tirto.id - Agus (34) sedang meneguk kopi saat ditemui di Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat. Sebelum penumpang memadati angkutan kota (angkot) birunya dan bersiap diantar ke arah Cisarua, Puncak, ia menyempatkan mengisi energi dengan kafein.
Sembari bersantai sejenak, laki-laki yang sudah 9 tahun melakoni profesi sopir angkot ini bercerita soal kompensasi yang didapat ketika diminta pemerintah libur selama akhir pekan. Agus mengantongi Rp400 ribu untuk dua hari libur, yakni pada Sabtu dan Minggu sebelum Iduladha lalu. Tersirat kegalauan atas kompensasi yang ia terima.
“Ya sebenarnya sih kita enakan narik sih daripada, kasarnya dapat kompensasi. Kan soalnya masyarakat itu nggak semuanya pada punya kendaraan (pribadi), jadi saling membutuhkan. Kan kalau Cisarua itu istilahnya dari dulu juga emang suka macet,” kisah Agus mengutarakan alasan lebih memilih narik ketimbang disuruh libur dengan kompensasi, saat berbincang dengan Tirto, Senin (23/6/2025).
Sebab, sepengalamannya, jika penumpang sedang banyak, penghasilannya hasil narik angkot sehari bisa lebih dari Rp200 ribu. Agus bilang, rupiah yang didapat di hari-hari ramai bisa mencapai Rp250 ribu sampai Rp300 ribu.
“Kasarnya kan (kalau kompensasi) udah dipatok, sehari misalnya Rp100 (ribu), kalau enggak Rp200 (ribu). Kalau narik kan kalo kita lagi bagus kadang lebih (pendapatannya),” ungkap Agus.

Bagaimanapun, Agus mengaku tetap akan mematuhi aturan pemerintah. Meski hingga kini, ia hanya sempat sekali diminta libur pada akhir pekan. Sepengetahuannya, aturan pelarangan operasi angkot jalur Puncak untuk Sabtu-Minggu ini sepertinya akan dilanjutkan.
Kompensasi libur Sabtu-Minggu nantinya bakal disalurkan pemerintah lewat rekening Bank BJB, alias bank daerah milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Oleh karenanya, Agus sudah diminta untuk menyetor beberapa berkas.
“Kemarin kan harus bawa data diri kita, sama surat-surat mobil. Katanya buat pembukaan rekening (bank) gitu. Jadi nanti (uangnya) larinya ke rekening. Kalau rekeningnya udah dibagiin. Tapi kan sekarang masih dalam proses,” tutur Agus.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memang diketahui meliburkan sopir angkot di kawasan Puncak, Bogor, pada 31 Mei-1 Juni 2025 lalu. Selain akhir pekan yang kebetulan long weekend itu, Dedi juga menyetop operasi angkot di kawasan Puncak pada masa liburan Idulfitri 2025.
Peliburan angkot pada musim lebaran ini berlaku sejak 1 April 2025, alias H+1 Idulfitri, hingga H+7 Lebaran. Sama seperti pelarangan operasi saat akhir pekan, aturan saat Idulfitri ini juga memberi uang saku bagi para sopir angkot kawasan Puncak. Langkah ini dilakukan dalam rangka mengatasi kemacetan dan memberi ruang bagi para pelancong di Puncak, Bogor, untuk menikmati liburannya.
Dino (35) selaku sopir angkot trayek Sukasari-Cisarua, menyambut baik aturan ini. Sebab saat libur Idulfitri, ia memperoleh kompensasi dari pemerintah berupa uang tunai Rp700 ribu dan sembako senilai Rp500 ribu.
Gaji pengganti itu dinilai lebih dari cukup, karena pendapatan bersih yang diperoleh sehari umumnya hanya berkisar Rp100 ribu. Dino biasanya kebagian menarik angkot pagi, yakni sejak sekira pukul setengah 06.00 pagi hingga jam 13.00 siang.
“Untuk zaman sekarang sebenarnya memang membantu. Cuma ada juga reaksi dari penumpang, ada yang nggak setuju. Penumpang kan ada keperluan angkot juga, nggak semua orang mungkin punya motor, nggak pada punya kendaraan. Ada yang butuh (transportasi) umum, butuh angkot,” ungkap Dino, ketika ditemui jurnalis Tirto di daerah Sukasari, Senin (23/6/2025).

