tirto.id - Hampir semua umat Islam di manapun akan menjawab secara jitu jika ditanya siapa ayah dan ibu Nabi Muhammad. Pasangan suami-istri itu barangkali menjadi orang tua yang paling dikenal di muka bumi.
Abdullah, ayahanda Nabi Muhammad, adalah anak dari Abdul Mutalib dengan ibu bernama Fatimah. Dari garis silsilah, keluarga Abdullah merupakan zuriah yang mendapat kehormatan sebagai juru kunci Kakbah. Keluarganya memang tidak sekaya keluarga-keluarga dari bani lain, tapi status penjaga Kakbah menjadi prestise tersendiri.
Secara harfiah, ‘Abdullah’ bermakna ‘hamba Allah’. Barangkali Abdul Mutalib, sebagai penjaga Kakbah, mengharapkan sang anak kelak benar-benar menjadi pelayan Tuhan.
Abdullah tumbuh besar bersama 12 saudara-saudarinya yang lahir dari ibu yang berbeda. Mutalib memiliki enam istri. Lima orang dari keenamnya melahirkan keturunan. Di antara anak-anak Mutalib, ada yang kelak menjadi pelindung Nabi Muhammad paling utama, yaitu Abu Talib dan Hamzah. Ada pula yang menjadi penentang Nabi Muhammad paling gigih, yakni Abdul Uzza (kemudian kita mengenalnya sebagai Abu Lahab).
Sebenarnya tidak ada sumber primer (sumber sezaman) yang bisa digunakan untuk menelaah lebih lanjut tentang peri kehidupan Abdullah. Referensi tertua yang dirujuk para sejarawan Islam awal untuk mengetahui tentang hal itu adalah Sirah Rasulullah karya Ibn Ishaq yang ditulis satu abad lebih setelah Nabi Muhammad meninggal. Sementara sumber-sumber tradisonal macam Sirah, apalagi bersifat sekunder, mempunyai kelemahan tersendiri dalam hal faktualitas.
Tapi bagaimanapun, lantaran ketiadaan sumber primer dan tradisi penyusunan Sirah dengan berdasarkan metode sanad (transmisi) yang mengandalkan verifikasi ketat, uraian kitab itu bisa dipercaya dalam beberapa hal. Tentu saja dengan sejumlah catatan kritis. Kehidupan Abdullah seperti yang umum dikenal umat Islam hari ini diturunkan dari Sirah dan direproduksi dengan berbagai variasi oleh para ilmuwan muslim.
Dua Pernikahan dalam Satu Waktu
Abdullah muda, menurut kisah-kisah yang diturunkan dari Sirah, menekuni profesi sebagai juru niaga sebagaimana lazimnya pemuda Makkah saat itu. Ia berdagang hingga negeri-negeri yang jauh melewati bukit dan hamparan padang pasir. Keluarga Abdullah yang tidak begitu kaya membuat ia mesti bekerja keras sebagai anak muda.
Catatan Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011) menunjukkan betapa Abdullah juga mesti menghadapi kesulitan ekonomi keluarga menjelang ia menikah. Mutalib saat itu memutuskan menikah lagi.
“Ketika tiba waktunya bagi Abdullah muda untuk beristri, Abdul Muthalib memutuskan untuk juga beristri lagi, guna mempererat aliansinya dengan klan Zuhrah,” tulis Armstrong (hlm. 85-86).
Pernikahan macam itu tentu saja membutuhkan biaya yang besar. Pada masa itu pernikahan sebagai upaya mempererat aliansi antarklan memang jamak terjadi di jazirah Arab. Selain untuk memperkuat posisi, cara itu juga dimaksudkan agar potensi konflik bisa diredam. Kita bisa melihat pola serupa kelak, ketika Muhammad menggunakan cara yang sama untuk membangun persekutuan dengan klan lain.
Akhirnya, pada saat hampir bersamaan, masing-masing melamar calon istrinya. Mutalib bertunangan dengan Halah binti Wuhayb dan Abdullah dengan Aminah binti Wahab. Halah adalah istri keempat Mutalib.
Kedua perempuan itu berasal dari klan Zuhrah yang masih berhubungan darah dengan Qusay, nenek moyang Mutalib dan Abdullah. Aminah bukan orang yang menonjol atau kaya raya dan Abdullah, yang kala itu berusia 24 atau 25, barangkali tidak terlalu mengenal gadis itu sebelumnya.
Hanya beberapa bulan setelah Abdullah dan Aminah menikah, sang suami mesti berniaga ke Palestina dan Syam (Suriah). Saat ditinggalkan, Aminah sedang mengandung satu atau dua bulan. Aminah harus merelakan suaminya pergi sebab, bagaimanapun juga, dapur rumah tangganya harus tetap mengepul.
Dalam perjalanan pulang ke Makkah, Abdullah singgah agak lama di rumah neneknya dari garis bapak, Salmah binti Amr, di Madinah. Ketika rombongan karavannya hendak berangkat kembali, Abdullah jatuh sakit. Ia pun tetap tinggal di rumah sang nenek. Beberapa hari setelah karavan itu berjalan, Abdullah meninggal dan dimakamkan di Madinah.
Abdullah mewariskan kepada Aminah seorang budak perempuan bernama Ummu Ayman serta hanya lima ekor unta dan lima ekor kambing. Jumlah ini menunjukkan tingkat finansial Abdullah yang sangat sederhana.
Beberapa bulan setelahnya, Aminah melahirkan seorang anak laki-laki. Sesuai tradisi di jazirah Arab saat itu, bayi-bayi dari kalangan menengah dan menengah ke atas harus diasuh keluarga miskin di perdesaan gurun untuk belajar disiplin, kehormatan, dan kebebasan. Putra Aminah pun dipercayakan kepada seorang perempuan bernama Halimah untuk disusui dan diasuh.
Pada umurnya yang kelima, sang anak dikembalikan lagi kepada ibunya. Tiga tahun kemudian Aminah meninggal dalam perjalanan dari Madinah ke Makkah setelah mengajak sang anak menengok kerabatnya. Jenazahnya dimakamkan di desa Abwa’.
Setelah itu sang anak, Muhammad bin Abdullah, di usia yang baru delapan tahun, harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini menjadi yatim piatu.
==========
Pada Ramadan tahun ini redaksi menampilkan sajian khusus bernama "Tarikh" yang ditayangkan setiap menjelang sahur. Rubrik ini mengambil tema besar tentang sosok Nabi Muhammad sebagai manusia historis dalam gejolak sejarah dunia. Selama sebulan penuh, seluruh artikel ditulis oleh Ivan Aulia Ahsan (Redaktur Utama Tirto.id dan pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta).
Editor: Irfan Teguh