tirto.id - Menonton konten Dedi Mulyadi adalah candu buat Ahmad Kurniawan (40). Sebagai perantau dari Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, kebijakan Dedi masih berdampak, meski kini mencari peruntungan di Jakarta.
Ahmad biasanya menyempatkan diri menonton video Dedi di sela aktivitasnya sebagai pengemudi ojek online. Pagi sebelum berangkat, siang saat menunggu orderan, hingga menjelang waktu istirahat malam hari, Ahmad tak pernah absen menyimak aktivitas sosok yang akrab disapa Demul itu di media sosial.
“Pertama tau dia (Demul) kan juga dari YouTube. Waktu itu lihat videonya lagi bersih-bersih pasar. Sering juga bantu warga. Pokoknya senang aja nontonnya. Kadang bikin senyum, kadang bikin haru juga. Jarang ada pejabat yang deket banget sama rakyat,” ucapnya saat bercerita dengan Tirto, Selasa (17/6/2025).
Ahmad mengaku terkesan dengan gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang tak segan turun langsung ke tengah masyarakat. Bagi Ahmad, melihat seorang pejabat publik hadir dan berinteraksi langsung dengan warga adalah sebuah bentuk perhatian yang langka dan membesarkan hati.
“Sebagai orang kecil mah, seneng ada pemimpin yang deket sama kita. Mau ngobrol, mau nyelesain masalah kita. Dia (Demul) beda sama yang lain. Dia bener-bener –istilahnya– menyatu sama rakyat. Liat aja pakaiannya, bahasanya. Kan, pake Bahasa Sunda, sama kaya kita,” sambungnya.
Gaya Komunikasi Demul Dinilai Positif Publik
Perkenalan Ahmad dengan Demul di media sosial, juga banyak terjadi di masyarakat Jawa Barat lainnya. Survei Tirto bersama Jakpat, pada 16-17 Juni 2025 menunjukkan tren ini.
Dari 1.250 responden warga Jawa Barat, mayoritas (81,02 persen) mengaku pertama kali mengenal sosok Dedi Mulyadi melalui platform media sosial seperti YouTube, Instagram, TikTok, Facebook, dan lainnya. Dari jumlah tersebut, sekira 95 persen pernah menonton konten Youtube atau media sosial yang ditampilkan Demul.
Dari apa yang mereka saksikan, para responden yang mengenal Demul itu memberikan penilaian positif terhadap gaya komunikasi sang gubernur, yang rajin membagikan aktivitasnya melalui media sosial. Sebanyak 90,07 persen responden mengapresiasi pendekatan politisi Partai Gerindra tersebut. Hanya 1,52 persen responden yang memandang gaya komunikasi ini secara negatif.
Mayoritas responden juga menilai bahwa gaya komunikasi Dedi efektif dalam mendukung terciptanya kebijakan publik yang lebih baik.
Sebanyak 85,51 persen responden meyakini bahwa pendekatan langsung yang ia lakukan mampu mendorong lahirnya kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, 2,08 persen responden menganggap gaya tersebut kurang efektif, dan hanya 0,72 persen yang menilai tidak berdampak sama sekali terhadap perbaikan kebijakan.
Tingkat kepuasan publik yang relatif tinggi terhadap kinerja Dedi Mulyadi juga tercermin dalam temuan Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, pada 12–19 Mei 2025. Dalam survei itu, responden ditanya apakah mereka tahu atau pernah mendengar kebiasaan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang sering melakukan sidak ke tempat-tempat seperti pasar, sungai, dan pemukiman kumuh.
Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas responden (85,2 persen) mengaku tahu atau pernah mendengar kebijakan tersebut dan sebagian besar dari mereka menyatakan setuju. Lebih lanjut, sigi Indikator juga mencatat bahwa sebanyak 90,9 persen responden menilai kebiasaan sidak yang dilakukan Dedi Mulyadi merupakan bentuk kerja nyata seorang pemimpin.
Hasil survei juga mengungkap gaya kepemimpinan Dedi yang sangat aktif turun ke masyarakat dan mengambil tindakan segera atas berbagai persoalan yang ditemui, menjadi salah satu faktor pendorong tingkat kepuasan yang tinggi.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai bahwa temuan tersebut cukup masuk akal. Menurutnya, respons positif masyarakat kemungkinan besar dipengaruhi halo effect. Istilah psikologi sosial itu mengacu pada bias kognitif saat kesan positif terhadap satu aspek seseorang memengaruhi penilaian secara keseluruhan.
“Jadi kalau seseorang itu punya karisma dan kita suka dengan orang itu, maka segala apapun yang diperbuat oleh orang itu kita anggap baik kan gitu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (17/6/2025).
Sementtara Analis Sosio-politik dari Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, memberikan catatan kritis terhadap hasil survei ini. Ia mengingatkan bahwa data semacam ini tidak bisa dibaca secara mentah. Musfi bercerita bahwa berdasarkan pengalamannya dalam melakukan survei opini publik, masyarakat sering kali tidak membedakan antara kepuasan terhadap kinerja dan rasa suka terhadap sosok seorang politisi.