Meski cenderung tak keberatan, Dino mengatakan nominal gaji pengganti yang diterima sopir bermacam-macam. Selain ada sopir yang menerima Rp700 ribu seperti dirinya, ada pula yang memperoleh Rp800 ribu, hingga utuh Rp1 juta.
“Iya tergantung, ada yang bawanya (Rp1 juta), nggak tahu lah, nggak ngerti saya juga,” katanya.
Cocok untuk Jangka Pendek
Sekretaris DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Barat, Ifan Nurmufidin, menyatakan sependapat dengan aturan pemerintah provinsi terkait pengkondisian sopir angkot di Kawasan Puncak Bogor, jika dilakukan untuk jangka pendek.
Namun begitu, Ifan mempertanyakan efektivitas aturan ini untuk jangka panjang. Menurutnya, kemacetan yang terjadi hampir di seluruh wilayah disebabkan oleh semakin banyaknya kepemilikan kendaraan pribadi. Hal itu beriringan dengan tidak adanya pembatasan kepemilikan dan operasional kendaraan pribadi dari pemerintah.
“Untuk jangka panjang, kalau boleh kami usulkan, sebaiknya operasional kendaraan pribadi ini nanti dikendalikan. Khususnya di wilayah-wilayah kemacetan, di wilayah-wilayah wisata, contoh di Bogor ini,” tutur Ifan lewat sambungan telepon, Senin (23/6/2025).
Ia mengatakan, pemerintah provinsi bisa bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk menyediakan ruang parkir bagi pemilik kendaraan pribadi yang masuk ke wilayah Bogor. Mereka kemudian difasilitasi dengan angkutan umum yang menarik, yang bisa mengantarkan wisatawan ke setiap destinasi wisata.
“Artinya begini, pengusaha angkutan umum pun tidak seolah-olah hanya sekadar disuapin. Tapi mereka diberikan ruang untuk mengembangkan usahanya gitu. Kalau hanya sekedar kompensasi, itu juga bagus, cuma jangka pendek saja. Kalau selamanya juga kan pemerintah, APBD juga mungkin tidak cukup,” ungkap Ifan.
Dengan demikian, menurutnya, tujuan pemerintah untuk meningkatkan minat masyarakat menggunakan transportasi umum akan tercapai. Di sisi lain, pemerintah bakal lebih mengontrol dan tingkat kemacetan jadi akan betul-betul tertekan.
Apalagi, kompensasi pertama yang diberikan pemerintah saat libur Idulfitri juga hanya ditujukan kepada sopir. Padahal, kata Ifan, dari satu unit angkot itu terdapat tiga orang, di antaranya pengusaha atau pemilik mobil dan dua sopir.

“Kecuali memang yang (kompensasi) kedua. Ya sudah pemerintah menyerahkan, pokoknya senilai A, silahkan aja diatur. Artinya diatur itu ya tiga orang itu dapat lah, pengusahanya dan dua orang sopir. Katakanlah di hari Sabtu minggu itu kan bukan satu orang yang tidak jalan, tapi yang tidak mendapat penghasilan itu tiga orang, pengusaha dan dua orang sopir,” tutur Ifan.
Kompensasi kedua yang dimaksud yakni saat pemerintah menyetop operasi angkot pada 31 Mei - 1 Juni 2025 lalu. Ifan menilai, distribusi kompensasi saat libur akhir pekan itu lebih baik ketimbang saat momen libur Idulfitri.
Senada dengan pernyataan para sopir, Ifan juga mengatakan, ke depan setiap akhir pekan, angkot di kawasan Puncak, Bogor, tidak dioperasikan dan mendapat kompensasi. Namun, lagi-lagi Ifan menyoroti soal keberlangsungan kebijakan ini dan absennya edukasi kepada pengusaha dan sopir jika mekanisme yang digunakan yakni kompensasi.
“Yang terpenting itu ada edukasi, kemudian ada juga solusi, yang kemudian bisa diterapkan lebih panjang lagi. Minimal ketika pemerintah tidak mampu untuk melakukan pembatasan kepemilikan kendaraan, ada aturan pembatasan operasional kendaraan pribadi khusus di wilayah-wilayah yang tingkat kemacetannya tinggi gitu kan,” ungkap Ifan.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang
Masuk tirto.id





































