Menuju konten utama

Urutan Wali Nikah dan Syarat-Syaratnya dalam Pernikahan Islam

Urutan wali nikah harus dipenuhi secara hierarkis. Ketiadaan wali nikah menjadikan prosesi pernikahan dianggap tidak sah. Berikut ini penjelasannya.

Urutan Wali Nikah dan Syarat-Syaratnya dalam Pernikahan Islam
Pasangan pengantin Novi Herdjanto (kiri) dan Mellawati Isnoer melangsungkan prosesi akad nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/4/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

tirto.id - Urutan wali nikah perlu dipahami dalam prosesi perkawinan lantaran harus dipenuhi secara hierarkis. Lain itu, tidak sembarangan orang berhak menjadi wali nikah.

Salah satu rukun nikah yang wajib dipenuhi agar perkawinan dinyatakan sah adalah adanya wali yang menikahkan mempelai perempuan. Ketiadaan wali nikah menjadikan prosesi pernikahan tersebut batal dan dianggap tidak sah.

Wali nikah, sebagaimana dilansir dari NU Online, adalah sebutan bagi pihak laki-laki dari keluarga perempuan yang bertugas mengawasi keadaan dan kondisi mempelai dalam prosesi perkawinan. Perwalian, secara syariat merupakan perkataan pada orang lain dan pengawasan atas keadaan si perempuan yang dinikahkan.

Rukun-rukun Nikah dalam Islam

Dilansir dari NU Online, terdapat lima rukun yang harus ada saat akad pernikahan berlangsung.

1. Mempelai Laki-laki

Adanya mempelai laki-laki artinya calon suami yang sudah memenuhi syarat menikah, sudah matang emosionalnya dan mampu memberi nafkah bagi keluarganya.

Pernikahan tanpa adanya mempelai laki-laki dianggap tidak sah. Sebagai misal, pernikahan lesbian yang hanya ada dua mempelai perempuan tidak diakui dalam Islam.

2. Mempelai Perempuan

Mempelai perempuan di sini artinya calon istri yang akan dinikahi harus bukan mahram dan bukan dari kategori perempuan yang haram dinikahi, seperti adanya pertalian darah, hubungan kemertuaan, ataupun saudara sepersusuan.

Selain ini, tanpa adanya mempelai perempuan, pernikahan dianggap batal. Sebagai misal, pernikahan homoseksual yang hanya ada dua mempelai laki-laki tidak diakui dalam Islam.

3. Wali

Wali dalam rukun pernikahan adalah wali bagi mempelai perempuan, yaitu ayah, kakek, paman, dan lain sebagainya.

Orang yang berhak menjadi wali harus ditentukan secara berurutan, mulai dari ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, paman, dan lain sebagainya.

4. Dua Saksi

Hadirnya dua saksi ini juga menentukan sah dan tidaknya pernikahan tersebut. Selain itu, dua saksi ini juga mesti saksi yang adil dan terpercaya.

Setidaknya terdapat enam syarat untuk menjadi saksi pernikahan, yaitu Islam, balig, berakal, merdeka, berjenis kelamin laki-laki, dan adil, sebagaimana dikutip dari Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib (2000) yang ditulis Abu Suja'.

5. Shigat

Shigat artinya ijab kabul yang diucapkan antara wali atau perwakilannya dengan mempelai laki-laki dalam akad pernikahan.

Pemenuhan rukun nikah untuk mendatangkan wali ini dirujuk dari hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak [sah] pernikahan kecuali dengan wali yang berakal dan adil," (H.R. Ahmad).

Selain itu, tidak sembarang orang berhak menjadi wali nikah. Ada juga urutan yang harus dipenuhi secara hierarkis. Misalnya, laki-laki yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah mempelai perempuan. Jika ayah tidak bisa atau tidak memenuhi syaratnya, baru bisa digantikan dengan wali nikah yang lain sesuai urutan yang berlaku.

Urutan Wali Nikah

Dalam "Kedudukan Wali dalam Pernikahan: Studi Pemikiran Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Praktiknya di Indonesia" yang dimuat di jurnal Al-'Adalah, Rohmat (2011) menuliskan urutan wali nikah yang berlaku sesuai syari'at Islam adalah sebagai berikut:

  1. Ayah
  2. Kakek
  3. Saudara laki-laki seayah seibu (sekandung)
  4. Saudara laki-laki seayah
  5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
  6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
  7. Paman sekandung
  8. Paman seayah
  9. Anak laki-laki dari paman sekandung
  10. Anak laki-laki dari paman seayah
  11. Wali hakim.

Urutan wali nikah di atas ditarik dari nasab (jalur keturunan) dari pihak ayah, dan bukan saudara seibu. Pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali dinikahkan oleh wali yang dekat dari jalur keturunan tersebut. Jika tidak ada, maka keadaan ini diampu oleh wali jauh, dan jika masih tidak ada, maka mempelai dinikahkan oleh penguasa atau wali hakim.

Wali hakim menjadi berlaku ketika semua urutan di atas sudah tidak bisa dipenuhi lagi karena sebab-sebab tertentu. Misalnya, tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah. Bagaimanapun juga, tidak semua orang bisa menjadi wali dalam pernikahan, kecuali memenuhi syarat-syaratnya.

Oleh sebab itu, Kantor Urusan Agama (KUA) pun biasanya menyarankan untuk mendahulukan wali nasab di atas, sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa wali hakim dari KUA.

Hal ini tertera dalam aturan pasal 23 ayat 1 dan 2 KHI: "Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut."

Syarat Menjadi Wali Nikah

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menjadi wali nikah. NU Online melansir lima syarat yang harus terpenuhi agar seseorang layak menjadi wali nikah.

  • Beragama Islam. Seorang wali nikah haruslah muslim. Oleh karena itu, jika ia kafir, maka pernikahan tidak sah, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu.
  • Balig. Syarat selanjutnya wali nikah harus balig dan cukup umur. Artinya, wali nikah itu bisa bertanggung jawab untuk urusan orang lain, termasuk menikahkan perempuan perwaliannya.
  • Berakal sehat, yang artinya, tidak mengalami gangguan jiwa, tidak mabuk, serta sadar atas perkara yang ia kerjakan.
  • Laki-laki. Melalui persyaratan ini, maka pernikahan dianggap tidak sah apabila wali nikah berjenis kelamin perempuan atau seseorang yang berkelamin ganda.
  • Adil, yang artinya bisa menjaga diri, kehormatan, dan martabatnya. Kebalikan dari orang yang adil adalah fasik.

Baca juga artikel terkait MENIKAH atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Ibnu Azis & Yulaika Ramadhani