Dalam kasus Dedi Mulyadi, ia menilai apresiasi masyarakat lebih ke keterikatan emosional terhadap figur yang akrab disapa KDM (Kang Dedi Mulyadi) itu, bukan terhadap kebijakan atau capaian nyata.
“KDM ini kan baru setahun menjabat. Belum ada pembangunan infrastruktur ataupun pertumbuhan ekonomi yang terasa. Jadi saya kira, tingginya angka apresiasi tersebut lebih kepada masyarakat menyukai individu si KDM itu sendiri,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (19/6/2025).
Lebih lanjut, Musfi menilai bahwa tingginya apresiasi publik terhadap Dedi lebih disebabkan oleh aspek hiburan dalam gaya kepemimpinannya. Menurutnya, komunikasi politik Dedi kerap kali bersifat dramatik dan emosional.
“Komunikasi KDM ini kan sangat menghibur karena dia menampilkan drama di dalamnya. Misalnya ketika dia mencerahami siswi yang ingin ada wisuda sekolah. Gaya komunikasi ini khas komunikasi influencer media sosial. Dapat dikatakan kalau KDM sedang menjadi ‘Gubernur Influencer’,” sambungnya.
Julukan serupa, ‘Gubernur Konten’ sempat diberikan kepada Dedi. Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas'ud, yang menyematkannya saat rapat bersama sejumlah gubernur dan Komisi II DPR yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa (29/4/2025).
Menanggapi sebutan itu, Dedi tidak menampik bahwa aktivitas membuat konten merupakan bagian dari strategi komunikasinya. Ia justru menegaskan bahwa kebiasaan tersebut membawa dampak positif bagi efisiensi anggaran pemerintah, khususnya dalam hal belanja iklan.
Ia menjelaskan bahwa anggaran iklan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang sebelumnya mencapai sekitar Rp50 miliar, kini berhasil ditekan menjadi hanya Rp3 miliar. Hal ini dimungkinkan karena konten-konten yang diunggah di media sosial, seperti YouTube dan Instagram, kerap menjadi viral dan secara efektif menyampaikan pesan-pesan pemerintahan kepada masyarakat luas.
Layak Menjadi Pemimpin di Tingkat Nasional?
Tingginya impresi positif terhadap popularitas, gaya komunikasi, serta kepemimpinan Dedi Mulyadi mendorong warga Jawa Barat beranggapan dia cocok “naik kelas”.
Hasil survei Tirto dengan Jakpat menunjukkan hampir 90 persen responden (89,19 persen) menganggap Dedi layak menjadi pemimpin di tingkat nasional. Hanya 6,64 persen responden yang menyatakan Dedi kurang layak atau tidak layak sama sekali.
Namun, menurut Musfi dari Helios Strategic Institute, peluang Dedi Mulyadi untuk melangkah ke tingkat nasional, terutama dalam kontestasi Pilpres 2029, masih terlalu dini untuk disimpulkan.
Menurut dia dalam dinamika politik Indonesia, proses pencalonan presiden maupun wakil presiden kerap kali berlangsung secara cepat dan tidak terduga. Popularitas saja, menurutnya, belum cukup tanpa dukungan struktur partai politik dan kalkulasi koalisi yang matang.
“Kalau melihat Pilpres 2024 kemarin, naiknya Ganjar Pranowo kan baru di tahun ketiga. Bahkan Gibran baru muncul di detik-detik akhir. Kemarin kita melihat ada banyak tokoh yang digaungkan maju dari awal, tapi kan mental juga. Kemarin ada Sandiaga Uno, Khofifah, hingga AHY yang disebut potensial, tapi kan mental juga,” ujarnya.
Lebih jauh, Musfi menjelaskan, sistem politik nasional masih sangat berpusat pada kekuatan partai politik. Dukungan partai politik masih menjadi faktor penentu utama. Dalam konteks ini, Musfi menyinggung Demul yang masih tercatat sebagai kader Partai Gerinda. Sementara Gerindra hampir pasti akan kembali mengusung Prabowo di Pilpres 2029.
“Kans terbesar KDM adalah menjadi cawapres. Tapi kan tidak pernah terjadi capres dan cawapres berasal dari partai yang sama. Di Pilpres 2019, Sandiaga Uno harus keluar Gerindra dulu baru diusung. Mungkin skenario itu yang terjadi jika Prabowo menunjuk KDM sebagai cawapresnya nanti. KDM harus keluar dari Gerindra untuk bisa maju di Pilpres 2029,” ujar Musfi.
Plus Minus Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi
Sementara Kunto Dosen Unpad, menyebut Dedi Mulyadi berhasil mengadopsi dan memadukan gaya komunikasi dua pemimpin besar dalam satu dekade terakhir: kedekatan dengan rakyat ala Joko Widodo (Jokowi) dan ketegasan khas Prabowo Subianto.
Menurut Kunto, Dedi berhasil menutup kelemahan Jokowi yang sering dianggap tidak tegas, sekaligus mengisi kekurangan Prabowo yang dinilai kurang menyatu dengan rakyat.
“Ini yang kemudian akhirnya menjadi menjawab harapan warga negara atau warga yang kemudian haus akan citra atau tokoh kepemimpinan yang kuat, merakyat, dan tegas,” ujarnya kepada Tirto.
@dedimulyadiofficial Kita kembalikan pada fungsinya #dedimulyadi#kangdedimulyadi#bekasi
♬ suara asli - KANG DEDI MULYADI - KANG DEDI MULYADI
Sementara Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau, Agung Wicaksono, menilai dalam beberapa tahun terakhir, gaya politik Dedi Mulyadi menunjukkan ciri khas populisme yang cukup kuat, khususnya dalam bentuk populisme kultural. Agung menyoroti kemampuan Dedi dalam membangun kedekatan dengan masyarakat melalui konten-konten yang sangat personal, menyentuh, bahkan terkadang emosional.
“Dan semua itu dibungkus dengan narasi Budaya Sunda yang sangat kental. Dalam hal ini ya, dia bisa dikatakan sebagai pemimpin dengan gaya populis,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (16/6/2025).
Agung menjelaskan, gaya populisme bukanlah fenomena baru dalam politik Indonesia. Namun, manifestasinya memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan negara-negara lain.
Di Indonesia, populisme cenderung hadir sebagai gaya politik yang menampilkan sosok pemimpin sebagai “teman rakyat”. Figur yang dekat, sederhana, dan seolah berjarak dengan elit jadi cirinya.
“Kalau di negara lain, populisme itu kadang jelas ideologinya. Misalnya populisme kanan di Eropa yang anti-imigran, atau kiri di Amerika Latin yang anti-korporasi. Nah, di Indonesia, populisme cenderung lebih pragmatis dan cair. Bisa dipakai siapa saja, dari spektrum ideologi mana pun, asalkan mampu membangun citra kedekatan dengan rakyat,” ujarnya menjelaskan.
Lebih jauh ia menjelaskan, salah satu ciri khas populisme Indonesia adalah penggunaan simbol-simbol budaya lokal. Bahasa daerah, adat istiadat, hingga bentuk humor sering digunakan sebagai medium untuk menciptakan koneksi emosional antara pemimpin dan publik. “Jadi (gaya populisme di Indonesia) bukan cuma soal ekonomi atau ideologi, tapi lebih ke pendekatan kultural dan personal,” ujarnya.
Agung menilai kedekatan antara pemimpin dan rakyat, seperti yang ditunjukkan oleh Deddy Mulyadi, memang bisa membawa dampak positif. Hal ini bisa membangun kepercayaan publik dan merespons kebutuhan warga secara cepat. Namun, ia juga mengingatkan adanya risiko yang harus diwaspadai ketika hubungan itu terlalu terpusat pada satu figur.
“Pertama, bisa muncul gejala kultus individu, di mana pemimpin dianggap sebagai satu-satunya penyelamat. Itu bisa membahayakan demokrasi karena publik jadi kurang kritis. Kedua, kalau kekuasaan terlalu personal, bisa melemahkan institusi—padahal demokrasi itu kan seharusnya berjalan lewat sistem, bukan hanya lewat figur,” ujar Agung.
Agung juga menyebut fenomena fanatisme dukungan terhadap tokoh politik sering kali berimbas pada timbulnya polarisasi di masyarakat. Individu lebih cenderung terjebak dalam echo chamber dan hanya menerima informasi yang sesuai dengan pandangan mereka.
“Ketika masyarakat terbelah menjadi dua kutub ideologi yang sangat berbeda, loyalitas terhadap tokoh tertentu menjadi semakin kuat. Hal ini dapat mengarah pada penguatan fanatisme yang lebih dalam, terutama jika masing-masing kelompok semakin enggan menerima pandangan yang berbeda,” ujarnya.
Dampak dari fanatisme politik yang berlebihan terhadap tokoh politik bisa sangat signifikan terhadap iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat. Agung mencontohkan dalam teori demokrasi deliberatif yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, demokrasi seharusnya mengutamakan adanya ruang untuk diskusi yang terbuka, rasional, dan konstruktif.
“Ketika fanatisme politik menguat, proses diskusi dan debat yang seharusnya obyektif justru menjadi lebih emosional. Dan seringkali kritik terhadap kebijakan dianggap sebagai serangan pribadi. Akibatnya, kritik terhadap tokoh politik bisa dianggap sebagai hal yang negatif, bukan sebagai masukan yang konstruktif,” ungkapnya.
Menurutnya, dalam kasus seperti Dedi Mulyadi, pendekatan populis ini bisa efektif secara politik, tapi harus diimbangi dengan komitmen memperkuat institusi dan keterlibatan masyarakat secara lebih substantif. “Kalau tidak, kita khawatirnya hanya menciptakan demokrasi yang bergantung pada tokoh, bukan pada proses dan partisipasi yang sehat,” tutup Agung.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto