Zuhaylì, Ahmad al-Hajjì al-Kurdi, Shaykh Su’ùd al-Shuraym (imam dan khatib Masjid al-Haram), hingga Shaykh Yûsuf al-Duraywish.

Meskipun demikian, tidak semua yang membolehkan nikah misyar menganjurkan praktiknya. Ada sebagian ulama yang membolehkan, menghukumi nikah misyar dengan makruh. Sebagai contoh, Yusuf al-Qardhawi menegaskan dirinya bukan orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, pernikahan misyar sah karena memenuhi semua rukun dan syarat seperti dalam pernikahan konvensional (daim). Al-Qardhawi juga memandang pernikahan misyar sebagai solusi untuk perempuan-perempuan yang tidak bersuami dan perawan-perawan yang lewat masa nikah.

2. Kelompok yang mengharamkan

Kelompok ini memandang nikah misyar sebagai pernikahan yang haram karena menunjukkan upaya menyembunyikan dan merahasiakan dari istri pertama atau khalayak umum. Mereka juga berpandangan, nikah misyar tidak mewujudkan orientasi pernikahan seperti hidup bersama, merajut kasih sayang, hingga melanjutkan keturunan.

Hal yang paling buruk, nikah misyar mengandung unsur penghinaan kepada kaum wanita, karena dapat menggugurkan hak istri seperti pemenuhan kebutuhan biologis, nafkah, dan sebagainya. Contoh sejumlah ulama yang mengharamkan nikah misyar di antaranya Nasìr al-Dìn al-Albānî, Muhāmmad Zuhaylì, ‘Ali Qurrah Dagi, dan Ibrāhìm Fādhil.

3. Kelompok yang tawaqquf

Kelompok ini memilih untuk tawaqquf (abstain), yakni tidak memberikan suara mengenai hukum nikah misyar. Mereka memandang dalil yang digunakan untuk membolehkan atau mengharamkan nikah misyar belum jelas dan meyakinkan. Contoh ulama dalam kelompok ini adalah Syekh Muhammad bin Shalih al-Uthaymin.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Edusains
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Dhita Koesno