Menuju konten utama

Kompensasi Angkot di Puncak ala Dedi Mulyadi: Picu Masalah Baru?

Kebijakan peliburan sementara angkot di Bogor dinilai pemerintah efektif untuk mengurangi kemacetan. Apakah ini bisa dilakukan untuk jangka panjang?

Kompensasi Angkot di Puncak ala Dedi Mulyadi: Picu Masalah Baru?
Header Decode Di Balik Aturan Kompensasi Angkot ala Dedi Mulyadi. tirto.id/Fuad

tirto.id - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, seperti tak habis akal mencetuskan gagasan cemerlang di daerah kepemimpinannya. Di kawasan Kabupaten Bogor, misalnya, ia membuat kebijakan anyar yakni meliburkan sopir angkutan kota (angkot) untuk jalur Puncak.

Aturan larangan beroperasi bagi angkot ini setidaknya tercatat sudah dua kali diterapkan, yakni selama libur Idulfitri 2025 (seminggu sejak 1 April 2025) dan akhir pekan pasca peringatan Kenaikan Isa Almasih, yaitu pada Sabtu (31/5/2025) - Minggu (1/6/2025).

Di kawasan wisata yang terkenal padat lalu lintas saat tanggal merah ini, kebijakan peliburan sementara angkot dinilai pemerintah efektif untuk mengurangi kemacetan. Sebagai pengganti tidak menarik angkot, pemerintah memberikan kompensasi kepada para sopir angkot.

Pada kebijakan pertama, Pemprov Jawa Barat diketahui memberikan kompensasi kepada 651 angkot yang melayani tiga trayek, yakni Bogor–Cisarua, Bogor–Cibedug, dan Ciawi–Pasir Muncang.

Ratusan angkot yang sementara waktu tidak beroperasi tersebut menerima bantuan sebesar Rp1 juta dalam bentuk uang tunai serta sembako senilai Rp500 ribu. Sementara kebijakan kedua menyasar 703 unit angkot, dengan nominal “uang saku” sebesar Rp400 ribu per orang untuk dua hari libur.

Tak seperti kebijakan pertama yang hanya memberi bantuan kepada sopir, kebijakan kedua turut melibatkan pengusaha alias pemilik armada. Sebab, setiap unit angkot umumnya terdapat tiga unsur, yakni pemilik angkot dan dua sopir, yang dibagi untuk bekerja pagi-siang dan siang sampai malam.

Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat, Dhani Gumelar, menyatakan kalau anggaran kompensasi ini diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Saat ditanya soal besaran anggaran yang dialokasikan, ia hanya menjelaskan, saat ini sedang dilakukan perhitungan dan akan diusulkan melalui APBD perubahan.

“Insentif berupa kompensasi diberikan sesuai ketersediaan anggaran, dan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku,” ujar Dhani saat dihubungi Tirto, Selasa (24/6/2025).

Menurutnya, kebijakan ini didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perhubungan, di mana pasal 167 ayat (1) menyebut bahwa Gubernur dapat memberikan insentif berupa kompensasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Badan Usaha, dan masyarakat.

Hal itu salah satunya dilakukan untuk membantu mewujudkan keselamatan lalu lintas. Sesuai pasal 167 ayat 2 beleid tersebut, pemberian insentif bisa dilakukan dalam bentuk keringanan pajak atau retribusi, pemberian kompensasi, subsidi silang, dan imbalan, kemudahan prosedur perizinan, serta bantuan untuk riset dan pengembangan transportasi.

Dhani mengatakan, kalau kebijakan ini akan dilanjutkan pada kondisi tertentu, sejalan dengan kebijakan nasional. “Kebijakan ini tidak selalu pada libur akhir pekan, dan bukan kebijakan meliburkan angkot, tetapi bagian dari pengendalian kemacetan serta dalam upaya peningkatan keselamatan lalu lintas angkutan jalan,” terangnya.

Polemik Penyunatan Anggaran

Implementasi aturan pelarangan operasi angkot realitanya tak semulus seperti dalam angan. Meski sudah ada jumlah nominal kompensasi yang ditetapkan yakni sebesar Rp1 juta, beberapa sopir mengaku tak menerima utuh, alias berkisar antara Rp700 ribu - Rp800 ribu.

Dugaan pemotongan kompensasi memang sempat mencuat, usai didapati sopir tetap nekat beroperasi lantaran uang kompensasi yang diterima 'diwajibkan' menyetor ke KKSU/Kelompok Kerja Sub Unit yang merupakan wadah bagi para sopir dan pemilik angkot, Organisasi Angkutan Darat (Organda), dan Dinas Perhubungan (Dishub) setempat.

Kebijakan Kompensasi Angkot ala Dedi Mulyadi

Kumpulan angkot di kawasan Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat. tirto.id/ M Irfan Al Amin

Namun demikian, Dishub dan Organda membantah kalau pihak mereka melakukan pemotongan. Pemotongan ini disebut pihak Dishub Jawa Barat merupakan sumbangan yang diminta koordinator dan paguyuban sopir angkot.

Dhani selaku Kadishub Jabar mengatakan, hal ini akan menjadi bahan evaluasi. “Hal itu sudah ditangani pihak yang berwajib, sehingga menjadi bagian yang akan diperbaiki dalam pendistribusiannya,” ujar Dhani kepada Tirto, Selasa (24/6/2025).

Meski uang pemotongan sudah dikembalikan kepada para sopir senilai Rp11,2 juta, Dedi meminta, proses hukum terhadap pelaku pemotong dana kompensasi sopir angkot di Kabupaten Bogor tetap dilakukan. Ia meminta Dishub dan Organda Jawa Barat untuk mengusut kejadian pemotongan dana kompensasi dengan dalih sumbangan sukarela.

"Alhamdulillah kabarnya uangnya sudah dikembalikan. Tapi tetap, itu tindakan premanisme, meski dilakukan oleh pegawai berseragam atau kelompok organisasi," kata Dedi, seperti dilaporkan Tempo, Minggu (6/4/2025).

Keberlangsungan Layanan Masyarakat Jadi Sorotan

Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Aan Suhanan, menyatakan apresiasi terhadap langkah mengurangi kepadatan lalu lintas ini sebagai bagian dari upaya menjaga kelancaran dan ketertiban.

Namun begitu, ia menggarisbawahi soal keberlangsungan pelayanan kepada masyarakat setempat yang memerlukan pergerakan atau mobilitas sehari-hari. Jika tak ada layanan angkot, masyarakat lokal dikhawatirkan akan kesulitan melakukan aktivitas mobilitas dasar mereka, seperti pergi ke pasar, mengunjungi keluarga atau tempat kerja.

“Kami memahami bahwa kebijakan ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemprov Jawa Barat melalui Pemerintah Kabupaten Bogor, untuk secara proaktif mengurangi volume kendaraan yang melintasi jalur Puncak. Seperti kita ketahui, pada waktu libur panjang dan akhir pekan, jalur Puncak memang kerap mengalami peningkatan volume kendaraan yang signifikan akibat kunjungan masyarakat dari luar kawasan untuk keperluan wisata,” ujar Aan lewat keterangan tertulis, Selasa (24/6/2025).

Ia menyinggung soal data dari Satlantas Polres Bogor yang menunjukkan kalau selama libur Lebaran 2025, sebanyak 500 ribu kendaraan melintas di Puncak. Hal ini menegaskan perlunya strategi pengendalian volume kendaraan.

“Oleh karena itu, kami berharap kebijakan ini apabila dilanjutkan akan disosialisasikan secara matang terlebih dahulu kepada masyarakat setempat, termasuk juga adanya mekanisme atau alternatif transportasi pengganti yang memadai,” lanjut Aan.

Aan Suhanan

Kakorlantas Polri Irjen Aan Suhanan saat memberikan keterangan pers di Kantor Jasa Marga Transjawa Tol, Jalan Tol Jakarta Cikampek Km 70, Kamis (11/4/2024).tirto.id/Muhammad Naufal

Dengan begitu, masyarakat sudah dapat melakukan antisipasi dan penyesuaian mobilitas mereka pada waktu libur atau akhir pekan tertentu ketika angkot diliburkan. Selain itu, evaluasi dampak kebijakan ini terhadap pengurangan kemacetan dan kepuasan wisatawan juga perlu dilakukan secara terukur untuk memastikan efektivitasnya.

“Upaya fundamental yang senantiasa kami dorong dan prioritaskan adalah bagaimana pemanfaatan ruang lalu lintas (jalan) bisa dimanfaatkan secara lebih efisien. Ini berarti mendorong penggunaan kendaraan dengan okupansi yang lebih besar, seperti bus, atau pengembangan sistem transportasi massal lainnya,” kata Aan.

Contohnya, program Buy The Service (BTS) atau angkutan bersubsidi di beberapa kota (Angkutan Perintis dan Angkutan Kawasan Strategis Nasional) yang disebut telah berhasil mengurangi ketergantungan pada angkot dengan rute tumpang tindih, sekaligus meningkatkan efisiensi jalan.

Menurut Aan, dengan upaya semacam itu, volume kendaraan yang melintas di jalan dapat berkurang, tetapi pada saat yang sama, jumlah masyarakat yang dapat melakukan pergerakan tetap dapat dilayani dalam kapasitas yang besar. Hal itu dikatakan sejalan dengan visi Kemenhub untuk membangun sistem transportasi yang berkelanjutan dan efisien.

Masalahnya, jumlah kendaraan pribadi di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor sendiri tercatat terus meningkat. Kepemilikan kendaraan pribadi yang tidak terkontrol ini pun diyakini menyumbang faktor kemacetan.

Di Kabupaten Bogor misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, jumlah sepeda motor dan mobil penumpang pada 2024 masing-masing sebanyak 1,5 juta unit dan 198.711, melonjak ketimbang tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 1,4 unit sepeda motor dan 184.107 unit mobil. Meski pada 2023 tercatat stagnan, tren jumlah dua kendaraan ini cenderung meningkat selama lima tahun terakhir.

Meski peliburan angkot dengan ganti “gaji” bisa jadi salah satu solusi kemacetan di kawasan Puncak, beberapa catatan masih menyertai. Kemenhub menekankan pentingnya mekanisme penyaluran yang transparan dan akuntabel, di tengah adanya dugaan pemotongan kompensasi sopir angkot berkedok sumbangan.

“Apabila dana kompensasi bersumber dari APBD provinsi atau kabupaten/kota, maka pemerintah daerah melalui dinas perhubungan atau dinas sosial-lah yang memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan penyaluran berjalan secara transparan, adil, dan tepat sasaran,” ujar Aan.

Baca juga artikel terkait DEDI MULYADI atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang